Minggu, 04 Maret 2012

Sikap Ahlussunnah dalam Tahdzir dan Ghibah atas ahli bid'ah (2)

Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid’ah (II)

Masalah kedua : Menggunjing ahli bid’ah atau semua bentuk tahdzir (peringatan), sejajar dengan menghujat.

Dalam menjelaskan masalah ini ada dua poin :
-Poin pertama : Sudah menjadi ketetapan ulama salaf, bahwa menggunjing sejajar dengan menghujat.
-Poin kedua : Penggunaan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat, tidak bertentangan dengan dalil haramnya ghibah.

Adapun point pertama, bahwa para ulama menggunakan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat ahli bid’ah sebagai berikut :

- Hasan al Bahsri berkata, “Tidak dianggap ghibah dalam membicarakan ahli bid’ah”.
Beliau menambahkan,”Tiga orang yang menggunjing tidak diharamkan diantara mereka, karena ahli bid’ah yang berlebihan dalam kebid’ahannya.” Dalam riwayat lain, “Tidak ada ghibah bagi ahli bid’ah dan orang fasik yang menampakkan kesesatan mereka.”
(Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah 1/140).

- Hani bin Ayyub bertanya kepada Muharib bin Datsaar tentang hukum menggunjing Rafidhah ? Beliau menjawab,”Kalau begitu apakah mereka suatu kaum yang jujur ?” Husain bin Ali salah seorang perawi atsar ini berkata, ”Beliau membolehkan menggunjing ahli bid’ah.” (As Sunnah, Al Khallal 5/49).

- Ibrahim An Nakhai berkata,”Tidak ada ghibah (tidak disebut ghibah yang terlarang, red) bagi ahli bid’ah”. (Syarh Ushul I’tiqad Ahlu Sunnah, 1/140, Sunan Ad Darimi 1/120).

- Sufyan bin ‘Uyainah berkata,”Membicarakan ahli bid’ah bukan termasuk perbuatan ghibah.” (Mukhtasar Al Hujjah, Nashr Al Maqdisi hal 538).

Beberapa atsar diatas membolehkan penggunaan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat dan mentahdzir ahli bid’ah. Oleh karena itu, pernyataan mereka bahwa tidak ada ghibah dalam membicarakan ahli bid’ah, sebagai bentuk penyamaan menggunjing dengan menghujat dan semua itu dalam rangka mentahdzir ahli bid’ah.

Diantara pernyataan Ulama yang menyamakan antara ghibah dengan menghujat ahli bid’ah dan menyebutkan aib mereka adalah :
Imam Bukhari, ketika memaparkan sebuah hadits tentang laki-laki yang datang ingin menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Beliau bersabda, ”Izinkanlah, dia adalah seburuk-buruk teman bergaul.”
Al Bukhari membuat bab (Boleh Menggunjing Ahli Maksiat dan Kesesatan). Sebab pencelaan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada orang tersebut bermaksud untuk mentahdzir, sehingga termasuk ghibah yang diperbolehkan.

Abu Hamid menjelaskan tentang alasan diperbolehkan ghibah, ”Ketahuilah bahwa alasan yang membolehkan menyebutkan keburukan orang lain hanya sebatas untuk mewujudkan tujuan syar’i yang tidak mungkin tercapai kecuali dengan jalan ghibah, sehingga bisa menggugurkan dosa ghibah, yang demikian itu ada enam perkara : Dan yang keempat adalah, memperingatkan ummat Islam dari keburukan ketika ada seorang fakih (pandai) sering mendatangi ahli bid’ah atau fasik dan anda khawatir orang tersebut terjangkiti kefasikan atau kebid’ahan. Boleh bagi anda membongkar kebid’ahan dan kefasikan mereka, selagi tujuan utama untuk menghambat penularan kebid’ahan dan kefasikan.

Dalam kitab Al Furuq karya Syihabuddin Al Qarafi terdapat bab Al Farqu Baina Qaidah Muharram dengan Qaidah Ghibah Allati la Tuharram, beliau menyebut enam perkara seperti Abu Hamid dan yang keempat,”Ahli bid’ah dan tulisan yang menyesatkan harus ditampakkan aibnya dan diekspos kesesatan mereka kepada semua orang, agar orang awam dan lemah tidak terjerat dengan kesesatan tersebut dan sebisa mungkin menjauhkan ummat dari mereka. Tapi dengan syarat, tidak dengan cara melampaui batas dan tidak mengada-ada suatu tuduhan dan kebohongan berupa kefasikan dan kekejian, tetapi hanya menyebutkan yang ada. (Al Furuq 4/205 dan 4/207-208)

Imam An-Nawawi berkata, “Ghibah diperbolehkan dengan tujuan syar’i yang tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara ghibah dan ada enam faktor. Faktor kelima yaitu seorang yang menampakkan secara terang-terangan kefasikan atau kebid’ahan seperti orang yang terang-terangan minum khamr, memusuhi orang, mengambil pajak, mengambil harta orang secara zhalim dan mengurusi perkara batil untuk mereka, boleh menyebutkan keburukan yang mereka lakukan secara terang-terangan dan diharamkan menyebutkan selain itu kecuali ada sebab syar’i lain. (Riyadh Ash Sholihin 529)

Imam An-Nawawi menyebutkan enam faktor tersebut dalam Kitab Syarh Shahih Muslim, Riyadh Ash-Shalihin dan Al-Adzkar. Sedang Imam Asy-Syaukani membahasnya dalam Kitab Raf’u Ar-Ribah Amma Yajuzu Wama la Yajuzu min Al-Ghibah, dan beliau menerima sebagian dan menolak yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/143 dan Al-Adzkar /304)

Diantara ulama menganggap ghibah ahli bid’ah sama dengan menghujat dalam rangka mentahdzir adalah, Ibnu Shalah. Beliau berkata, ”Boleh menggunjing ahli bid’ah bahkan menyebutkan kesesatan mereka, baik di hadapan atau di belakang mereka, dengan syarat maksud utama adalah untuk menjelaskan kepada khalayak kebid’ahan mereka. Itulah yang telah dilakukan ulama salaf, baik ghibah tersebut untuk menjawab pertanyaan atau tidak”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dua perkara dimana ghibah dibolehkan,
-pertama: Orang yang terang-terangan menampakkan kejahatannya seperti kezhaliman, zina
-kedua adalah kebid’ahan.
Bila mereka menampakkan kemungkaran wajib dibasmi sebatas kemampuan yang ada. Barangsiapa yang bermaksiat secara sembunyi-sembunyi berarti dia menutupi harga diri dan masih mempunyai rasa malu, sehingga wajib menasihati secara sembunyi-sembunyi atau didiamkan hingga bertaubat.” (Ad-Durar As-Sunniyah 4/501-504)

Di tempat lain beliau berkata, “Apabila seseorang menampakkan kemungkaran wajib dinasihati secara terang-terangan, dan bukan merupakan suatu ghibah, sebab orang yang melakukan kemungkaran secara terang-terangan wajib dibasmi secara terang-terangan agar berhenti darinya.” (Tanbih Ulil Abshar, 198-210)

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam menjelaskan hadits, “Dia seburuk-buruk teman bergaul”, beliau berkata, “Bisa diambil kesimpulan hukum bahwa bukan merupakan suatu ghibah membicarakan orang yang menampakkan kefasikan dan keburukan, maka para ulama menyatakan dibolehkan menggunjing untuk tujuan syar’i, yang tidak bisa dicapai kecuali dengan cara tersebut.”

Diantara ulama yang menganggap ghibah terhadap ahli bid’ah sama dengan menghujat adalah Syaikh Abdullah Babathin, Syaikh Said bin Hija dalam Kitab Ad-Durar As-Sunniyah dan Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi dalam Kitab Tanbih Ulil Abshar.

Jadi hukum menggunjing ahli bid’ah sama dengan menghujat dan menyebarkan aib mereka menurut para ulama salaf dan ulama sunnah, semua itu boleh.

Adapun poin kedua: Penjelasan bahwa ghibah terhadap ahli bid’ah tidak bertentangan dengan dalil yang mengharamkan ghibah.

Jika ghibah terhadap ahli bid’ah berfungsi sebagai bentuk tahdzir, maka ghibah berhukum mubah. Namun untuk menepis anggapan bahwa pembolehan ghibah terhadap ahli bid’ah kontradiksi dengan hadits yang mengharamkan ghibah, bisa dijelaskan dengan dua alasan :

-Pertama : Ghibah terhadap ahli bid’ah dalam rangka tahdzir hanya sebatas makna bahasa bukan makna syar’i, seperti yang dimaksud dalil-dalil yang mengharamkan ghibah.

Hal itu seperti penjelasan Ibnu Hajar tentang hadits, Sebaik-baik kampung adalah kampung ”Banu Najjar.”
Imam Al-Bukhari memasukkan hadis ini dalam penjelasan ghibah di bawah Bab (Qoulun Nabi Khairud Dar Al-Anshar),
Ibnu Hajar berkata, “Bila itu bukan termasuk ghibah. Kecuali bila kelompok yang tersisih dari keutamaan tidak terima, sehingga perlu dikecualikan.

Dan hadits Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, “Menyebut sesuatu yang dibenci saudaramu“, hal itu dilarang bila tidak ada tujuan syar’i. Namun bila ada tujuan syar’i maka tidak termasuk ghibah meskipun orang yang dibicarakan tidak senang. (Fath Al-Bari 10/471-472)

Beliau menjelaskan hadits Aisyah, “Dia seburuk-buruk teman bergaul, “ yang dibuat bab oleh Al-Bukhari (bab Ma Yajuzu min Ightiyabi Ahli Ar-Raib Wa Al-Fasad) , masih diperselisihkan sebagai bentuk ghibah. Bahkan hanya sebagai bentuk nasihat agar para pendengar berhati-hati, hanya ucapan itu tidak dilontarkan di hadapan orang tersebut karena kebaikan akhlak beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam. Jika langsung disampaikan juga baik, namun tujuan utama sudah tercapai tanpa disampaikan secara berhadapan.

Jawab : Maksud ghibah di atas hanya menurut makna bahasa. Sebab ghibah ada dua macam, ghibah menurut arti bahasa yaitu menyebut sesuatu yang dibenci oleh orang lain, baik karena faktor syar`i atau bukan, termasuk ghibah yang mubah karena ada maksud syar`i. Dan bila tidak, maka ghibah berhukum haram sehingga ulama salaf menjadikan sikap menghujat ahli bid`ah sama halnya dengan ghibah. Atau ghibah menurut pengertian syar`i yaitu membicarakan seorang muslim dengan sesuatu yang dibenci tanpa ada alasan syar`i, dan inilah ghibah yang dihaaramkan oleh nash. (Fath Al Bari 10/471)

Dengan demikian, ghibah dalam masalah ini tidak ubahnya seperti lafazh bid`ah. Bisa digunakan dalam arti bahasa, yang berkonotasi terpuji atau tercela, tergantung ada tidaknya landasan syar’i, seperti ucapan Umar bin Khattahab dalam masalah shalat tarawih, ”Ini adalah sebaik-baik bid’ah,” dan ucapan Imam Asy-Syafi’i bahwa bid’ah ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Akan tetapi bila yang dimaksud bid’ah menurut istlah syar’i, maka artinya adalah mengada-ada suatu ajaran dalam agama yang tidak ada petunjuk dari syariat, maka semuanya tercela. Begitu juga ghibah, bila yang dimaksud makna bahasa, bisa mubah dan bisa diharamkan. Dan termasuk ghibah yang mubah adalah ghibah terhadap ahli bid’ah untuk tujuan tahdzir. Namun bila yang dimaksud ghibah dalam isstilah syar’i, jelas diharamkan secara mutlak.

-Kedua : Ghibah terhadap ahli bid’ah untuk mentahdzir orang, menghujat dan menjelaskan beragai mereka bila bila dilihat dari istilah syar’i yang diharamkan. Namun keharaman itu hilang karena ada maslahat yang lebih besar, yaitu menjelaskan kesesatan ahli bid’ah dan dosa tersebut gugur karena maslahat tersebut. Oleh sebab itu, ulama tetap membolehkan, dengan tetap meletakkan istilah syar’i tersebut pada tempatnya semula. Suatu contoh, agama memberi kemudahan untuk menggunakan hal-hal yang haram, seperti khamer, bangkai, darah dan daging babi dalam keadaan darurat, sehingga boleh meminum khamer sekedar pembasah tenggorokan atau makan daging bangkai untuk mancegah lapar, namun seteguk khamer atau secuil daging bangkai tidak berubah menjadi halal karena darurat tersebut.

Begitu juga ghibah diperbolehkan untuk suatu maslahat, seperti menggunjing ahli bid’ah dalam rangka untuk tahdzir. Tidak tertutup kemungkinan istilah syar’i ghibah masih tetap ada.

Dengan demikian syubhat di atas bisa terjawab secara tuntas. Dan sudah menjadi ketetapan ulama salaf dan ulama sunnah, bahwa menggunjing bisa berfungsi sebagai pengganti menghujat dan mencela ahli ahli bid’ah dalam rangka mentahdzir mereka, agar fitnah bid’ah tidak menjalar kepada orang lain. Bila demikian, tidak kontradiksi dengan larangan ghibah.

Namun kita harus tetap waspada terhadap ungkapan “Tidak ada ghibah bagi ahli bid’ah atau semakna dengan itu, agar tidak dipahami secara keliru oleh sebagian orang awam. Untuk itu perlu dijelaskan makna sebenarnya agar orang yang mendengarkan tidak tidak mengira boleh berghibah, meskipun hanya karena hawa nafsu atau permusuhan tidak syar’i terhadap ahli bid’ah.
Terlebih zaman sekarang ini, sangat sedikit pemahaman dalam mencerna sikap ulama salaf terhadap ahli bid’ah. Sebagian orang mengira bahwa pernyataan dan atsar ulama Salaf tersebut masih bias dan terkesan kontradiksi dengan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan diantara mereka mencela ulama Salaf dan aqidah Salafiyah, karena mendengar pernyataan sebagian penceramah baik lewat mimbar jum’at, kuliah umum atau majelis ta’lim yang menukil sebagian ungkapan ulama salaf yang dipahami secara keliru, seperti ungkapan, “Allah Ta’ala tidak menerima amalan ahli bid’ah “dan ungkapan, “Allah Ta’ala menolak menerima taubat ahli bid’ah,“ dan lainnya.

Seharusnya seorang ahli ilmu menjelaskan secara shahih kepada manusia ungkapan seperti itu, dan mendudukkan pada makna dan maksud yang benar sesuai dengan kaidah agama. Jika dianggap ada ungkapan yang menimbulkan salah paham bagi pendengar, hendaknya mengganti dengan ungkapan yang lebih jelas dan tidak menimbulkan penafsiran lain. Sebab ulama Salaf menggunakan ungkapan singkat padat tersebut, untuk para penuntut ilmu yang mampu memahami secara baik. Sehingga tidak logis dan kurang bijak, bila pernyataan ulama salaf tersebut disampaikan kepada orang awam zaman sekarang dengan ungkapan apa adanya, tanpa penjelasan dan rincian yang gamblang tentang maksud ungkapan ulama salaf tersebut.

Setelah kita mengetahui bolehnya menggunjing ahli bid’ah, bahkan bisa berhukum wajib bila tidak munghkin membasmi kemungkaran kecuali dengan cara itu, namun bolehnya menggunjing ahli bid’ah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

-Pertama : Ikhlas dalam menggunjing semata-mata untuk membongkar kesesatan ahli bid’ah, dan untuk menasihati kaum muslimin agar menjauhi mereka, bukan untuk maslahat tidak syar’i seperti permusuhan pribadi, cemburu, hasad dan semisalnya. Maka dalam kondisi seperti itu, ghibah tidak boleh meskipun ahli bid’ah sangat rusak. Karena motivasi ghibah untuk kepentingan pribadi, bukan ikhlas kepada Allah Ta’ala dan menasihati kaum muslimin.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyah setelah menjelaskan hukum menggunjing ahli bid’ah Beliau berkata, “Orang yang membicarakan ahli bid‘ah hendaknya berniat ikhlas karena Allah Ta’ala, namun bila untuk popularitas atau merusak, maka hanya sekedar berjuang untuk membela diri atau riya’. Sebab bila ikhlas karena Allah Ta’ala, dia termasuk berjihad di jalan Allah Ta’ala dan penegak amanat para Nabi dan Khalifah para Rasul, serta bertentangan dengan hadits, “Ghibah adalah bila kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibenci ” (Majmu’ Fatawa, 28/35).

-Kedua: Hendaknya ahli bid’ah yang dighibah secara terang-terangan menampakkan kebid’ahan mereka. Bila mereka melakukan bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak boleh digunjing dan dicemarkan nama baiknya. Menggunjing ahli bid’ah dalam rangka membasmi kemungkaran mereka. Dan tidak mungkin hal itu diterapkan, kecuali pada ahli bid’ah yang terang-terangan menampakkan kebid’ahan.

Imam Al- Auza’i berkata, “Pendahulu kalian sangat keras terhadap lisan meraka dalam membicarakan ahli bid’ah, sangat takut hati mereka dalam rangka menjelaskan kebid’ahan mereka. Apabila mereka melakukan bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak satupun di antar ulama Salaf merobek kehormatan mereka yang telah tertutup rapi, karena Allah Ta’ala telah melindungi mereka dengan taubat. Namun jika mereka secara terang-terangan menampakkan kebid’ahan, mempropagandakan kebid’ahannya sehingga bid’ah semakin merajalela, maka menebar ilmu sebagai sumber kehidupan dan menyampaikan pesan Rasul sebagai bentuk rahmat agar menjadi pegangan bagi orang yang terus berbuat jahat dan ilhad (menyimpang) di hari kelak” (Al-Bida’, Ibnu Wadhdhah, hal. 45).

-Ketiga: hendaknya ahli bid’ah yang dibicarakan masih hidup, dan bila telah meninggal dunia tidak boleh digunjing dan tidak boleh diungkit-ungkit perbuatan bid’ah yang telah dilakukan. Juga dilarang mencelanya setelah meninggal dunia sebab Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Janganlah kamu menghujat orang yang sudah meninggal dunia, karena dia sudah menerima balasan atas yang diperbuat “(HR. Al-Bukhari).

Poin ketiga dikarenakan, hikmah diperbolehkan ghibah sudah tidak ada setelah orangnya meninggal dunia. Karena kekhawatirann penularan bid’ah sudah tidak ada lagi, kecuali bila ahli bid’ah tersebut meninggalkan karya berupa tulisan yang membela kebid’ahan atau kesesatan dan para pengikutnya sanagt fanatik menyebarkan kebid’ahan sepeninggalnya. Bila demikian, boleh membicarakan atau menggunjing ahli bid’ah tersebut dalam rangka menjauhkan manusia dari pengaruh kesesatan kitab dan pemikirannya karena faktor yang membolehkan ghibah masih ada, yaitu adanya kekhawatiran buku dan para pengikutnya mempengaruhi orang lain.

Imam Al-Qarafi berkata, ”Jika ahli bid’ah mati tidak meninggalkan pengikut yang mengkultuskan, atau karya tulis yang membahayakan, atau tidak ada faktor yang bisa merusak orang lain, sebaiknya setelah mati harus tetap dilindungi kehormatannya, dijaga aibnya serta urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala” (Al-Furuq, vol. 4, hal. 208).

-Keempat Bersikap adil dan obyektif ketika menilai dan membicarakan ihwal ahli bid’ah. Tidak menyebutkan kecuali perilaku yang hakiki dan tidak menghujat kecuali keburukan yang nyata-nyata dikhawatirkan akan menular kepada orang lain.

Sebab Allah Ta’ala berfirman,
artinya : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan. ” (Al-Maidah : 8)

Jika melempar tuduhan yang tidak berdasar dan membuat suatu kebohongan keji, maka bukan termasuk ghibah yang mubah, bahkan termasuk tuduhan palsu yang haram dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jika dia tidak sesuai dengan apa yang kamu bicarakan, maka kamu telah membuat suatu tuduhan.” (HR. Muslim)

Membuat tuduhan bohong dilarang oleh Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan para ulama salaf, karena termasuk tindak kezhaliman yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Sementara membicarakan ahli bid’ah dalam rangka mencari ridha Allah Ta’ala. Dan ridha Allah Ta’ala tidak bisa didapat dengan murka Allah Ta’ala, kebohongan, dhalim dan kepalsuan. Hendaknya pembicaraan sekadar untuk tahdzir, dan membuat orang lain jauh dari kebid’ahan dan kesesatan mereka, tidak lebih dari itu.

(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunah Tentang Menggunjing Ahli Bid’ah Agar Umat Selamat Dari Pengaruh Mereka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar