Senin, 27 Februari 2012

Al Jarh wa At Ta'dil (2)

Al Jarh wa At Ta'dil dalam tinjauan Al Qur'an (2)
Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

Al Qur`an mengarahkan manusia ke setiap jalan yang bermanfaat, memberi batasan tegas antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, dan antara orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka dengan menerangkan ciri-ciri atau karakter masing-masing kelompok yang berlawanan ini. Di dalam Al Qur`an pula didapatkan penjelasan berbagai masalah ushul (pokok, prinsipil) dan furu’ (cabang) lengkap dengan dalil-dalil ‘aqli (rasional) dan naqli (Al Qur`an dan As-Sunnah).

Al Qur`an sebagai wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sarat dengan petunjuk dan bimbingan bagi kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensifatkan Al Qur`an ini dengan sifat-sifat agung lagi mulia yang berlaku untuk seluruh ayatnya.

Sifat-sifat tersebut merupakan bukti terbesar bahwa Al Qur`an merupakan landasan utama bagi seluruh disiplin ilmu yang bermanfaat demi kebaikan dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan bahwa Al Qur`an adalah Al-Huda (petunjuk), Ar-Rusyd (bimbingan, kelurusan) dan Al-Furqan (Yaitu Al-‘Ilmu atau pembeda, yang memisahkan antara yang haq dari yang batil. Wallahu a’lam). Bahkan Al Qur`an itu sendiri adalah Al-Huda yang memberi petunjuk seluruh manusia kepada semua yang mereka butuhkan dalam urusan dunia dan agama mereka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
تَباَرَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقاَنَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُوْنَ لِلْعاَلَمِيْنَ نَذِيْرًا
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur`an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,” (Al-Furqan ..@@@@@@@

Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam sejumlah ayat-ayat-Nya telah menerangkan sifat-sifat Al Qur`an ini dengan sifat-sifat mutlak dan umum yang tidak ada kejanggalan sedikitpun di dalamnya.
Namun, seiring pemaparan sifat-sifat Al Qur`an yang begitu sempurna dan mulia ini, ternyata Allah Subhanahu wa Ta'ala membatasi hidayah yang ada di dalam Al Qur`an dengan beberapa hal.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الم. ذَلِكَ الْكِتاَبُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 1-2)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى. سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى
“Oleh karena itu, berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfa’at, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.” (Al-A’la: 10)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّماَ أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّماَ يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْباَبِ
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”(Ar-Ra’du: 19)

Dalam ayat-ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala membatasi bahwa Al Qur`an ini adalah Al-Huda, tetapi hanya bagi orang-orang beriman, bertakwa, orang-orang berakal, orang-orang yang memikirkan, dan orang-orang yang memang menginginkan al-haq (kebenaran). Ini adalah (sebagian) penjelasan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang syarat (diperolehnya) hidayah (dari Al Qur`an). Artinya, agar Al Qur`an ini menjadi Huda (petunjuk), maka harus ada yang menerima sekaligus mengerjakan. Sehingga seseorang yang ingin memperoleh hidayah Al Qur`an ini harus berakal, berfikir dan mau mempelajari ayat-ayatnya.

Adapun seorang penentang; yang tidak mau memikirkan dan mempelajari ayat-ayatnya tidak akan mungkin mengambil manfaat yang ada di dalam Al Qur`an. Begitu pula dengan orang yang tidak mempunyai niat dan keinginan untuk mendapatkan kebenaran atau kesadaran. (Yaitu) orang yang maksud dan tujuannya rusak, di mana dia menempatkan dirinya untuk menentang dan menyelisihi Al Qur`an. Dia pasti tidak akan menerima bagian sedikitpun dari hidayah Al Qur`an ini.

Sedangkan mereka yang menyambut, memikirkan makna-maknanya, mempelajari ayat-ayat Al Qur`an dengan pemahaman dan niat yang baik dan benar serta bersih dari dorongan hawa nafsu, niscaya dia akan terbimbing mendapatkan hidayah menuju tujuan-tujuan dan sasaran yang dicita-citakannya.

Maka barangsiapa yang memahami bahwa Al Qur`anul ‘Azhim betul-betul menyandang semua sifat mulia, bahkan paling tinggi dan sempurna serta paling bermanfaat bagi semua manusia. Kemudian dia meyakini pula bahwa di dalamnya terkandung makna-makna agung, yang selalu diulang-ulang dan semakin menambah keindahan serta kesempurnaannya, tentulah dia memahami pula bahwa ketika seorang thalibul ‘ilmi (pencari ilmu) mengamati tafsir satu ayat Al Qur`an, dia akan terbawa untuk memahami serta mengenal tafsir ayat-ayat lainnya. Dan selanjutnya, dia dituntut untuk beriman dan mengamalkan kandungan Al Qur`an tersebut.
Asy-Syaikh Tsaqil Al-Qasimi dalam bukunya Sallus Suyuf (hal. 141) menyatakan: “Sesungguhnya, siapapun yang betul-betul memperhatikan dan mempelajari Kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya dia akan menemukan bahwa ajaran Islam ini, dibangun di atas dua prinsip utama, yaitu At-Ta`shil dan At-Tahdzir. At-Ta`shil (membangun prinsip, pedoman) dalam perkara yang haq serta menjelaskannya. At-Tahdzir (peringatan agar menjauh) dari berbagai kesesatan dengan segala bentuk dan coraknya. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan masalah besar ini dalam firman-Nya:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصاَمَ لَهاَ
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan jelas menerangkan bahwa tidak mungkin seorang muslim berada di jalan yang mulia dan lurus kecuali jika dia menghimpun kedua prinsip utama ini. Yaitu, kafir kepada thaghut (segala sesuatu yang disembah selain Allah) dan semua bentuk kebatilan, serta beriman kepada Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam rububiyah (sebagai Pencipta, Pemberi rezki, Pengatur dan sebagainya), asma` was shifat (nama-nama dan sifat-sifat-Nya), maupun dalam Uluhiyah-Nya (sebagai tempat bersandar, berlindung, bergantung, memohon doa, syafaat dan sebagainya).

Maka sesungguhnya Al Qur`an itu berbicara tentang tauhid, tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta perbuatan-perbuatan-Nya. Atau berisi tentang dakwah, ajakan, untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya serta melepaskan diri dari semua yang diibadahi (disembah) selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Atau berisi perintah dan larangan, yang merupakan hak-hak tauhid dan pelengkap atau penyempurna tauhid tersebut. Atau berisi uraian tentang kemuliaan yang diterima oleh ahli tauhid, di dunia dan akhirat sebagai balasan atas tauhid itu, serta apa yang diterima oleh musuh-musuh tauhid, di dunia dan akhirat.

Jadi, Al Qur`an itu seluruhnya berbicara tentang tauhid, hak-hak yang harus ditunaikan dan balasan-balasannya. (Fathul Majid hal 23-24)

Secara umum, al-jarh wat ta'dil sebagai wasilah untuk menjaga kemurnian dan kelestarian syariat Islam ini juga kita lihat tersebar dalam ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia ini. Mungkin dalam susunan yang tegas menunjukkan kejelekan suatu kaum, bangsa atau masyarakat, atau suatu perbuatan (amalan). Kadang dalam bentuk larangan tegas dan perintah menjauhinya. Sebaliknya, dalam masalah at-ta’dil juga demikian.

Sehingga, jika kita dapatkan di dalam Al Qur`an semua amalan yang dianggap mulia oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, kemudian dipuji oleh Allah, bahkan Dia memuji pelakunya, gembira karenanya, mencintainya, atau mencintai pelakunya bahkan meridhainya, mensyukurinya, atau menafikan adanya ketakutan dan kesedihan dari pelakunya, tertawa dan takjub terhadap pelakunya, ini adalah dalil bahwa amalan itu disyariatkan. Tentunya jelas ini merupakan bentuk-bentuk ta’dil.

Sebaliknya, setiap amalan yang dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan, pelakunya dicela, dimurkai, dibenci, dilaknat, dihapus kecintaan atau ridla terhadapnya, menyerupakan pelakunya dengan hewan ternak, dinyatakan sebagai sebab Dia menelantarkan pelakunya (di hari kiamat), menyatakan permusuhan dan perang terhadap pelakunya, dan seterusnya, maka ini adalah dalil dilarang atau diharamkannya perbuatan tersebut. Dan ini adalah sebagian dari bentuk jarh.
Di sini akan kami paparkan sebagian dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menggambarkan kepada kita adanya jarh terhadap suatu masyarakat, bangsa bahkan seseorang atau amalan tertentu, agar kita menjauhi dan berhenti mengerjakannya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَتَبَّ. ماَ أَغْنَى عَنْهُ ماَلُهُ وَماَ كَسَبَ. سَيَصْلَى ناَرًا ذَاتَ لَهَبٍ. وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ. فِيْ جِيْدِهاَ حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah baginya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (Al-Lahab: 1-5)

Abu Lahab adalah paman Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang paling sengit permusuhannya terhadap beliau. Tidak beragama, tidak memiliki rasa solidaritas kesukuan (membela kerabat). Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menghinakannya sedemikian rupa, sampai hari kiamat. Setiap lisan kaum mukminin akan senantiasa membaca ayat-ayat ini.

Dan tentunya, kita juga memaklumi bahwa Abu Lahab dan isterinya mempunyai kebaikan, namun semua itu sia-sia karena kekafiran dan permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الأَحْباَرِ وَالرُّهْباَنِ لَيَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْباَطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)

Ayat ini mengandung tahdzir bagi hamba Allah yang beriman, agar mereka berhati-hati sekaligus jangan meniru kebanyakan pendeta dan rahib yang suka memakan harta manusia dengan cara yang batil. Padahal kita tahu, semua yang diberikan manusia kepada mereka ini adalah karena ilmu dan ibadah (kebaikan) mereka, namun Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganggap kebaikan itu.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهاَ كَمَثَلِ الْحِماَرِ يَحْمِلُ أَسْفاَرًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآياَتِ اللهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Al-Jumu’ah: 5)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْناَهُ آياَتِناَ فَانْسَلَخَ مِنْهاَ فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطاَنُ فَكاَنَ مِنَ الْغاَوِيْنَ. وَلَوْ شِئْناَ لَرَفَعْناَهُ بِهاَ وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآياَتِناَ فاَقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu ia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al-A’raf: 175-176)

Ini adalah celaan atau kritik yang sangat tajam sekaligus tahdzir, agar kita menjauhi sifat buruk ini.

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَلاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِيْنٍ. هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيْمٍ. مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.” (Al Qalam: 10-12)

Terakhir, kami ingatkan; bila seseorang sudah tidak lagi dapat diperbaiki dengan Al Qur`an dan As-Sunnah, maka dengan perkataan apapun dia tidak akan mungkin dapat diperbaiki. Wallahu a’lam.

(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 14/1426 H/2005, judul asli "Al Jarh wa At Ta'dil dalam Al Qur'an, karya Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar - murid asy syaikh Muqbil rahimahullah -, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=264)
Note: Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

Al Jarh wa At Ta'dil

Al Jarh wa At Ta'dil dalam tinjauan Al Qur'an (1)
Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari Al-Bugisi

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal dengan perbuatan itu.”
(QS. Al-Hujurat : 6)

Penjelasan Ayat
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “(Ayat ini) termasuk adab yang sepantasnya diamalkan bagi orang yang berakal. Yakni apabila ada seorang yang fasiq mengabarkan suatu berita agar mengecek (kebenaran) beritanya (terlebih dahulu), jangan begitu saja mengambilnya. Sebab yang demikian ini bisa menyebabkan bahaya besar dan menjatuhkan ke dalam dosa. Karena apabila beritanya disejajarkan dengan kedudukan berita seorang yang adil dan jujur, lalu menghukuminya berdasarkan konsekuensi (riwayat seorang adil), maka akan terjadi kerugian jiwa dan harta tanpa hak dengan sebab berita tersebut sehingga menyebabkan penyesalan. Yang wajib dalam menyikapi berita seorang yang fasiq adalah meneliti dan mencari kejelasan. Apabila ada penguat yang menunjukkan kebenarannya, maka diamalkan dan dibenarkan. Dan apabila (ada penguat) yang menunjukkan kedustaan, maka didustakan dan tidak diamalkan. Maka di dalamnya terdapat dalil tentang diterimanya berita seorang yang jujur dan berita pendusta adalah tertolak, sedangkan berita seorang yang fasiq disikapi tawaqquf (abstain) sebagaimana yang telah kita jelaskan. Oleh karenanya, para ulama salaf menerima banyak riwayat dari Khawarij yang dikenal kejujurannya, walaupun mereka termasuk orang-orang yang fasiq.”
(Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 800)

Penjelasan Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah tersebut di atas menerangkan bahwa ayat yang mulia ini merupakan salah satu hujjah disyariatkannya ilmu al-jarh wat-ta’dil.

Al-jarh (الْجَرْحُ) artinya mencela/mencacat, yaitu mencela seorang perawi/ pembawa berita dikarenakan adanya salah satu faktor yang menyebabkan tertolaknya suatu riwayat pada diri perawi tersebut.

Sedangkan at-ta’dil (التَّعْدِيْلُ) artinya memuji atau menyatakan keadilan seorang perawi karena adanya faktor-faktor yang menunjukkan keadilannya dan tidak terdapatnya sesuatu yang menjadikan dia layak dicela.

Oleh karenanya, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa yang pertama kali berbicara tentang al-jarh wat-ta’dil adalah Al Qur‘an Al-Karim. (Ahwal Arijaal, Al-Mu’allimi hal. 17, tahqiq ‘Ali Hasan)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk tatsabbut (mengecek) atas berita seorang yang fasiq agar berhati-hati, sehingga dia tidak memberi hukum berdasarkan perkataannya. Sehingga di saat itu dia (si fasiq) berdusta ataukah keliru, maka seorang hakim pun berpegang dengan ucapannya dan mengikuti jejaknya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang dari mengikuti jalan orang-orang yang merusak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/209)

Demikian pula yang dijelaskan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah: “Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepadamu, bahwa sesungguhnya wajib bagi setiap orang untuk mengetahui (perbedaan) antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang berpenyakit, antara perawi yang dipercaya penukilannya dengan perawi yang tertuduh (berdusta). Jangan pula dia meriwayatkan kecuali yang dia ketahui keshahihan makhraj (tempat keluar haditsnya) dan terjaga penukilannya. Dan dia berhati-hati terhadap (riwayat) yang dinukil dari orang yang tertuduh dan penentang dari kalangan ahli bid’ah.”
Lalu beliau menyebutkan dalil atas apa yang beliau sebutkan, diantaranya ayat yang menjadi pembahasan kita, dan diantaranya pula firman-Nya:

“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (Al-Baqarah: 282)

Dan firman-Nya:

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.” (At-Thalaq: 2)

Lalu beliau berkata: “Maka ayat-ayat ini menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwa kabar seorang yang fasiq gugur dan tidak diterima, dan tertolaknya persaksian orang yang tidak adil.”

Lalu beliau pun berdalil dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia menyangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.”
(Muqaddimah Shahih Muslim, 1/8-9)

Manhaj Salaf dalam Al-Jarh wat-Ta’dil

Di zaman para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, zaman terbaik umat ini, tidak dikenal seseorang yang berani mendustakan suatu hadits kemudian mengatasnamakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini karena mereka adalah orang-orang yang dikenal akan keadilannya dan kejujuran dalam periwayatannya. Ketika seorang shahabat Nabi memberitakan hadits kepada shahabat yang lainnya, mereka langsung menerimanya tanpa ragu, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bara‘ bin Azib radhiallahu 'anhu:

“Tidak semua apa yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami dengarkan langsung, diantaranya ada yang kami dengarkan langsung dan diantaranya ada yang diberitakan oleh para shahabat kami, dan kami tidaklah berdusta.” (HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/50, dan juga Al-Hakim dalam Ma’rifat Ulumil Hadits, 14, dengan lafadz yang berbeda)

Oleh karenanya terkadang kita mendapati seorang shahabat memberitakan suatu hadits atau suatu kisah yang beliau tidak hadir secara langsung dalam kisah tersebut. Ini disebabkan mereka meriwayatkannya secara mursal, yang dikenal dengan istilah mursal shahabi, dan para ulama bersepakat tentang kehujjahannya.

Dan ketika muncul berbagai macam fitnah kesesatan dan bid’ah di kalangan umat ini, baik Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah, Mu’tazilah, dan yang lainnya, mulailah bermunculan beberapa perawi yang dituduh melakukan kedustaan terhadap suatu hadits dan mengatasnamakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan berbagai macam tujuan dan kehendak.

Al-Imam Muslim rahimahullah telah meriwayatkan dengan sanadnya dalam muqaddimah Shahih-nya (1/13) dari Mujahid bin Jabr berkata: Busyair Al-Adawi datang kepada Ibnu ‘Abbas, lalu mulailah dia membaca hadits dan berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.” Maka Ibnu ‘Abbas pun tidak mendengarkan haditsnya dan tidak memperhatikannya.

Maka Busyair berkata: “Wahai Ibnu ‘Abbas, mengapa aku melihatmu tidak mendengarkan haditsku? Aku memberitakanmu hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan engkau tidak mendengarkannya?” Maka Ibnu ‘Abbas menjawab: “Sesungguhnya dahulu apabila kami mendengar seseorang berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, maka pandangan kami tertuju padanya dan kami menyimaknya dengan telinga kami. Namun ketika manusia menunggangi yang sulit atau yang mudah (yakni semaunya dalam menyampaikan hadits, baik dengan cara yang baik atau yang jelek), maka kami pun tidak mengambil (hadits) dari manusia kecuali dari yang kami kenal.”

Demikian pula yang disebutkan oleh Ibnu Sirin rahimahullah: “Dahulu (zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pen) mereka tidak menanyakan tentang sanad. Namun ketika terjadi fitnah, maka mereka mengatakan: ‘Sebutkanlah kepada kami para perawi kalian.’ Maka dilihat kepada Ahlus Sunnah lalu diambil haditsnya, dan dilihat kepada ahli bid’ah lalu tidak diambil haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya, 15)

Ketika mulai bermunculan hadits-hadits palsu yang tersebar di kalangan kaum muslimin yang berasal dari para pendusta hadits, maka mulailah dilakukan penelitian terhadap keadaan setiap hadits para perawi untuk melakukan tamhish (penjernihan) berbagai riwayat yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjamin terpeliharanya Al Qur`an dan As Sunnah dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
(QS. Al-Hijr : 9)

Sebagian orang mengadu kepada Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah tentang tersebarnya hadits-hadits palsu, maka beliau menjawab: “Para cendekia hadits yang akan menghadapinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Kifayah, 36-37)

Maka bermunculanlah para pembela As Sunnah yang rela menghabiskan seluruh umur mereka demi memelihara Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Diantara mereka adalah Abdurrahman bin Mahdi, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hambal, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Al-Bukhari, Muslim, Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Al-Mubarak, dan para imam lainnya rahimahumullah yang terkenal sebagai para tokoh dalam bidang al-jarh wat ta'dil.

Dalam meneliti keadaan para perawi hadits tersebut, mereka mempunyai berbagai cara dalam mengetahui ke-tsiqah-an atau kelemahan seorang rawi, yang secara garis besar terbagi menjadi dua bagian:
- Pertama: Mereka semasa dengan para perawi tersebut, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk melakukan pengetesan (ikhtibar) terhadap para perawi tersebut.

Diantara cara ikhtibar tersebut adalah:
1. Memperhatikan keadaan perawi, istiqamahnya dalam ketakwaan, menjauhi kemaksiatan, serta bertanya kepada orang-orang yang mengenalnya dengan baik. Hasan bin Shalih berkata: “Adalah kami apabila hendak menulis hadits dari seorang perawi, kami pun bertanya (kepada yang mengenalnya) tentangnya, sehingga dikatakan kepada kami: Apakah kalian hendak menikahkannya?”(Al-Kifayah, 93)
2. Apabila seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang syaikh yang masih hidup, maka ditanyakan kepada syaikh yang masih hidup tersebut. Seperti apa yang diriwayatkan dari Syu’bah bin Al-Hajjaj bahwa dia berkata: Al-Hasan bin Umarah berkata: Al-Hakam telah memberitakan kepadaku dari Yahya bin Al-Jazzar dari ‘Ali sebanyak tujuh hadits.” Lalu aku (Syu’bah) bertanya langsung kepada Al-Hakam tentang riwayat itu, beliau menjawab: Aku tidak pernah mendengarnya sedikitpun.” (Tarikh Baghdad, Al-Khatib, 7/347)
Dan diriwayatkan oleh Ar-Ramahurmuzi dengan sanadnya dari Abu Dawud Ath-Thayalisi berkata: Syu’bah berkata: “Datangilah Jarir bin Hazim dan katakan padanya: Tidak halal bagimu meriwayatkan hadits dari Al-Hasan bin Umarah, karena dia berdusta.” Lalu aku bertanya kepada Syu’bah: “Apa tanda (kedustaannya)?” Beliau menjawab: “Dia meriwayatkan dari Al-Hakam sesuatu yang kami tidak mendapati asalnya.” (Dirasaat Fil Jarh Wat-Ta’dil, Al-A’zhami, 27)
Termasuk pula dalam hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah dari jalan Muammal bin Isma’il, dia berkata: Seorang syaikh telah memberitakan kepadaku hadits Ubay bin Ka’ab yang panjang tentang berbagai keutamaan Al Qur‘an, lalu aku berkata kepadanya: “Siapa yang memberitakan kepadamu?” Dia menjawab: “Seseorang di Mada`in dan dia masih hidup.” Maka akupun berangkat ke orang tersebut. Lalu aku bertanya kepadanya: “Siapa yang memberitakanmu?” Dia menjawab: “Telah memberitakan kepadaku seorang syaikh di Wasith dan dia pun masih hidup.” Lalu akupun berangkat menuju tempatnya. Lalu (setelah bertemu) dia berkata: “Telah memberitakan kepadaku seorang syaikh di Bashrah, dan dia pun masih hidup, lalu aku pun pergi menuju kepadanya. (Setelah bertemu) dia berkata: Telah memberitakan kepadaku seorang syaikh di Abbadan. Lalu akupun pergi menuju kepadanya.(Lalu aku bertanya kepadanya), maka diapun mengambil tanganku, lalu membawaku masuk ke sebuah rumah, yang ternyata di dalamnya terdapat kaum tasawwuf yang terdapat seorang syaikh bersama mereka. (Orang yang membawaku itu) berkata: “Syaikh inilah yang memberitakan kepadaku.” Lalu akupun bertanya kepadanya: “Wahai syaikh, siapakah yang memberitakannya kepadamu?” Diapun menjawab: “Tidak seorang pun yang memberitakan hadits ini kepadaku, akan tetapi ketika kami melihat manusia telah berpaling dari Al Qur‘an maka kami pun memalsukan hadits ini untuk mereka agar mengembalikan hati mereka kepada Al Qur‘an.” (Lihat An-Nukat ‘Ala Ibnish Shalah, Al-Hafidz, tahqiq Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah, 2/862)
3. Apabila seorang perawi memberitakan hadits dari seorang syaikh yang telah meninggal, maka perawi tersebut ditanya: “Kapan engkau lahir? Kapan engkau bertemu syaikh tersebut? Di mana engkau menemuinya?”

Seperti apa yang diriwayatkan dari ‘Ufair bin Ma’dan bahwa Umar bin Musa memberitakan hadits dari Khalid bin Ma’dan. Maka ‘Ufair bertanya: “Tahun berapa engkau bertemu dengannya?” Dia menjawab: “Tahun 158 H, pada peperangan Armenia.” Aku pun berkata: “Takutlah kamu kepada Allah, wahai syaikh, jangan engkau berdusta. Khalid telah meninggal pada tahun 154 H, ditambah lagi bahwa beliau tidak pernah hadir dalam perang Armenia.” (Lisan Al-Mizan, Al-Hafidz, 4/380)

Dan masih banyak lagi cara mereka melakukan pengetesan terhadap kebenaran riwayat seorang perawi. (Lihat ‘Ilmu Ar-Rijaal Wa Ahammiyyatuhu, Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi)

- Kedua: apabila mereka tidak semasa dengan perawi yang ingin diketahui keadaan riwayatnya, maka dengan cara sabrul ahaadiits (pengecekan satu persatu riwayat perawi tersebut). Jika perawi tersebut banyak meriwayatkan hadits dan jarang terjadi kesalahan dalam riwayatnya, maka dia disifati sebagai seorang hafidz. Jika memiliki sedikit kesalahan dibanding sekian banyak riwayatnya, maka haditsnya berada diantara tingkatan shahih hingga hasan. Jika banyak terjadi kesalahan pada riwayatnya dan fatal kesalahannya, hanya saja tidak sampai kepada tingkat ditinggalkan haditsnya, maka yang demikian derajatnya dha’if atau lemah. Dan apabila kesalahan lebih mendominasi haditsnya, maka orang yang demikian ditinggalkan haditsnya. (Lihat Ittihaful Hafazhah, Al-Baidhani, 11-12)

Adapun perincian dalam permasalahan ini, silahkan merujuk kepada kitab-kitab yang membahas khusus tentang al-jarh wat-ta’dil.
Wallahul muwaffiq.

(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 14/1426 H/2005, judul asli "Al Qur'an Berbicara tentang Al Jarh wa At Ta'dil, karya Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi - murid asy syaikh Muqbil rahimahullah -, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=265)