Senin, 01 April 2013

Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan

Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan Oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman Allah telah menguji setiap hamba-Nya dengan ujian yang berbedabeda. Tidak ada sedikit pun dalam ujian tersebut, Allah l menzalimi mereka. Semua terjadi dan berjalan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Terjadinya, tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya, menghalanginya, mengubahnya, dan menggantikannya. Itulah ketentuan yang tidak akan berubah dan itulah sunnatullah yang tidak akan berganti. Termasuk ujian yang bersifat menyeluruh atas para hamba-Nya adalah dunia yang indah dan hijau ini, perhiasan yang selalu dilirik, kemegahan yang senantiasa dikejar. Tahukah Anda, di belakang gemerlap dan keindahannya yang memikat, tersimpan bencana dan penipuan yang besar? Cermati, lihat, dan belajarlah dari orang yang telah tenggelam di dalamnya. Dia mengira bahwa dunia ini diciptakan untuknya dan dia diciptakan untuk dunia. Lihat pula kemajuan yang telah diraih oleh negeri-negeri kafir, ternyata semua itu menjadi bumerang dan senjata makan tuan. Dunia telah memikat, menjerat, membungkam, meninabobokan, dan merongrong agama seseorang. Menurut al-Imam Ibnu Qayyim, dunia itu bagaikan seorang wanita pelacur yang tidak pernah puas dengan satu suami. Dia akan mencari laki- laki yang akan berbuat baik kepada dirinya dan dia tidak menyukai seorang lelaki yang pencemburu. Orang yang berjalan mengejar dunia bagaikan orang yang berjalan di daerah yang penuh binatang buas. Jika dia berenang ingin menggapainya, ia bagaikan orang yang mengejarnya dalam pusaran air yang penuh buaya.” (Lihat al-Fawaid karya Ibnul Qayyim hlm. 53) Allah Subhanahuwata’ala mencela Dunia وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Tiadalah kehidupan dunia selain kesenangan yang menipu.”( Al‘iI mran: 185) وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا, الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا “Berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit. Menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan karenanya di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Adalah Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh lebih baik pahalanya disisi Rabbmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45—46) زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ قُلْ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيْرٍ مِّن ذَٰلِكُمْ ۚ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaituwanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yangbaik(jannah/ surga). Katakanlah,‘Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baikdari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa( kepadaA llah),pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka di karuniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah, dan AllahMahaMelihat akan hamba-hamba-Nya.” (AliImran: 14-15) وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya?”( al- An’am: 32) إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya perumpamaan hidup dunia ini adalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai perhiasannya, serta para pemiliknya menyangka bahwa mereka sanggup menguasainya, tiba-tiba datanglah kepada mereka azab Kami diwaktu malam atau siang. KemudianKami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orangyang berpikir.” (Yunus: 24) وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ “Tidaklah kehidupan dunia ini selain senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itu sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (al-‘Ankabut: 64) إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ “Sesungguhnyajanji-janji Alla itu benar , maka janganlah kehidupan dunia menipu kalian dan jangan sekali-kali setan menipu kalian dijalan Allah.” (Luqman: 33) Ketika membahas tafisr surat al-Fath, as-Sa’di menerangkan, “Ini adalah bentuk pendidikan kezuhudan dari Allah l kepada segenap hamba-Nya terhadap kehidupan dunia, yakni dengan memberi tahu mereka tentang hakikat dunia. Sesungguhnya dunia itu adalah main-main dan sia-sia. Main main dalam urusan badan dan sia-sia dalam urusan hati. Seorang hamba senantiasa berada dalam kelalaian karena urusan harta, anak-anak, perhiasan, dan segala bentuk kelezatannya, baik dari sisi wanita, makanan, minuman, tempat tinggal, tempat peristirahatan, pemandangan, maupun kepemimpinan. Sia-sia dalam setiap amal yang tidak ada faedahnya. Bahkan, dia berada dalam kemalasan, kelalaian, dan kemaksiatan sampai dunianya terpenuhi dan ajalnya datang menghampiri. Hal ini menuntut orang yang berakal untuk bersikap zuhud terhadap dunia, tidak mencintainya, dan benar-benar mewaspadainya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 790) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mencela Dunia Diriwayatkan dari Jabir , Rasulullah melewati sebuah pasar di daerah Awali dan orang-orang berada di sekelilingnya. Beliau melewati seekor anak kambing yang telah mati. Anak kambing itu bertelinga kecil. Beliau mengambilnya dan memegang telinganya lalu berkata, “Siapa yang mau membelinya dengan harga satu dirham?” Mereka menjawab, “Siapa di antara kami yang senang memilikinya? Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau berkata, “Apakah kalian senang memilikinya?” Mereka berkata, “Jikapun dia hidup, dia tetaplah cacat. Lantas bagaimana lagi ketika dia sudah mati?” Beliau bersabda, “Demi Allah, dunia lebih hina di hadapan Allah daripada hinanya (bangkai) ini di hadapan kalian.” (HR. Muslim no. 5257) إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau(enak rasanya dan menyenangkan tatkala dipandang), dan sungguh Allah mengangkat kalian silih berganti dengan yang lain didunia ini, lantas Dia akan melihat apayangkalian perbuat(dengan duniaitu). Oleh karena itu, hati-hatilah kalian terhadap urusan dunia dan wanita, karena awal petaka yang menimpa Bani Israil adalah dalam halwanita.” (HR. Muslim no. 4925 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu ) وَاللهِ، مَا الدُّنْيَا فِي ا خْآلِرَةِ إِ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ-وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ فِي الْيَمِّ-فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ “Demi Allah, tidaklahdunia dibandingkan dengan akhirat selain seperti seseorang yang meletakkan jarinya ini—Yahya, salah seorangperawi, mengisyaratkan dengan telunjuknya ke dalam air—hendaknya dia melihat apa yang ada dijarinya tersebut.” (HR. Muslim no. 5101 dari sahabat al- Mustaurid radhiyallahu anhu ) إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ “Setiap umat ditimpa oleh ujian, dan ujian yang akan menimpa umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2258 dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu anhu ) عَلَى حَصِيرٍ فَقَامَ وَقَدْ نَامَ رَسُولُ اللهِ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوِ اتَّخَذْنَا لَكَ وِطَاءً؟ فَقَالَ: مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا Rasulullah tidur diatas sebuah tikar. Tikar tersebut membekas di bagian lambung beliau. Lantas kami mengatakan,“Wahai Rasululah, bolehkah kami membuatkan kasur?” Beliau bersabda,“Tiadalah saya dengan dunia selain seperti orang yang bepergian lalu berteduh dibawah pohon kemudian dia pergi meninggalkannya.”( HR.a t-Tirmidzi no. 2299 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu ) مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ “Tidaklah dua ekor serigala dalam keadaan lapar dilepas pada sekawanan kambing akan lebih merusak dibandingkan dengan ambisi harta dan kedudukan terhadap agama seseorang.”(HR. at-Tirmidzi no. 2298 dari sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu ) Allah Subhanawata’ala telah menyebutkan dunia pada banyak tempat dalam kitab suci- Nya dalam rangka menghinakannya, demikian pula Rasul-Nya di dalam as-Sunnah. Tentu tujuannya agar para hamba tidak tertipu dan terlena. Dalam hal menanggapi berita dari Allah Subhanahuwata’ala dan menyikapi pengutusan imam para rasul, Nabi Muhammad, manusia terbagi menjadi beberapa golongan. 1. Golongan yang acuh tak acuh terhadap peringatan tersebut. Mereka tidak mau tahu tentangnya. Yang penting, segala hasratnya terpenuhi, semua keinginannya terwujud, dan citacitanya tercapai. 2. Golongan yang mau mendengarkan berita dari Pemilik dunia ini, Yang mengatur dan Yang menciptakannya. Namun, karena dorongan hawa nafsunya yang besar, semua berita itu tidak memiliki nilai kesakralan dan keabsahan. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telingakiri. 3. Golongan yang mendengar,mematuhi, dan melaksanakan segala apa yang diwahyukan oleh Allah tentang dunia. Dia berusaha mendudukkan dunia dan menjadikannya sebagai alat bantu untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah. Dia mencarinya karena melaksanakan tugas. Apabila dia mendapatkannya, dia tidak tergolong orang yang kufur. Sebaliknya, apabila tidak mendapatkannya,dia tidak tergolong orang yang putus asa. Dia mengetahui bahwa dunia ini adalah kenikmatan yang semu dan menipu. Dunia, Sumber Malapetaka Tidak samar lagi bagi orang yang berakal tentang bahaya dunia terhadap kehidupan manusia ketika dunia itu tidak ditundukkan untuk membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Dunia telah menyebabkan turunnya berbagai bentuk peringatan dari Allah .Dunia menjadi sebab hancurnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Dunia pula yang menghancurkanpersatuan dan kesatuan umat sehingga berujung pada malapetaka kelemahan, (yang dengan sebab itu) mereka kemudian dihinakan oleh musuh Allah.Dunia telah menjadikan seseorang terhina dan menghinakan diri. Dunia telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Dunia telah menyebabkan hilangnya nyawa, terhinakannya kehormatan, dan hancurnya harta benda. Dunia telah menjadikan seseorang buta dari kebenaran, dia menolaknya karena dunia, menentangnya karena dunia, dan memeranginya karena dunia. Dunia telah menjadikan hati seseorang mati. Dunia adalah asal segala malapetaka. Dunia, Sebab Utama Menolak Kebenaran Kebenaran datang dari Allah dan tidak ada setelah kebenaran tersebut selain kesesatan. Terangnya kebenaran dan jelasnya jalan kebatilan bagi sebagian kalangan bisa menjadi tersembunyi. Bahkan, terangnya kebenaran itu akan ditolak oleh orang yang dibutakan oleh dunia. Tidak ada keraguan lagi bahwa setiap nafsu memiliki berbagai keinginan yang tercela, seperti cinta kepada dunia, mencari ketinggian, berlomba-lomba di hadapan makhluk, mencari kedudukan, dan sebagainya. Ditambah lagi, manusia memiliki tabiat zalim dan melampaui batas. Allah berfirman, إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا “Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat zalim dan jahil.”( al-Ahzab:7 2) Terkadang, banyak sebab yang mendorong sifat yang tersimpan pada diri setiap manusia itu muncul. Di antaranya adalah hawa nafsu sehingga dia menolak kebenaran padahal dia mengilmuinya. Sikap ini muncul karena ia mengikuti hawa nafsu dan menuntut kemuliaannya terjaga atau ingin memperoleh sedikit dunia. Anda bisa menemukan mereka dalam kondisi menyelisihi kebenaran, padahal mereka mengetahuinya, karena ingin memperoleh dunia. Mereka berteriak seolah-olah pembela kebenaran. Abu Wafa’ Ali bin ‘Aqil al-Hambali berkata, “Cinta kepada pamor dan condong kepada dunia, berbanggabangga, bermegah-megahan, dan menyibukkan diri dengan segala bentuk kelezatan dunia dan segala hal yang akan mendorong kepada kemewahan, semua itu bisa menjadi sebab seseorangberpaling dan menolak kebenaran.” (al-Wadhih fi Ushulil Fiqh, 1/522) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pencari kedudukan, walaupun dengan kebatilan, akan menyukai satu kalimat yang mengagungkan dirinya sekalipun itu batil. Sebaliknya, ia akan membenci ucapan yang mencelanya, kendati hal itu benar. Adapun orang yang beriman mencintai kalimat yang haq untuknya meskipun itu “menyerangnya”, serta membenci kedustaan dan perbuatan zalim.”(Majmu’ al-Fatawa 10/600) Al-’Allamah Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh berkata tentang orang-orang yang berpaling dari kebenaran, “Golongan yang kedua, para pemimpin dan pemilik harta benda yang telah tenggelam dalam dunia dan syahwat mereka. Sebab, mereka mengetahui bahwa kebenaran bisa menghalangi mereka dari segala keinginan, kesenangan, dan syahwat mereka. Mereka tidak memedulikan segala bentuk seruan menuju kebenaran dan tidak mau menerimanya.” (Uyun ar-Rasail hlm. 2/650) Perilaku setiap orang yang berpaling dari kebenaran karena harta, kedudukan, atau pamor, mirip dengan perilaku orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ulama-ulama Yahudi memiliki “sumber” penghidupan pada orang-orang kaya kaumnya. Oleh karena itu, saat Rasulullah datang membawa kebenaran, mereka mengetahui bahwa yang dibawanya adalah haq. Namun, karena dunialah mereka mengingkari dan mengkufurinya. Mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dari bani Israil. Dunia, Sebab Utama Kesesatan Saat menafsirkan firman Allah l, وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا “Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit.” (al-Baqarah: 41) Abul Muzhaffar as-Sam’ani berkata, “Mereka adalah para ulama Yahudi dan para pendeta yang telah memiliki sumber penghasilan dari orang-orang kaya mereka dan orang-orang jahil yang mengikuti mereka. Mereka khawatir penghasilan tersebut hilang apabila mereka beriman kepada Muhammad, Rasulullah. Akhirnya, mereka mengubah ciriciri beliau (yang tercantum dalam kitab mereka, red.) dan menyembunyikan nama beliau. Inilah makna menjual ayat-ayat Allah dengan harga sedikit.” (Tafsir al-Qur’an 1/22) Kedudukan, kewibawaan, dan kepemimpinan juga telah melandasi para pemuka Quraisy untuk mengingkari Nabi Muhammad, memerangi, dan memusuhinya. Bersamaan dengan itu, mereka mengetahui dan mengakui kebenaran yang diserukan beliau. Al-Miswar bin Makhramah berkata kepada Abu Jahl, pamannya, “Wahai pamanku, apakah kalian menuduh Muhammad berdusta sebelum dia mendakwahkan apa yang diserukan?” Abu Jahl berkata, “Hai anaksaudaraku. Demi Allah, sungguh saat mudanya, di tengah-tengah kami dia dikenal sebagai seorang yang tepercaya (jujur). Kami tidak pernah mengetahui dia berdusta. Tentu setelah bertambah usia dia tidak mungkin akan berdusta atas nama Allah.” Al-Miswar berkata, “Hai pamanku, mengapa kalian tidak mengikutinya?” Dia berkata, “Hai anak saudaraku, kami telah berselisih dengan bani Hasyim dalam hal kepemimpinan. Mereka memberi makan (orang-orang), kami juga memberi makan. Mereka memberi minum, kami pun memberi minum. Mereka memberi perlindungan, kami juga melakukannya. Tatkala kami saling berlomba-lomba, bani Hasyim berkata, ‘Dari kami ada seorang nabi. Kapan kalian mendapatkannya?’.” (Lihat Miftah Daar as-Sa’adah 1/93) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Meskipun Abu Thalib mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan dia mencintainya, cintanya bukan karena Allah l, melainkan karena dia adalah anak saudaranya. Dia mencintainya karena kekerabatan. Kalaupun dia membela beliau, itu karena ingin memperoleh kedudukan dan kepemimpinan. Jadi, asal muasal cintanya adalah karena sebuah kedudukan. Hal itu terbukti saat Rasulullah menawarinya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat menjelang ajalnya. Dia melihat bahwa mengikrarkannya akan melenyapkan agama yang dicintainya. Agamanya lebih dia cintai daripadaanak saudaranya. Oleh karena itu, dia menolak mengikrarkannya.” (Fatawa Kubra’ 6/244) Asy – Syaukani berkata ,“Terkadang, sebuah ucapan yang haq ditinggalkan karena seseorang ingin menjaga apa yang telah dia peroleh dari negaranya baik berbentuk materi maupun kedudukan. Bahkan, terkadang ucapan yang haq itu ditinggalkan karena berbeda dengan apa yang terjadi di tengah tengah manusia, dalam rangka mencari simpati mereka dan agar mereka tidak lari. Terkadang pula, dia meninggalkan ucapan yang benar karena ketamakannya terhadap apa yang diharapkan dari negaranya atau dari banyak orang di kemudian hari.” (Adabuath-Thalib wa Muntaha al-Arb hlm. 41) Al-Imam Ibnu Qayyim berkata, “Saya telah berdialog dengan ulama Nasrani yang kelasnya terpandang pada hari ini. Saat jelas kebenaran dihadapannya, dia terdiam. Saya berkata kepadanya tatkala menyendiri dengannya, ‘Sekarang, apa yang menghalangi Anda untuk menerima kebenaran?’ Dia berkata kepadaku, ‘Apabila saya datang ke tengah-tengah kaum Himyar, mereka menaburkan bunga yang semerbak di bawah kaki kendaraanku. Mereka menjadikanku sebagai hakim dalam urusan harta benda dan istri mereka. Mereka tidak pernah menentang segala hal yang aku perintahkan. Aku ini tidak punya keahlian untuk bekerja. Aku tidak bisa menghafal al-Qur’an, tidak pula mengetahui ilmu nahwu dan fikih. Andaikan aku masuk Islam, niscaya aku akan berkeliling di pasar-pasar, meminta-minta kepada orang banyak. Siapa yang tega hal itu terjadi?’ Aku mengatakan, ‘Itu tidak akan terjadi. Bagaimana sangkaan Anda kepada Allah l saat Anda mengutamakan ridha-Nya di atas nafsu Anda, apakah Dia akan menghinakan, merendahkan, dan menjadikan Anda miskin? Jika hal itu benar-benar menimpa Anda, kebenaran yang telah Anda raih, keselamatan dari neraka, murka, dan marah Allah adalah harga yang jauh lebih pantas dibandingkan dengan apa yang luput dari Anda.’ Dia berkata, ‘Sampai Allah merestui.’ Saya lalu berkata, ‘Takdir bukan alasan. Jika takdir bisa menjadi alasan, tentu takdir bisa menjadi alasan orang orangYahudi saat mendustakan Nabi Isa . Demikian pula, dia akan menjadi hujah bagi kaum musyrikin ketika mendustakan seruan Rasulullah. Kalian sendiri menolak takdir, bagaimana bisa kalian berhujah dengannya?’ Dia berkata, ‘Biarkan kami dari ini.’ Diapun terdiam.”(Hidayatul HayarafiAjwibatil YahudiwanNashara hlm. 12) Sumber: http://asysyariah.com/ketika-dunia-menjadi-harga-keyakinan.html

”Bersegera Menuju Zikrullah “

”Bersegera Menuju Zikrullah “ (Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal) يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ اِنْكُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ۝ فَإِذَاقُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْفِى الْأَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللهِ واذْكُرُوْا اللهَ كَثِيْرً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ۝ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan banyak-banyak mengingat Allah supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah : 9-10) Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat يَوْمِ الْجُمُعَةِ Kata “jumu’ah” dibaca oleh mayoritas ahli qira’ah dengan huruf mim yang didhammah. Abdullah bin Zubair, al-A’masy, dan yang lainnya membacanya dengan huruf mim yang disukun (الجُمْعَة). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia berkata, “Al-Qur’an diturunkan dengan bacaan tatsqil (yang diberatkan) dan tafkhim (ditebalkan), maka bacalah ,الجُمُعَة (yaitu dengan mim yang didhammah).” (Tafsir al-Qurthubi, 460/20) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Hari Jum’at disebut Jum’at karena ia berasal dari kata jam’u, yaitu berkumpul. Sebab, kaum muslimin berkumpul pada hari itu setiap pekan sekali di tempat-tempat ibadah yang besar. Pada hari itu disempurnakan penciptaan makhluk, karena ia adalah hari keenam dari enam hari saat Allah Subhanahu wata’ala menciptakan langit dan bumi. Pada hari itu Adam ‘alaihis salam diciptakan. Pada hari itu pula ia dimasukkan ke dalam surga, serta pada hari itu dia dikeluarkan. Pada hari itu hari kiamat terjadi, dan pada hari itu terdapat waktu yang tidaklah bertepatan dengan seorang hamba mukmin yang memohon kebaikan kepada Allah Subhanahu wata’ala kecuali Allah Subhanahu wata’ala pasti mengabulkannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang sahih.” (Tafsir Ibnu Katsir, 10/558) Tafsir Ayat يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآ “Hai orang-orang yang beriman.” Allah Subhanahu wata’ala mengarahkan firman-Nya kepada kaum mukminin, maka sepantasnya setiap muslim menyimak apa yang akan difirmankan-Nya. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala berfirman untuk kaum mukminin secara khusus tentang hari Jum’at, tanpa menyebut orang-orang kafir, sebagai bentuk kemuliaan dan penghormatan terhadap mereka.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Jika Engkau mendengar Allah Subhanahu wata’ala berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman’, pasanglah pendengaranmu. Sebab, padanya terkandung kebaikan yang engkau diperintahkan melakukannya atau keburukan yang engkau dilarang darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/255) Panggilan untuk kaum mukminin dalam ayat ini terkhusus bagi para mukallaf yang terkena kewajiban untuk melaksanakan shalat Jum’at, berdasarkan ijma’ para ulama. (Tafsir al-Qurthubi) Orang yang tidak terkena kewajiban, tidak termasuk dalam keumuman ayat ini. Diriwayatkan dari sahabat Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِامْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ “Jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat golongan: budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang sakit.” (HR. Abu Dawud no. 1067 dengan sanad yang sahih) Demikian pula halnya dengan musafir karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan safar bersama para sahabatnya, namun tidak diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan shalat Jum’at bersama sahabatnya dalam perjalanan safar. Bahkan, bertepatan dengan hari Jum’at di Arafah pada saat haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat zhuhur dan ashar secara jamak, namun tidak melaksanakan shalat Jum’at. إِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ “Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at.” Ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud panggilan di dalam ayat ini adalah azan di hari Jum’at. Ibnul Arabi rahimahullah berkata, “Sebutan ‘pada hari Jum’at’ memberi faedah tersebut. Sebab, panggilan azan yang khusus pada hari itu adalah panggilan untuk shalat tersebut (shalat Jum’at, -pen.). Adapun shalat lainnya bersifat umum pada seluruh hari. Kalaulah yang dimaksud oleh ayat ini bukan panggilan azan Jum’at, maka pengkhususan sebutan Jum’at dan penyandaran hari tersebut kepadanya menjadi tidak bermakna dan tidak berfaedah.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463) Penyebutan “dipanggil untuk shalat” menunjukkan bahwa kewajiban Jum’at terkhusus bagi yang mendengar panggilan azan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْجُمُعَةُ عَلَى كُلِّ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ “Jum’at itu wajib bagi setiap yang mendengarkan panggilan azan.” (HR. Abu Dawud no. 1056, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini diperselisihkan tentang marfu’ atau mauquf-nya dari ucapan Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma. Namun, al-Albani menyatakan bahwa riwayat ini hasan secara marfu’ dalam Shahih Abi Dawud) Para fuqaha berselisih tentang jarak seorang muslim yang terkena kewajiban shalat Jum’at. Ada yang berpendapat enam mil, ada pula yang berpendapat empat mil, ada lagi yang mengatakan tiga mil. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Ukuran seseorang mendengar azan adalah jika seorang muazin suaranya lantang, dalam kondisi hening, dan angin bertiup tenang, muazin berdiri di pagar batas kampung.” Al-Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah berkata, “Wajib shalat Jum’at bagi yang mendengar panggilan azan.” (Tafsir al-Qurthubi : 20/469) Azan yang dimaksud di dalam ayat ini adalah azan yang menunjukkan masuknya waktu shalat, bukan azan tambahan yang dilakukan oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Yang dimaksud azan di sini adalah azan ketika imam duduk di atas mimbar pada hari Jum’at, sebab tidak ada azan lain pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selain itu.” (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 5/301) فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ “Bersegeralah menuju zikrullah.” Bersegera yang dimaksud di sini diterangkan oleh al-Allamah as-Sa’di rahimahullah, “Yang dimaksud as-sa’yu (bersegera) di sini adalah bersegera menuju shalat Jum’at dan menjadikannya sebagai hal yang penting dan yang paling diperhatikan, bukan melangkah dengan cepat menuju shalat yang telah dilarang.” (Taisir al-Karim ar-Rahman) Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan umatnya untuk bersegera sedini mungkin berada di masjid pada hari Jum’at. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَ ئَالِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub lalu berangkat (menuju shalat Jum’at), seakan-akan dia bersedekah seekor unta. Barang siapa berangkat pada waktu yang kedua, seakan-akan dia bersedekah seekor sapi. Barangsiapa datang pada waktu yang ketiga, seakan-akan dia bersedekah seekor domba. Barang siapa datang pada waktu yang keempat, seakan-akan dia bersedekah seekor ayam. Barang siapa datang pada waktu kelima, seakan-akan dia bersedekah sebutir telur. Jika imam telah keluar, para malaikat pun hadir untuk mendengar zikir.” (HR. al-Bukhari, hlm. 841) Adapun berjalan dengan cepat atau berlari, dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau, إِذَا أُقِيمَتِ الصَّ ةَالُ فَ تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ، عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا “Jika telah ditegakkan shalat, janganlah kalian mendatanginya dengan berlari, datangilah dengan berjalan. Hendaklah kalian menjaga ketenangan. Apa yang kalian dapatkan, shalatlah! Apa yang kalian tertinggal, sempurnakanlah!” (Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Ibnu Juraij radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya kepada Atha’ tentang firman Allah Subhanahu wata’ala, فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ “Bersegeralah menuju zikrullah.” Beliau menjawab, “Pergi dengan berjalan.” (Riwayat Abdurrazzaq dalam Mushannaf, no. 5347) Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, as-sa’yu yang disebut dalam kitabullah adalah beramal dan berbuat.” (al-Muwaththa, 1/106) Para ulama berbeda pendapat tentang makna “zikrullah” dalam ayat ini. Ada yang berkata bahwa maknanya adalah shalat. Ada pula yang mengatakan, maknanya adalah khutbah dan nasihat, dan ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair rahimahullah. Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata, “Yang sahih, semua itu adalah wajib, dan awalnya adalah khutbah. Inilah yang menjadi pendapat para ulama kami, selain Ibnul Majisyun yang berpendapat sunnah. Dalil yang menunjukkan wajibnya; bahwa bersegera menuju zikrullah mengharamkan jual beli. Kalaulah bukan karena wajibnya, tentu jual beli tidak akan diharamkan. Sebab, sesuatu yang mustahab tidak bisa mengharamkan sesuatu yang hukumnya mubah.”(Tafsir al-Qurthubi, 20/474) وَذَرُواالْبَيْعَ “Tinggalkan jual beli!” As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tinggalkanlah jual beli jika telah dikumandangkan azan dan bersegeralah menuju shalat.” (Taisir al-Karim ar-Rahman) Disebutkan “jual beli” pada ayat di atas karena mayoritas kesibukan orang pasar adalah berjual beli. Akan tetapi, ayat ini mencakup segala jenis kesibukan yang menghalangi seseorang menuju zikrullah. Al-Allamah asy-Syaukani rahimahullah menerangkan, “Tinggalkan muamalah jual beli, dan segala bentuk muamalah diikutkan pula hukumnya.” (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 5/302) Ibnul Arabi rahimahullah berkata, “Alasan jual beli dilarang adalah karena menyibukkan (dari bersegera menuju shalat Jum’at, -pen.). Maka dari itu, setiap perkara yang menyibukkan dari pelaksanaan Jum’at, yaitu seluruh jenis akad, diharamkan secara syariat dan dibatalkan akadnya sebagai bentuk hukuman.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/475) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, para ulama sepakat tentang diharamkannya jual beli setelah dikumandangkan azan kedua.” (Tafsir Ibnu Katsir, 13/563) Yang dimaksud azan kedua yaitu azan yang menunjukkan masuknya waktu Jum’at, yaitu saat khatib telah duduk di atas mimbar. Adapun azan pertama adalah azan yang dilakukan pada zaman Utsman radhiyallahu ‘anhu, dilakukan sebelum masuk waktunya. Sahkah jual beli setelah Dikumandangkan Azan yang Menunjukkan Masuknya Waktu? Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hokum sahnya jual beli saat azan Jum’at yang menunjukkan masuknya waktu telah dikumandangkan. Perbedaan ini lahir dari sebuah kaidah yang menjadi perselisihan pula dalam penerapannya, yaitu, النَّهْيُ يَقْتَضِي الْفَسَادَ “Larangan menunjukkan rusaknya sebuah amalan.” Menurut penelitian, jika ada larangan dalam sebuah amalan, ada beberapa keadaan : 1. Larangan tersebut kembali kepada ibadah itu sendiri atau kepada syaratnya, maka amalan tersebut hukumnya batil dan tidak sah. Di antara contoh masalah ini adalah larangan shalat pada waktu terlarang, shalat membelakangi kiblat, shalat dalam keadaan berhadats, shalat tanpa thuma’ninah, berpuasa pada waktu terlarang seperti hari raya, atau menikah tanpa wali. Ibadah-ibadah tersebut hukumnya batil dan tidak sah. 2. Larangan yang dilakukan tersebut tidak bersentuhan langsung dengan inti ibadah atau syarat dan rukunnya, maka ibadah yang dikerjakannya sah namun dia melakukan perbuatan dosa. Di antara contoh hal ini adalah berwudhu menggunakan bejana emas dan perak, atau shalat memakai serban dari kain sutra, padahal memakai bejana emas dan perak serta mengenakan sutra bagi pria itu terlarang. Ibadahnya sah, namun dia melakukan perbuatan dosa. Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ini adalah mazhab ulama dari dahulu hingga sekarang.” (Lihat Syarah Qawa’id al-Manzhumah al-Fiqhiyah, karya al-Allamah as-Sa’di, hlm. 54; Syarah Qawa’id al-Manzhumah al-Fiqhiyah as-Sa’diyah, karya asy-Syaikh Sa’d asy-Syitsri, hlm. 110; Syarah al-Ushul min Ilmil Ushul, Ibnu Utsaimin, hlm. 135-136) Ketika kaidah ini diterapkan pada hukum jual beli saat azan Jum’at yang menunjukkan masuknya waktu telah dikumandangkan, ternyata larangan ini kembali kepada inti jual beli itu sendiri. Dengan demikian, jual beli tersebut hukumnya batil dan tidak sah. Al-Qurthubi rahimahullah menerangkan, “Yang sahih, jual beli itu rusak dan tidak sah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Setiap amalan yang tidak berdasarkan aturan kami maka ia tertolak.’ Wallahua’lam.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/475) Hanya saja, dikecualikan dalam hal ini adalah jual beli yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at, seperti wanita dan musafir, maka hukum jual belinya sah. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Orang yang tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at tidak dilarang melakukan jual beli.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/474) Wallahu a’lam bish-shawab. Sumber : http://asysyariah.com

”Bersegera Menuju Zikrullah “

”Bersegera Menuju Zikrullah “ (Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal) يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ اِنْكُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ۝ فَإِذَاقُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْفِى الْأَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللهِ واذْكُرُوْا اللهَ كَثِيْرً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ۝ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan banyak-banyak mengingat Allah supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah : 9-10) Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat يَوْمِ الْجُمُعَةِ Kata “jumu’ah” dibaca oleh mayoritas ahli qira’ah dengan huruf mim yang didhammah. Abdullah bin Zubair, al-A’masy, dan yang lainnya membacanya dengan huruf mim yang disukun (الجُمْعَة). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia berkata, “Al-Qur’an diturunkan dengan bacaan tatsqil (yang diberatkan) dan tafkhim (ditebalkan), maka bacalah ,الجُمُعَة (yaitu dengan mim yang didhammah).” (Tafsir al-Qurthubi, 460/20) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Hari Jum’at disebut Jum’at karena ia berasal dari kata jam’u, yaitu berkumpul. Sebab, kaum muslimin berkumpul pada hari itu setiap pekan sekali di tempat-tempat ibadah yang besar. Pada hari itu disempurnakan penciptaan makhluk, karena ia adalah hari keenam dari enam hari saat Allah Subhanahu wata’ala menciptakan langit dan bumi. Pada hari itu Adam ‘alaihis salam diciptakan. Pada hari itu pula ia dimasukkan ke dalam surga, serta pada hari itu dia dikeluarkan. Pada hari itu hari kiamat terjadi, dan pada hari itu terdapat waktu yang tidaklah bertepatan dengan seorang hamba mukmin yang memohon kebaikan kepada Allah Subhanahu wata’ala kecuali Allah Subhanahu wata’ala pasti mengabulkannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang sahih.” (Tafsir Ibnu Katsir, 10/558) Tafsir Ayat يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآ “Hai orang-orang yang beriman.” Allah Subhanahu wata’ala mengarahkan firman-Nya kepada kaum mukminin, maka sepantasnya setiap muslim menyimak apa yang akan difirmankan-Nya. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala berfirman untuk kaum mukminin secara khusus tentang hari Jum’at, tanpa menyebut orang-orang kafir, sebagai bentuk kemuliaan dan penghormatan terhadap mereka.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Jika Engkau mendengar Allah Subhanahu wata’ala berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman’, pasanglah pendengaranmu. Sebab, padanya terkandung kebaikan yang engkau diperintahkan melakukannya atau keburukan yang engkau dilarang darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/255) Panggilan untuk kaum mukminin dalam ayat ini terkhusus bagi para mukallaf yang terkena kewajiban untuk melaksanakan shalat Jum’at, berdasarkan ijma’ para ulama. (Tafsir al-Qurthubi) Orang yang tidak terkena kewajiban, tidak termasuk dalam keumuman ayat ini. Diriwayatkan dari sahabat Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِامْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ “Jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat golongan: budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang sakit.” (HR. Abu Dawud no. 1067 dengan sanad yang sahih) Demikian pula halnya dengan musafir karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan safar bersama para sahabatnya, namun tidak diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan shalat Jum’at bersama sahabatnya dalam perjalanan safar. Bahkan, bertepatan dengan hari Jum’at di Arafah pada saat haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat zhuhur dan ashar secara jamak, namun tidak melaksanakan shalat Jum’at. إِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ “Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at.” Ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud panggilan di dalam ayat ini adalah azan di hari Jum’at. Ibnul Arabi rahimahullah berkata, “Sebutan ‘pada hari Jum’at’ memberi faedah tersebut. Sebab, panggilan azan yang khusus pada hari itu adalah panggilan untuk shalat tersebut (shalat Jum’at, -pen.). Adapun shalat lainnya bersifat umum pada seluruh hari. Kalaulah yang dimaksud oleh ayat ini bukan panggilan azan Jum’at, maka pengkhususan sebutan Jum’at dan penyandaran hari tersebut kepadanya menjadi tidak bermakna dan tidak berfaedah.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463) Penyebutan “dipanggil untuk shalat” menunjukkan bahwa kewajiban Jum’at terkhusus bagi yang mendengar panggilan azan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْجُمُعَةُ عَلَى كُلِّ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ “Jum’at itu wajib bagi setiap yang mendengarkan panggilan azan.” (HR. Abu Dawud no. 1056, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini diperselisihkan tentang marfu’ atau mauquf-nya dari ucapan Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma. Namun, al-Albani menyatakan bahwa riwayat ini hasan secara marfu’ dalam Shahih Abi Dawud) Para fuqaha berselisih tentang jarak seorang muslim yang terkena kewajiban shalat Jum’at. Ada yang berpendapat enam mil, ada pula yang berpendapat empat mil, ada lagi yang mengatakan tiga mil. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Ukuran seseorang mendengar azan adalah jika seorang muazin suaranya lantang, dalam kondisi hening, dan angin bertiup tenang, muazin berdiri di pagar batas kampung.” Al-Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah berkata, “Wajib shalat Jum’at bagi yang mendengar panggilan azan.” (Tafsir al-Qurthubi : 20/469) Azan yang dimaksud di dalam ayat ini adalah azan yang menunjukkan masuknya waktu shalat, bukan azan tambahan yang dilakukan oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Yang dimaksud azan di sini adalah azan ketika imam duduk di atas mimbar pada hari Jum’at, sebab tidak ada azan lain pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selain itu.” (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 5/301) فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ “Bersegeralah menuju zikrullah.” Bersegera yang dimaksud di sini diterangkan oleh al-Allamah as-Sa’di rahimahullah, “Yang dimaksud as-sa’yu (bersegera) di sini adalah bersegera menuju shalat Jum’at dan menjadikannya sebagai hal yang penting dan yang paling diperhatikan, bukan melangkah dengan cepat menuju shalat yang telah dilarang.” (Taisir al-Karim ar-Rahman) Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan umatnya untuk bersegera sedini mungkin berada di masjid pada hari Jum’at. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَ ئَالِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub lalu berangkat (menuju shalat Jum’at), seakan-akan dia bersedekah seekor unta. Barang siapa berangkat pada waktu yang kedua, seakan-akan dia bersedekah seekor sapi. Barangsiapa datang pada waktu yang ketiga, seakan-akan dia bersedekah seekor domba. Barang siapa datang pada waktu yang keempat, seakan-akan dia bersedekah seekor ayam. Barang siapa datang pada waktu kelima, seakan-akan dia bersedekah sebutir telur. Jika imam telah keluar, para malaikat pun hadir untuk mendengar zikir.” (HR. al-Bukhari, hlm. 841) Adapun berjalan dengan cepat atau berlari, dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau, إِذَا أُقِيمَتِ الصَّ ةَالُ فَ تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ، عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا “Jika telah ditegakkan shalat, janganlah kalian mendatanginya dengan berlari, datangilah dengan berjalan. Hendaklah kalian menjaga ketenangan. Apa yang kalian dapatkan, shalatlah! Apa yang kalian tertinggal, sempurnakanlah!” (Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Ibnu Juraij radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya kepada Atha’ tentang firman Allah Subhanahu wata’ala, فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ “Bersegeralah menuju zikrullah.” Beliau menjawab, “Pergi dengan berjalan.” (Riwayat Abdurrazzaq dalam Mushannaf, no. 5347) Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, as-sa’yu yang disebut dalam kitabullah adalah beramal dan berbuat.” (al-Muwaththa, 1/106) Para ulama berbeda pendapat tentang makna “zikrullah” dalam ayat ini. Ada yang berkata bahwa maknanya adalah shalat. Ada pula yang mengatakan, maknanya adalah khutbah dan nasihat, dan ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair rahimahullah. Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata, “Yang sahih, semua itu adalah wajib, dan awalnya adalah khutbah. Inilah yang menjadi pendapat para ulama kami, selain Ibnul Majisyun yang berpendapat sunnah. Dalil yang menunjukkan wajibnya; bahwa bersegera menuju zikrullah mengharamkan jual beli. Kalaulah bukan karena wajibnya, tentu jual beli tidak akan diharamkan. Sebab, sesuatu yang mustahab tidak bisa mengharamkan sesuatu yang hukumnya mubah.”(Tafsir al-Qurthubi, 20/474) وَذَرُواالْبَيْعَ “Tinggalkan jual beli!” As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tinggalkanlah jual beli jika telah dikumandangkan azan dan bersegeralah menuju shalat.” (Taisir al-Karim ar-Rahman) Disebutkan “jual beli” pada ayat di atas karena mayoritas kesibukan orang pasar adalah berjual beli. Akan tetapi, ayat ini mencakup segala jenis kesibukan yang menghalangi seseorang menuju zikrullah. Al-Allamah asy-Syaukani rahimahullah menerangkan, “Tinggalkan muamalah jual beli, dan segala bentuk muamalah diikutkan pula hukumnya.” (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 5/302) Ibnul Arabi rahimahullah berkata, “Alasan jual beli dilarang adalah karena menyibukkan (dari bersegera menuju shalat Jum’at, -pen.). Maka dari itu, setiap perkara yang menyibukkan dari pelaksanaan Jum’at, yaitu seluruh jenis akad, diharamkan secara syariat dan dibatalkan akadnya sebagai bentuk hukuman.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/475) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, para ulama sepakat tentang diharamkannya jual beli setelah dikumandangkan azan kedua.” (Tafsir Ibnu Katsir, 13/563) Yang dimaksud azan kedua yaitu azan yang menunjukkan masuknya waktu Jum’at, yaitu saat khatib telah duduk di atas mimbar. Adapun azan pertama adalah azan yang dilakukan pada zaman Utsman radhiyallahu ‘anhu, dilakukan sebelum masuk waktunya. Sahkah jual beli setelah Dikumandangkan Azan yang Menunjukkan Masuknya Waktu? Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hokum sahnya jual beli saat azan Jum’at yang menunjukkan masuknya waktu telah dikumandangkan. Perbedaan ini lahir dari sebuah kaidah yang menjadi perselisihan pula dalam penerapannya, yaitu, النَّهْيُ يَقْتَضِي الْفَسَادَ “Larangan menunjukkan rusaknya sebuah amalan.” Menurut penelitian, jika ada larangan dalam sebuah amalan, ada beberapa keadaan : 1. Larangan tersebut kembali kepada ibadah itu sendiri atau kepada syaratnya, maka amalan tersebut hukumnya batil dan tidak sah. Di antara contoh masalah ini adalah larangan shalat pada waktu terlarang, shalat membelakangi kiblat, shalat dalam keadaan berhadats, shalat tanpa thuma’ninah, berpuasa pada waktu terlarang seperti hari raya, atau menikah tanpa wali. Ibadah-ibadah tersebut hukumnya batil dan tidak sah. 2. Larangan yang dilakukan tersebut tidak bersentuhan langsung dengan inti ibadah atau syarat dan rukunnya, maka ibadah yang dikerjakannya sah namun dia melakukan perbuatan dosa. Di antara contoh hal ini adalah berwudhu menggunakan bejana emas dan perak, atau shalat memakai serban dari kain sutra, padahal memakai bejana emas dan perak serta mengenakan sutra bagi pria itu terlarang. Ibadahnya sah, namun dia melakukan perbuatan dosa. Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ini adalah mazhab ulama dari dahulu hingga sekarang.” (Lihat Syarah Qawa’id al-Manzhumah al-Fiqhiyah, karya al-Allamah as-Sa’di, hlm. 54; Syarah Qawa’id al-Manzhumah al-Fiqhiyah as-Sa’diyah, karya asy-Syaikh Sa’d asy-Syitsri, hlm. 110; Syarah al-Ushul min Ilmil Ushul, Ibnu Utsaimin, hlm. 135-136) Ketika kaidah ini diterapkan pada hukum jual beli saat azan Jum’at yang menunjukkan masuknya waktu telah dikumandangkan, ternyata larangan ini kembali kepada inti jual beli itu sendiri. Dengan demikian, jual beli tersebut hukumnya batil dan tidak sah. Al-Qurthubi rahimahullah menerangkan, “Yang sahih, jual beli itu rusak dan tidak sah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Setiap amalan yang tidak berdasarkan aturan kami maka ia tertolak.’ Wallahua’lam.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/475) Hanya saja, dikecualikan dalam hal ini adalah jual beli yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at, seperti wanita dan musafir, maka hukum jual belinya sah. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Orang yang tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at tidak dilarang melakukan jual beli.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/474) Wallahu a’lam bish-shawab. Sumber : http://asysyariah.com

Kamis, 31 Januari 2013

Memiliki Kepekaan Dan Kepedulian

Memiliki Kepekaan Dan Kepedulian Ditulis oleh Ustadz Marwan Termasuk perkara yang wajib untuk senantiasa dijaga oleh setiap individu adalah menjaga ketaqwaan kepada Alloh Ta’aala dan menjauhi perilaku untuk tidak menyakiti sesama kaum muslimin, karena ancaman adzab Allah dalam masalah tersebut sangat berat dan akibat dalam masalah tersebut sangat membahayakan, Firman Allah Ta’aala : وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al Ahzaab : 58). Para ulama ahli tafsir berkata berkaitan tentang tafsir ayat ini : وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat (Al Ahzaab : 58). Yaitu : dengan bentuk apapun dari menyakiti apakah dengan perkataan atau perbuatan. وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ Yaitu : bukan karena sebab dari tindakan yang mereka lakukan yang mengharuskan untuk disakiti dan ia tidak berhak untuk disakiti. Adapun menyakiti kaum mukminin atau mukminah karena sebab apa yang mereka lakukan dan mengharuskan untuk disakiti, misalnya hukuman had (pidana) atau hukuman ta’ziir , maka yang demikian itu adalah benar, sebagaimana yang ditetapkan oleh syari’at. Kemudian Allah Ta’aala mengkhabarkan bahwa siapa yang menyakiti kaum mukminin dan mukminat tanpa hak maka sungguh ia telah memikul kebohongan dan dosa yang besar, yang berhak atasnya untuk diadzab dengan adzab yang pedih, sebagaimana di dalam hadits : Setiap muslim atas muslim yang lain terjaga darah,harta dan kehormatannya. Dan dari abu Hurairah –rodziallohu ‘anhu- ia mengatakan : Dikatakan, ya Rasulalloh sesungguhnya si fulanah menegakkan sholat malam dan berpuasa di siang harinya, dan ia menyakiti tetangganya dengan lisannya,maka nabi shallallohu’alaihi wa sallam mengatakan : Tidak ada kebaikan pada wanita tersebut, ia akan masuk ke neraka. Hadits ini dishohihkan oleh Al Hakim dan Ibnu Hibban dan selain keduanya. Sesungguhnya menyakiti kaum muslimin bisa terjadi dengan perkataan dan perbuatan, dengan perkataan semisal ghibah, namimah, mencerca dan mengumpat, Firman Allah Ta’aala : إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ Artinya : (ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar. (An Nuur : 15). Dan FirmanNya : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Al Hujuroot : 12). Menyakiti wanita yang lain diluar usaha yang mereka lakukan diantaranya dengan perbuatan ghibah adalah suatu yang diharamkan sedikit atau banyak, sebagaimana disebutkan dalam sunan Abi Dawud dari ‘Aisyah – radhiallahu’anha bahwa beliau pernah mengatakan : Wahai Rasulullah, cukuplah bagi engkau bahwa Shafiyah itu adalah demikian dan demikian. Salah seorang perawi mengatakan : Dimaksudkan bahwa ia seorang yang pendek. Maka Nabi shallallahu’alaihi Wa sallam mengatakan : Sungguh engkau telah berucap dengan suatu perkataan yang apabila dicampurkan dengan air laut maka sungguh akan merusak air laut tersebut. Demikian begitu besarnya gambaran yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa saallam berkaitan dengan ghibah sekalipun sesuatu yang dianggap sedikit, bagaimana dengan hal-hal yang lebih besar dari pada itu yang menyangkut kewibawaan dan kehormatan seorang wanita shalihah. Termasuk menyakiti wanita yang lain diluar usaha mereka adalah ketika seorang berbuat namimah, yaitu menukil suatu perkataan untuk disampaikan kepada yang lain dalam rangka membuat kerusakan di antara mereka. Allah Ta’ala telah mengecam sifat yang demikian ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya : وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ هَمَّازٍ مَّشَّاءٍ بِنَمِيمٍ مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (Al-Qolam ; 10-12) Diterangkan oleh Ibnu Katsir –rahimahullah – berkaitan dengan ayat ini : Seseorang mengadu domba di antara manusia, melakukan hasutan dan menebar fitnah di antara manusia. Satu hadits yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan : Tidak akan masuk ke dalam surga yaitu qattat. Qattat adalah seorang pengadu domba sebagaimana diterangkan dalam hadits riwayat Muslim. Dan termasuk menyakiti manusia dengan perbuatan adalah memiliki banyak sekali jenisnya, di antaranya yang berbahaya adalah : Menyakiti tetangga dengan menggunakan perkara-perkara yang bisa menyakiti mereka dan membikin kacau mereka dengan suara-suara yang gaduh atau yang diharomkan seperti suara-suara musik, nyanyian dan alat-alat musik yang didapati sangat banyak di masa kita ini dengan sarana peralatan tekhnologi sekarang di rumah-rumah dan pertokoan-pertokoan. Orang-orang yang memilikinya tidak mempedulikan lagi bisingnya tetangga mereka dan mereka tersakiti dengannya. Demikian beberapa jenis perkataan atau perbuatan dan tindakan yang mengakibatkan orang lain terganggu dan bukan dari sebab usaha yang mereka lakukan, dan hal tersebut adalah perkara dosa yang wajib untuk dijauhi. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa agama ini melarang umatnya untuk memiliki sikap egoistis dan demikian pula sikap hanya mementingkan urusannya sendiri tanpa memperhatikan orang lain. Sehingga seseorang tidak tergolong dalam ancaman di dalam firman Allah : وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al Ahzaab : 58). Setiap wanita muslimah hendaklah peka dan peduli… Wallahu Ta’aala a’lam bishawwab. www.salafy.or.id

Rabu, 16 Januari 2013

Larangan Tasyabbuh (Menyerupai ) Orang Kafir

Larangan Tasyabbuh (Menyerupai ) Orang Kafir Published Date Oleh : Al-Ustadz Abu Karimah Askari Bin Jamal Al-Bugisi وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ “Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah:120) Penjelasan Ayat Di dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhaanahu wata’aala, menyingkap apa yang terdapat di dalam hati orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nashara berupa ketidaksenangan mereka terhadap Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan para pengikutnya. Sehingga seluruh kemampuan yang mereka miliki, mereka gunakan untuk menggiring kaum muslimin agar mengikuti agama dan keyakinan mereka yang batil. Mereka jalankan makar tersebut sedikit demi sedikit, hingga akhirnya seorang muslim keluar dari Islam dan condong kepada agama mereka, wal ‘iyadzu billah. Karena itu, agama Islam menganjurkan untuk selalu menyelisihi kebiasaan orang-orang kafir sebagai sikap berlepas diri dari mereka dan keyakinan mereka. Sekaligus juga upaya menutup pintu masuknya pengaruh dan sikap kecondongan kepada agama dan tradisi yang mereka bawa. Al-’Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullohu dalam menjelaskan ayat ini berkata: “(Allah Allah Subhaanahu wata’aala, ) mengabarkan kepada Rasul-Nya bahwa Yahudi dan Nashara tidak senang kepadanya kecuali (bila kita) mengikuti agama mereka. Sebab mereka senantiasa mengajak kepada apa yang menjadi keyakinan mereka dan menyangka bahwa itu adalah petunjuk. Maka katakanlah kepada mereka: “Sesungguhnya petunjuk Allah yang engkau diutus dengannya adalah petunjuk yang sebenarnya. Adapun apa yang kalian yakini itu adalah hawa nafsu, dengan dalil firman Allah Allah Subhaanahu wata’aala, : “Dan jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang kepadamu ilmu, maka Allah tidak akan menjadi wali dan penolongmu.” Di dalam ayat ini terdapat larangan besar untuk mengikuti hawa nafsu Yahudi dan Nashara. Juga larangan menyerupai mereka terhadap apa yang khusus dari agama mereka. Pembicaraan ini walaupun ditujukan kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya umatnya termasuk di dalamnya. Sebab yang menjadi ibrah adalah keumuman maknanya dan bukan kekhususan siapa yang diajak berdialog, sebagaimana pula yang menjadi ibrah adalah keumuman suatu lafadz dan bukan dikhususkan pada sebab turunnya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, 64-65) Berkata pula Ibnu Jarir rahimahullohu, dalam menafsirkan ayat ini: “Wahai Muhammad, tidaklah Yahudi dan Nashara senang kepadamu selamanya. Maka biarkanlah mereka untuk mengikuti apa yang menyenangkan mereka dan yang sesuai dengan mereka. Dan carilah apa yang mendatangkan ridha Allah dalam mengajak mereka kepada apa yang Allah utus kepadamu berupa kebenaran.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/164) Demikian pula yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullohu setelah menyebutkan ayat ini: “Perhatikanlah bagaimana Allah mengatakan dalam pengkabaran tersebut ‘millah mereka’ dan mengatakan dalam hal larangan ‘hawa-hawa nafsu mereka’ sebab kaum tersebut (Yahudi dan Nashara) tidaklah senang kecuali (bila kita) mengikuti millah (ajaran) mereka secara mutlak. Hardikan (Allah) tersebut adalah dalam hal mengikuti hawa nafsu mereka sedikit atau banyak. Dan merupakan perkara yang telah diketahui bahwa mengikuti mereka terhadap apa yang ada di dalam agama mereka adalah termasuk jenis mengikuti apa yang mereka lakukan dari hawa nafsu atau menjadi sebab mengikuti hawa nafsu mereka.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/87) Nash-nash Larangan Tasyabbuh dengan Orang Kafir Di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah yang shahih banyak menyebutkan larangan bagi kaum muslimin untuk menyerupai dan mengikuti cara hidup orang-orang kafir baik secara global maupun terperinci. Di mana semua itu menunjukkan bahwa agama Allah Allah Subhaanahu wata’aala, ini dibangun di atas prinsip yang menjadi salah satu pondasi Islam yaitu berlepas diri dan menyelisihi ash-habul jahim(penghuni jahannam) dari kalangan orang-orang kafir. Di antara dalil yang menjelaskan hal tersebut adalah firman-Nya: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat), kekuasaan, dan kenabian. Dan Kami berikan kepada mereka rizki-rizki yang baik serta Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama). Maka tidaklah mereka berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang selalu mereka perselisihkan padanya. Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu. Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (Al-Jatsiyah: 16-19) Syaikhul Islam rahimahullohu berkata: “Allah mengabarkan bahwa Ia memberikan kenikmatan kepada Bani Israil dengan berbagai kenikmatan dunia dan akhirat. Dan bahwa mereka berselisih setelah datangnya ilmu kepada mereka disebabkan menentang al-haq sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Lalu Allah menjadikan Muhammad shallallohu ‘alaihi wasallam, berada di atas syariat yang telah ditetapkan-Nya, memerintahkan (umat ini) untuk mengikuti beliau dan melarang dari mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak berilmu. Termasuk orang-orang yang tidak berilmu adalah semua orang yang menyelisihi syariat-Nya. Hawa nafsu adalah apa yang mereka condong kepadanya dan apa yang diamalkan oleh kaum musyrikin berupa cara-cara mereka yang dzahir/ tampak, yang menjadi kewajiban agama mereka yang batil dan yang semacamnya. Maka menyesuaikan (meniru) keadaan seperti mereka adalah mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu, orang-orang kafir merasa gembira bila kaum muslimin menyerupakan diri dengan mereka dalam sebagian keadaan mereka dan mereka senang dengannya. Mereka sangat berharap bahwa jika mereka lebih berupaya lagi maka hal tersebut akan terjadi (yaitu kaum muslimin akan mengikuti mereka). Kalau seandainya perbuatan itu bukan termasuk mengikuti hawa nafsu mereka, tentu tidak diragukan bahwa menyelisihi mereka lebih menutup jalan untuk mengikuti mereka dan lebih membantu untuk menggapai ridha Allah Allah Subhaanahu wata’aala. Menyesuaikan diri dengan mereka (dalam sebagian perkara) bisa membawa kepada perbuatan menyerupai mereka dalam hal lain. Karena barangsiapa yang mendekati tempat terlarang, lama kelamaan dia akan terjatuh ke dalamnya.” (Iqtidha Ash-Shiratil Mustaqim, 1/85-86) Lebih ditegaskan lagi dengan sabda Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka (kaum tersebut).” (HR. Abu Dawud dari Abdullah bin ‘Umar c dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani tdalam Shahih Al-Jami’, no. 6149) Syaikhul Islam rahimahullohu berkata: “Hadits ini hukum minimalnya adalah haram menyerupai mereka (kaum kafir) walaupun dzahir hadits ini menunjukkan kafirnya orang yang menyerupai mereka, seperti firman-Nya: “Barangsiapa yang loyal kepada mereka maka sesungguhnya dia termasuk dari mereka.” (Al-Maidah: 51) (Iqtidha Ash-Shiratil Mustaqim, 1/241) Bentuk Penyelisihan Islam Terhadap Kuffar 1. Perpindahan kiblat Di dalam perintah Allah tentang pemindahan kiblat kaum muslimin terdapat pelajaran yang sangat berharga, khususnya dalam menampakkan sikap berlepas diri dari orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka dalam setiap ibadah dan tradisi mereka, sehingga terjadi perbedaan yang dzahir antara muslim dan kafir. Allah Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman: “Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nashrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu. Dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka kamu termasuk golongan orang-orang yang zalim. Orang-orang (Yahudi dan Nashrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu, takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 145-150) Para ulama salaf berkata: “Makna ayat ini adalah agar tidak ada hujjah atas kalian tatkala menyerupai kiblat mereka, di mana mereka mengatakan: “Mereka telah mencocoki kami dalam hal kiblat, maka tidak lama lagi akan mencocoki kami dalam agama kami.” Maka Allah mematahkan hujjah mereka dengan (perintah untuk) menyelisihi kiblat mereka. Allah Allah Subhaanahu wata’aala, menjelaskan bahwa di antara hikmah dipindahkannya kiblat adalah menyelisihi kaum kuffar dalam kiblat mereka agar yang demikian memutuskan keinginan mereka yang batil.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/88) 2. Memelihara jenggot dan memangkas kumis Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Umar radiallohu anhu bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda: “Selisihilah kaum musyrikin, cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot kalian.” Dalam riwayat Al-Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda: “Pangkaslah kumis biarkanlah jenggot kalian, selisihilah kaum Majusi.” 3. Shalat dengan menggunakan sandal atau khuf (sepatu dan semisalnya) Merupakan salah satu petunjuk Rasulullah r dalam shalat adalah melaksanakan shalat tanpa alas kaki dan terkadang dengan beralas kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya (Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash), ia berkata: “Aku melihat Rasulullah r shalat dalam keadaan bertelanjang kaki dan dalam keadaan menggunakan sandal.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dll. Dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi t dalam kitab beliau Syar’iyyatush Shalati bin Ni’al) Namun bukanlah petunjuk Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, apabila seseorang tidak pernah melaksanakan shalat dengan memakai sandal dalam keadaan memungkinkan bagi dia untuk menggunakannya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim dari hadits Syaddad bin Aus radiallohu anhu, bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda: “Selisihilah kaum Yahudi karena mereka tidak shalat dengan sandal dan sepatu mereka.” (HR. Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no. 3210) Syaikhuna Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullohu berkata: “Di antara kemudharatan yang paling besar tatkala meninggalkan shalat dengan memakai sandal, bahwa mayoritas kaum muslimin menjadi jahil tentang sunnah ini dan menganggap bahwa yang shalat dengan memakai dua sandalnya telah melakukan dosa besar dan telah menganggap halal apa yang telah dianggap halal oleh para pelaku dosa besar.” (lihat kitab Syar’iyyatus Shalati Binni’al. Lihat perkataan beliau dalam kitab tersebut, dalil-dalil serta atsar dari ulama salaf, serta kemudharatan ditinggalkannya sunnah yang mulia ini) Masih banyak lagi contoh sikap Islam dalam menyelisihi ash-habul jahim. Silahkan lihat kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim karangan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullohu. Keterjerumusan Kaum Muslimin dalam Menyerupai Kaum Kuffar Sudah merupakan sunnatullah bahwa di antara umat ini akan ada yang terjerumus ke dalam kesesatan, dengan cara mengikuti langkah-langkah orang-orang sebelum mereka dari kalangan ahli kitab dan musyrikin. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam,: “Kalian pasti akan mengikuti langkah-langkah orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal atau sehasta demi sehasta, sampai walaupun mereka masuk ke dalam lubang dhabb, kalian pun memasukinya.” Para shahabat bertanya: “Apakah yang dimaksud adalah Yahudi dan Nashara?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radiallohu anhu). Berikut ini adalah sebagian bentuk penyerupaan terhadap ahli kitab dan kuffar yang sebagian kaum muslimin terjatuh ke dalamnya. 1. Menjadikan kuburan orang-orang yang dianggap shalih sebagai masjid Hal ini telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, dengan sabdanya: “Semoga Allah memerangi kaum Yahudi, mereka telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Abu Hurairah radiallohu anhu) Lihat pembahasan lebih rinci tentang hukum membangun masjid di atas kuburan dalam kitab Tahdzir As-Sajid min Ittikhadzil Qubur Masajid karangan Asy-Syaikh Al-Albani rahiamahullohu. 2. Tidak menerima kebenaran kecuali apa yang datang dari kelompoknya Termasuk salah satu karakter kaum Yahudi adalah mereka telah mengetahui kebenaran sebelum nampak orang yang mengucapkannya dan yang menyerunya. Namun tatkala datang kepada mereka yang mengucapkan al-haq tersebut dan ternyata bukan dari kelompok yang mereka kehendaki, maka mereka pun enggan untuk mengikuti dan mereka tidak menerima kebenaran kecuali yang datang dari kelompok yang mereka menisbahkan diri kepadanya. Padahal mereka tidaklah mengikuti apa yang wajib dalam keyakinan mereka. Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman: Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Qur’an yang diturunkan Allah”, mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur’an itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?” (Al-Baqarah: 91) Dan hal ini banyak menimpa orang-orang yang menisbahkan diri kepada kelompok tertentu dalam berilmu atau beragama dari kalangan ahli tasawwuf, atau kepada selain mereka, atau kepada seorang pemimpin yang diagungkan oleh mereka dalam agama -kecuali Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak mau menerima ajaran agama ini baik pendapat maupun riwayat kecuali yang dibawa oleh pemimpin mereka. Padahal Islam mengharuskan mengikuti kebenaran tersebut secara mutlak, baik pendapat maupun riwayat, tanpa mengkhususkan seseorang atau kelompok kecuali Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. (lihat kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/ 74-75) Wallahul hadi ilaa sabiilir rasyaad. http://asysyariah.com/larangan-tashabuh-dengan-orang-kafir.html

Selasa, 15 Januari 2013

Salafy Harus Waspada Dari ‘Penyusup’ !!!

Salafy Harus Waspada Dari ‘Penyusup’
!!! Posted 09/11/2012 by thalibmakbar in Faedah Dari Kitab Ulama, Syaikh Muhammad Al-Imam. Ditandai:al-hadits, CIA, dakwah, dar, ma'bar, MOSSAD, penyusup, salafiyah, yaman. Salafy Harus Waspada Dari ‘Penyusup’!!! بسم الله الرحمن الرحيم Ibnu ‘Asyur رحمه الله menegaskan: “Sudah merupakan garis yang telah dituliskan, bahwa bangsa manusia itu perlu bergaul dan hidup bersama orang lain, dia tidak bisa hidup sendirian. Ketika dia hidup bersama orang lain maka dia akan mendapati masing-masing orang memiliki arah dan tujuan yang berbeda-beda, sehingga timbullah perbedaan dan perselisihan.” Termasuk dari bangsa manusia tersebut adalah salafy. Merekapun manusia biasa, tidak lepas dari ancaman perbedaan dan perselisihan. Dan jalan keluarnya dari perselisihan yang terjadi dalam masyarakat yang heterogen ini adalah seperti yang dijelaskan pula oleh Ibnu ‘Asyur رحمه الله: “Untuk menghidari dan menyelesaikan perbedaan serta perselisihan dalam masyarakat bangsa manusia adalah dengan mencontoh masyarakat Rasul صلى الله عليه وسلم. Semua permasalahan dalam masyarakat beliau diselesaikan dengan acuan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan menerima dan tunduk pada ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka akan selesai semua permasalahan.” Adapun kita yang sudah jauh dari zaman masyarakat Rasul, maka selain mengacu pada ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah kita memerlukan hal yang ketiga, yaitu berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman ulama salaf (ulama terdahulu). Dan untuk bisa mendapatkan pemahaman ini maka kita harus mengambil bimbingan dari para ulama yang jernih ilmunya mengabdikan diri secara murni untuk agama Allah تعالى, bukan ulama partai atau kelompok sempalan, bukan pula ulama pengejar kepentingan dunia. Inilah pesan dari Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam. Agar perbedaan segera selesai makalah harus kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan bimbingan para ulama sunnah. Sebab perselisihan yang harus diwaspadai oleh para salafiyin Sebab-sebab perselisihan sangatlah berbilang jumlahnya, diantaranya; perbedaan ideologi, perbedaan pemahaman, perbedaan kepentingan, urusan pribadi, dan lainnya. Namun salafy secara khusus dan kaum muslimin secara umum jangan lupa, bahwa ada satu sebab yang termasuk sangat besar pengaruhnya, sehingga bisa menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan dan tanpa henti. Sebab tersebut adalah ‘penyusup’. Orang ini pura-pura menjadi salafy, bergaul dengan salafy, terlihat ataupun tidak, sementara tujuan di balik itu untuk merusak salafy dari dalam, membenturkan satu dengan yang lain, membenturkan salafy dengan masyarakat, memecah shaf dan keutuhan ahlus sunnah dan berbagai tujuan yang lain. Mari sedikit kita perhatikan apa saja yang telah terjadi terhadap islam dan dakwah Rasul صلى الله عليه وسلم karena ulah ‘penyusup’ ini? Pertama: Pada zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah terjadi penyusupan besar yang dipimpin oleh pimpinan kaum munafiq yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul. Tidaklah dia melakukan upaya dan gerakan kecuali bertujuan untuk membuat madharat kepada islam dan dakwah Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Diantara bentuk tindakannya telah diukir dan dibadaikan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah agar kita mengambil pelajaran akan bahayanya kaum ‘penyusup’ ini. Contohnya: 1. Pembelotan dengan segaja yang dilakukan kaum munafiqin pimpinan Abdullah bin Ubay pada perang Uhud. Sebagaimana dalam hadits Zaid bin Tsabit رضي الله عنه: لَمَّا خَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِلَى أُحُدٍ رَجَعَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَقَالَتْ فِرْقَةٌ: نَقْتُلُهُمْ، وَقَالَتْ فِرْقَةٌ: لَا نَقْتُلُهُمْ، فَنَزَلَتْ:{فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ}، وَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّهَا تَنْفِي الرِّجَالَ، كَمَا تَنْفِي النَّارُ خَبَثَ الْحَدِيدِ “Kami keluar bersama Nabi صلى الله عليه وسلمke Uhud. Sebagian orang dari rombongan beliau berbalik (membelot, mereka adalah kaum munafiq pimpinan Abdullah bin Ubay). Maka sekelompok orang dari para shahabat berkata: “Kita bunuh mereka.”, sekolompok yang lain berkata: “Kita tidak akan membunuh mereka”. Maka turunlah ayat: “Ada apa kalian, menjadi dua kelompok terkait kaum munafiq …”. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda: “Sesungguhnya Uhud ini menolak sekelompok orang (munafiq, yang tidak jujur imannya), sebagaimana api itu akan menghilangkan kotoran dalam besi.” 2. Pengkhianatan penyusup Abdullah bin Ubay dan kroni-kroninya terkait Yahudi Bani Nadhir, sebagaimana disebutkan oleh Allah تعالى dalam Al-Qur’an; أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ “Tidakkah engkau melihat orang-orang munafiq itu berkata pada teman-temannya yang kafir dari kaum Ahli Kitab: “Jika kalian keluar (memerangi Muhammad) maka kami akan keluar bersama kalian, dan kami tidak akan mentaati seorangpun untuk menyerang kalian selamanya, dan jika kalian diperangi maka kami akan menolong kalian.” Dan Allah bersaksi bahwa mereka (kaum munafiq) ini benar-benar berdusta.” (Al-Hasyr: 11) 3. Kejahatan penyusup Abdullah bin Ubay menyebarkan berita dan tuduhan dusta bahwa ‘Aisyah رضي الله عنها berzina, sebagaimana dalam hadits Bukhary – Muslim: وَكَانَ الَّذِي تَوَلَّى الْإِفْكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ “Yang mempromotori penyebaran tuduhan dusta ini adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.” Dan Allah تعالى telah membantah tuduhan dusta ini dalam surat An-Nur dalam beberapa ayat. Silahkan dirujuk. Kedua: Pada masa kahalifah ‘Utsman dan ‘Ali رضي الله عنهما muncullah seorang penyusup dari Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba’. Membakar amarah kaum muslimin untuk menentang pemerintah sah, yaitu‘Utsman رضي الله عنه yang mengakibatkan terbunuhnya beliau. Dan Abdullah bin Saba’ ini yang meletakkan dasar-dasar kelompok sempalan yang sesat yaitu Syi’ah Rafidhah. Menyusup dalam barisan ‘Ali رضي الله عنه, berpura-pura masuk islam dan menampakkan diri mencintai ahlul bait. Namun akhirnya mengajak kaum muslimin untuk mencela para shahabat terkhusus Abu Bakr dan ‘Umar رضي الله عنهما, mempertuhankan ‘Ali dan menggerogoti ajaran islam dari dalam. Sejarah menjadi saksi akan hal ini. Ini 2 contoh penyusupan yang terjadi pada kurun nabi dan zaman shahabat. Padahal sejarah telah panjang lebar menyebutkan penyusupan demi penyusupan dari kurun ke kurun, zaman ke zaman. Tinggallah kita pada masa ini untuk mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa pahit yang telah lewat. Para penyusup akan melakukan berbagai cara dan menggunakan berbagai kesempatan untuk memporak porandakan keutuhan salafy dan dakwah salafiyah secara khusus, dan mencerai beraikan kaum muslimin secara umum. Ketiga: Kita ambil contoh untuk pada zaman ini. Ingat dan ingat!! Para ulama telah mengingatkan bahwa perselisihan yang ada dalam tubuh dakwah salafiyah juga tidak terlepas dari ‘provokasi’ para penyusup ini. Disadari ataupun tidak dan terlihat ataupun tidak. Peringatan dari Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi حفظه الله terkait dengan sebagian perselisihan di antara Ahlus sunnah dan du’at salafiyin: “Pertikaian itu awal mulanya adalah tipu daya syaithan dari kalangan jin dan syaithan dari kalangan manusia terhadap orang-orang jahil, sehingga mereka terjerembab padanya. Jika telah menyala dan berkobar apinya maka nampak jelas bagi mereka akibat buruk dari api pertikaian ini. Orang yang berakal dan tanggap akan menyadari munculnya fitnah dan pertikaian ini pada awal mulanya. Dan orang yang jahil / bodoh tidaklah menyadarinya kecuali ketika pertikaian ini sudah usai. Maka aku menasehatkan agar kalian menjaga lisan-lisan kalian dari ikut campur dan terjun dalam pertikaian ini, dan agar kalian kembali bersaudara di antara kalian. Siapa yang terjadi padanya sikap saling menghindar dan melengos, maka wajib untuk kembali kepada al-haq. Sebab dalam pertikaian ini adalah penyusupan ‘provokator pertikaian’ untuk menyalakan api pertikaian. Sadarilah ini!! Suatu ketika Asy-Syaikh Muqbil menelponku dan berkata: “Sampai berita padaku bahwa engkau mengatakan di dalam majelis kami ada ‘penyusup hizbiyin’?” Maka aku berkata: “Aku tidak ingat apakah aku mengatakan atau tidak, dan sekarang aku tegaskan kepadamu: “Ya (ada penyusup dari hizbiyin)”. Sesungguhnya para pembuat kerusakan menempatkan di sekitar orang-orang penting itu ‘suatu bagian’. Mereka menempatkan di sekitar Asy-Syaikh Al-Albany suatu bagian, menempatkan di sekitar Asy-Syaikh Ibnu Baz suatu bagian, dan menempatkan di sekitar para penguasa suatu bagian. Serta mereka menempatkan di sekitar setiap ‘alim itu suatu bagian. Dengan tujuan untuk mencapai misi busuk mereka melalui ‘bagian’ ini. Maka kita tidak merasa aman dari penyusupan.” Kalau saja di majelis ulama demikian, maka kita juga tidak akan terlepas dari penyusupan ini. Karena misi yang mereka kejar dalam penyusupan di sekitar ulama adalah sama dengan yang mereka kejar dalam penyusupan di sekitar kita, di sekitar salafiyin. Peringatan dari Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam حفظه الله terkait perselisihan di antara du’at salafy yang berkepanjangan dan tak kunjung selesai, beliau sampaikan dalam pertemuan di ruangan beliau, qadarullah tidak sempat terekam, dan ini kami sampaikan secara makna: “Perlu kalian ketahui bahwa perselisihan berkepanjangan yang terjadi di antara du’at tidak terlepas dari unsur ‘penyusupan’ atau ada campur tangan penyusup. Hal ini telah terbukti dalam sejarah perjalanan islam, dan juga perjalanan dakwah salafiyah. Bagaimana mungkin kok perselisihan ini terus timbul dalam keadaan kedua belah pihak yang berselisih sudah siap untuk bersatu mencari titik terang?? Tentu ada pihak-pihak yang menyusup ke dalam salafiyin dan membakar kembali amarah kedua belah pihak. Entah menyusup ke dalam masing-masing pihak dan entah menyusup ke salah satunya. Dan para penyusup ini bisa jadi dari kalangan kufar, atau dari hizbiyin (kelompok menyimpang), atau dari intelegen.” Demikian pesan dan peringatan Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam حفظه الله. Adapun contoh kongkritnya, maka teman-teman yang mengenal dakwah salafiyah di Indonesia sejak sebelum tahun 2000 insyaallah sudah menemukan sebagian contoh akan hal ini, di berbagai kota di berbagai tempat. Belum di belahan dunia yang lain. Kita persingkat ini untuk menyingkat ruan pembahasan. Dan sekarangpun tidak jauh kemungkinan, kalau terjadi perselisihan yang berkepanjangan di antara salafiyin di Indonesia, di sana ada pihak yang menyusup untuk memperkeruh keadaan. Maka hendaknya kita waspada. Agar kita bisa berjalan bersama saudara-saudara kita dengan harmonis, dan agar kita bisa bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat secara harmonis pula. Lalu siapa yang akan menyusup ke dalam barisan salafiyin secara khusus atau kaum muslimin secara umum, untuk berulah dari dalam? Pertanyaan ini sudah dijawab dalam peringatan Asy-Sayikh Rabi’ dan Asy-Sayikh Al-Imam حفظهما الله. Namun tidak mengapa kita mengulanginya dengan penjelasan. Para penyusup tersebut bisa dari: Kaum Kufar, entah Yahudi (dan ini yang sering), entah Nasrani (dan ini tidak sedikit), entah antek-antek keduanya. Karena jelas permusuhan mereka terhadap islam secara umum, dan secara khusus terhadap ahlus sunnah. Sejarah membuktikan hal itu. Kaum hizbiyin, kaum penyimpang, dengan berbagai modelnya. Alasannya pun berbeda-beda, ada yang kerena balas dendam, karena ahlus sunnah telah menjelaskan kepada umat kebusukan mereka, dan ini yang paling sering. Atau karena melihat ahlus sunnah menjadi penghalang tujuan inti mereka. Tujuan yang mendominasi dari setiap kelompok sempalan adalah kursi, kekuasaan, dan penumpahan darah. Entah tujuan jangka pendek ataupun jangka panjang. Sejarah menjadi saksi akan hal ini. Kaum intelegen. Kenapa bisa? Apa alasannya? Pertama: Perlu diketahui bahwa dakwah Ahlus sunnah itu menyeru untuk selalu taat kepada pemerintah muslim selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan terhadap Allah تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم. Ahlus sunnah selalu dibimbing untuk menciptakan persatuan yang terbentuk dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, selama ajakan itu tidak ada unsur penentangan terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahama yang benar maka ahlus sunnah dibimbing untuk mengikuti. Kedua: Kalau ada unsur intelegen kok melakukan suatu bentuk ‘penyusupan’ dalam tubuh salafiyin, maka ada beberapa kemungkinan; Karena rasa khawatir, bahwa salafy akan mengancam keutuhan pemerintah. Dan ini sebenarnya tidak perlu. Karena salafy, ahlus sunnah dibimbing untuk mentaati pemerintah bukan untuk menggulingkan pemerintah. Sebuah pesan untuk teman-teman salafy agar mengingat aqidah ahlus sunnah, yaitu: Mentaati pemerintah muslim selama tidak memerintahkan untuk melanggar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun pemerintah ini termasuk pemerintah yang zhalim. Kalaupun ada ‘oknum’ dari salafy yang nyeleneh dan membangkang pada pemerintah maka oknum tersebut kita bilang telah melenceng dari garis asal yang dibimbingkan, atau tidak mengamalkan bimbingan tersebut. Silahkan melihat kembali pada artikel sebelumnya tentang ketaatan pada pemerintah. Karena ‘proyek’ dari CIA (Amerika) atau MOSSAD (Yahudi). Dan bisa dibilang keduanya adalah satu. Seakan tiada suatu negara kecuali agen CIA ada di situ. Atau ada kepentingan yang lain yang bisa saja memungkinkan. Berbagai kemungkinan bisa saja timbul dan terjadi. Ini terjadi di semua belahan dunia, dan hampir di setiap negara. Demikian kata Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, karena beliau telah mendapatinya, sampai beliau memberikan nasehat dan khutbah khusus menasehati mereka, dan menyatakan dakwah ahlus sunnah itu bukan dakwah yang berbahaya. Dan sebagai penutup, hendaknya kita mengukur segala sesuatu dengan ilmu, dengan akal yang lurus. Suatu pertikaian tidak akan membuahkan hasil yang manis buat kita semua. Dan kita harus waspada dari sebab-sebab pertikaian yang terselubung. Wallahu ‘alam.

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam Dikunjugi Metro TV 02

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam Dikunjungi Metro TV 02 Posted 15/03/2012 by thalibmakbar in Tanya Jawab. Ditandai:ma'bar, yaman, dar, hadits, thalib, metro TV, khutsi, rafidhah, dammaj. Johan: Tadikan disini kita tahu, di dammaj itu kita buka di internet dan buku, itu ada di serang al-hutsy, dammaj itu memang betul diserang mereka mempertahankan diri, terus penjagaan, saya lihat masuk tadikan banyak sekali didepan disini disini, apakah ini juga, apa ancamannya, apakah al-hutsy juga akan menyerang, kok ketat sekali gitu loh? Terus satu lagi, di shanaa ada jamiah al-iman, mereka itu bagaimana pendapat Syeikh tentang al-iman itu, karena kalau kita kemarin kesana itu, dengan pemerintah mereka sepertinya itu tidak cocok, karena mereka tidak dikasih ijin -santri itu- oleh pemerintah Yaman, tidak ada dikasih ijin disitu mereka disana, apa betul seperti itu? Syaikh: Terkait adanya penjagaan yang lumayan ketat di tempat kita ini, maka ini dikarenakan kondisi dan peristiwa yang ada, juga karena kelakuan kaum Khutsi untuk menyalakan api keributan, berupa pengeboman dan peledakan, dan semisal semua ini. Maka penjagaan itu diadakan dari segi ini. Kami memohon kepada Allah تعالى kelembutan. Kondisi berubah-ubah, seakan urusan menjadi lebih parah dengan tidak tegaknya pemerintah saat-saat ini sesuai yang diinginkan. Maka merupakan hak setiap orang untuk waspada dan hati-hati pada semua kondisi ini. Kami memohon pertolongan kepada Allah تعالى. Adapun terkait Jami’ah Al-Iman. Kenapa pemerintah melarang kalian ke sana. Maka hal ini dikarenakan sesuatu yang timbul berkembang dalam diri mereka sendiri. Padahal awal-awalnya tidak ada yang seperti ini. Adapun kita, antara kami dengan partai-partai yang ada, bahkan antara kami dengan pemerintah, kami berusaha untuk menyampaikan nasehat kepada mereka. Kami berkeyakinan untuk memberikan nasehat yang lurus, baik kepada partai politik ataupun kepada pemerintah, untuk menjauhi hal-hal yang menyebabkan Allah تعالى murka, akibat adanya berbagai perselisihan. Maka kami menasehatkan kepada pengurus Jami’ah Al-Iman agar menjauhi perkara perpartaian ini yang memecah belah kaum muslimin, dan melemahkan kaum muslimin, sehingga timbullah kerusakan persaudaran kaum muslimin. Hanya kepada Allah تعالى kita memohon kelembutan. Dan kami juga nasehatkan kepada kaum muslimin dari dulu dan mendatang agar mereka menjaga hak-hak sesama manusia, menjaga negara. Ini yang kami jalani dari dulu dan mendatang. Pertanyaan: Apa keyakinan yang dianut oleh kaum Khutsi (Syi’ah Rafidhah)? Dan apa yang menjadikan Khutsi menyerang Dammaj? Syaikh: Rafidhah secara umum adalah orang-orang yang berkeyakinan untuk mengedepankan ‘Ali bin Abi Thalib dibanding Abu Bakr dan ‘Umar dalam hal kepemimpinan dan keutamaan. Maka inilah orang Rafidhah. Jika dia berkeyakinan untuk mencaci Abu Bakr dan ‘Umar dalam kepemimpinan mereka, maka ini disebut Rafidhah Fanatik (dedengkot tertinggi). Rafidah berkeyakinan mengkafirkan banyak dari shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم. Maka hal ini merupakan bentuk pendustaan terhadap Al-Qur’an Al-Karim, karena Allah تعالى telah memuji merekomendasi para shahabat dan ridha kepada mereka, dan juga Allah تعالى menyatakan bahwa mereka itu orang-orang yang jujur dan orang-orang yang beruntung dan selaindari itu. Demikian juga Rafidhah memiliki sikap yang melewati batas terhadap keluarga Nabi صلى الله عليه وسلم, terhadap ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, Al-Husain, Fathimah, dan orang-orang yang mereka sebut dengan para imam. Maka mereka berlebih-lebihan pada mereka. Mereka mengatakan: para imam ini ma’shum. Sedangkan tidak ada seorang pun yang ma’shum kecuali para Nabi صلى الله عليه وسلم dan para Rasul. Sifat ma’shum ini tidak dimiliki oleh seorangpun dari pengikutu mereka, baik khalifahnya atau yang lain. Bahkan Rafidhah lebih parah sikap melampui batasnya dari hal ini. Telah terjadi ada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib dan ini terkenal secara sejarah bagi semua kelompok dan sekte. Diberitakan dengan benar bahwa Abdullah bin Saba’ (orang Yahudi yang menampakkan keislaman pemrakarsa sekte Rafidah) dan pengikutnya berkata kepada ‘Ali: “Kamu adalah Allah تعالى”. Maka ‘Ali mengatakan pada mereka: “Wahai kaum, aku ini manusia seperti kalian, aku makan seperti kalian makan, aku minum seperti kalian minum, dan aku juga menikahi wanita.” Mereka tetap berkata: “Tidak, kamu adalah Dia (Allah تعالى).” Maka ketika mereka ngotot mengatakan bahwa ‘Ali adalah Allah تعالى, maka ‘Ali menyatakan mereka telah murtad keluar dari islam, dan menylakan api membara lalu melemparkan mereka dalam api dan emmbakar mereka (karena tidak mau bertaubat). Inilah tonggak benih kerusakan di kalangan kaum muslimin, melalui jalan Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya. Maka mereka meletakkan dua pondasi: Celaan kepada para shahabat, terkhusus Abu Bakr dan ‘Umar. Sikap berlebihan terhadap keluarga Nabi صلى الله عليه وسلم, menganggap mereka ma’shum, dan sebagian mereka mengatakan: kenabian itu hanya milik mereka, dan sebagian lagi lebih melewati batas sampai pada batasan menjadikan salah seorang mereka sebagai Allah تعالى. Hal tadi adalah keyakinan mereka pada zaman dulu. Demikian juga diantara keyakinan mereka belakangan ini adalah keyakinan bahwa Al-Qur’an telah diubah, keyakinan bahwa mereka memiliki Al-Qur’an yang disebut dengan Al-Qur’an Fathimah, dan itulah Al-Qur’an yang terjaga, itulah Al-Qur’an yang akan dijadikan patokan hukum oleh Imam Mahdi mereka jika keluar, yaitu Mahdi dari Lorong Sirdab. Mahdi model ini hakikat sebenarnya dalah khurafat (takhayul). Hanya saja keyakinan mereka, bahwa mahdi ini akan keluar dan akan berhukum dengan Al-Qur’an Fathimah secara benar. Dia akan mengeluarkan Al-Qur’an ini, dan akan membebaskan Makkad dan Madinah. Dan selain itu dari keyakinan mereka. Demikian juga keyakinan mengkafirkan orang lain. Contohnya mereka mengkafirkan shahabat Rasulullah, mereka mengkafirkan kum muslimin yang memiliki loyalitas dengan shahabat, setiap orang yang mereka temukan mengucapkan “Radhiyallahu ‘anhu” pada shahabat maka mereka anggap dia kafir, sehingga mereka menganggap darah mereka halal untuk ditumpahkan, harta mereka halal untuk dirampas, kehormatan mereka halal untuk dihinakan. Hanya saja mereka menyembunyikan keyakinan ini sampai mereka kuat memiliki pengaruh. Jika mereka telah memiliki pengaruh dan merasa kuat maka mereka tampakkan hal itu. Diantara pokok penyimpangan dan kesesatan mereka adalah taqiyah. Maknanya adalah: Mereka menampakkan di hadapan kaum muslimin yang mereka takuti hal-hal yang seakan sesuai dengan kaum muslimin, sehingga kaum muslimin menyangka bahwa mereka bukan orang yang menyimpang. Dan hakikatnya mereka tetap pada penyimpangan mereka, akan tetapi melakukan taqiyah ini pada saat mereka lemah di hadapan orang-orang yang mereka takuti akan mengingkari mereka dan menjelaskan hakikat mereka. Maka mereka berusaha untuk menampakkan bahwa rafidhah tidaklah memiliki kejelekan ini tidak pula penyimpangan ini, dan selain itu berupa keyakinan-keyakinan seperti pengakuan bahwa merekalah yang paling berhak terhadap khilafah dan kepemimpinan, dan khlafah itu adalah anugerah Allah تعالى yang khusus untuk mereka tidak pantas untuk selain mereka. Dan mereka berkeyakinan jika yang menjadi khalifah dan pemimpin adalah orang selain mereka maka orang tersebut kafir dan halal darahnya ditumpahkan, hartanya dirampas dan kehormatannya dihinakan. (Dan inilah yang menjadikan Syi’ah Rafidhah kalau sudah memiliki kekuatan mereka menggulingkan pemerintah yang ada). Dan selain dari itu dari yang mereka miliki berupa penyimpangan an kesesatan. Dan yang menjadikan Khutsi menyerang kaum muslimin di Dammaj dan tempat lainnya adalah keyakinan mereka di atas. Yang mana sebagaimana kalian dengar. Kalau saja mereka berani mengkafirkan banyak shahabat itu kafir, maka lebih akan berani lagi dan lancang untuk mengkafirkan kaum muslimin selain shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم. Padahal para shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم itu telah dipuji dan direkomendasi oleh Allah تعالى, dan tidak tersisa lagi hal yang tidak mereka cela. Lebih dari itu mereka melampaui batas dan zhalim dengan mengkafirkan para shahabat. Maka orang-orang Rafidhah seperti Khutsi ini akan menyerang, sama saja di Dammaj atau tempat lainnya (di dunia ini). Mereka akan menyerang kaum muslimin secara umum, terkhusus lagi mereka akan menyerang ahlus sunnah. Karena mereka mengkafirkan ahlus sunnah dan menghalalkan darahnya, hartanya dan kehormatannya. Akan tetapi Rafidhah akan berusaha untuk menyembunyikan hakikat ini. Disaat mereka memiliki aqidah yang membolehkan segala hal, maka mereka hanya menunggu waktu yang tepat dan kesempatan yang tepat untuk melancarkan misi keyakinan mereka itu. Allah تعالى yang lebih tahu semua ini. Johan: Syukron Syeikh. Syaikh: Semoga Allah تعالى mengampunimu. Seperti biasanya Syaikh ketika kedatangan tamu dari orang Indonesia (entah tamu dari KBRI atau para ustadz dari Indonesia, atau rombongan dari Indonesia yang lain) maka beliau langsung menyediakan waktu, meninggalkan rutinitas beliau yang sangat padat. Setelah itu pada saat makan siang beliau menyediakan jamuan spesial lalu makan bersama tamu dengan penuh pemuliaan. Sebagaimana hal itu bisa ditanyakan kepada siapa saja yang hadir dalam pertemuan tersebut. Betapa Syaikh mencontohkan kepada umat dan terkhusus kepada muridnya bagaimana memperlakukan orang dengan baik. Sama saja itu dari kalangan ahlus sunnah sendiri, ataupun dari selain ahlus sunnah. Tidak sedikit orang-orang dari kalangan awam yang mencintai beliau karena sikap beliau ini. Tidak sedikit beberapa pejabat hormat pada beliau karena sikap beliau. Padahal penampilan beliau bukanlah perlente kayak kebanyakan orang, badannya kecil kurus, namun Allah تعالى menjadikannya berwibawa dengan ilmunya dan sikapnya terhadap semua orang dengan baik. Inilah contoh dari ulama kita, ulama kaum muslimin. Semoga Allah تعلى menjadikan apa yang kami sampaikan ini bermanfaat, membawa pencerahan kepada orang yang hendak mencari hakikatnya. Semua anugerah dan kenikmatan adalah pemberian Allah تعالى semata tiada sekutu bagi-Nya. Pelajar Indonesia Di Darul Hadits Ma’bar – Yaman Download transkrip arabnya: Metro TiPi (format PDF) Download suaranya: Wawancara Metro TV – Syaikh Imam (MP3)

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam Dikunjungi Metro TV 01

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam Dikunjungi Metro TV 01 Posted 15/03/2012 by thalibmakbar in Tanya Jawab. Ditandai:dar, hadits, khutsi, ma'bar, metro TV, rafidhah, thalib, yaman. بسم الله الرحمن الرحيم Berikut transkrip wawancara antara Syaikh Muhammad Al-Imam pimpinan dan pengasuh Darul Hadits - Ma’bar, Yaman dengan rombongan dari Metro TV. Terselenggara pada tanggal 01 Februari 2012, di ruangan Syaikh di Darul Hadits Ma’bar. Yang hadir di tempat tersebut adalah Syaikh beserta dua pendamping (salah satunya putra kedua beliau). Dari pelajar WNI ada enam orang. Dan dari Metro TV adalah Josua Johan, Edward A.R, Ahmed Munzir Al-Ghazali, dan Panji Dewanata. Dan ada seorang reporter wanita (Desi Fitriani) melakukan pertemuan terpisah bersama dua santriwati Indonesia dan dengan Istri Syaikh beserta keluarga beliau yang lain. Sebenarnya ada satu penterjemah, namun suaranya kami hilangkan dan tidak kami transkrip, kami mencukupkan dan sengaja menyajikan pertanyaan asli dari Metro TV. Wawancara tersebut sebagai berikut: Johan: Kita cukup bergembira Syeikh dan kawan-kawan bisa meluangkan waktu untuk kita bertemu dan kita dari shanaa sampai sini, banyak yang kita lihat budaya-budaya muslim yang ada disini. Jadi kunjungan kami kesini saya Johan, Pak Eed, Pak Ahmed dan Pak Dewa dari Metro TV pada intinya mau melihat kondisi warga Negara Indonesia yang sekolah dibanyak tempat di Yaman ini, karena beberapa waktu yang lalu kita mendengar warga Negara kita disini ada yang terancamlah gitu dalam kondisi terjebak dalam segala ancaman, jadi kita ini sebenarnya mau lihat seperti apa sebenarnya warga Negara kita, ternyata ada banyak tempat dan diantaranya di ma’bar ini, untuk itulah kami mau berkunjung kesini sekaligus bersilaturahmi dengan Syeikh, kira-kira disini ada berapa orang warga Negara Indonesia yang sekolah di mabar ini. Syaikh: Segala puji bagi Allah تعالى. Dan aku bersaksi bahwa tiada ilah yang benar kecuali Allah تعالى semata tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah تعالى, semoga shalawat dan keselamatan selalu tercurah pada beliau, keluarga beliau, dan para shahabat beliau. Pertama, selamat datang dengan kemudahan kepada saudara-saudara yang berkunjung kepada kami untuk berziarah -sebagaimana mereka katakan-, juga untuk melihat secara langsung keadaan para pelajar dari Republik Indonesia yang berada di tempat kami. Selamat datang kepada mereka. Adapun terkait jumlah pelajar (Indonesia) yang berada di sini, maka hal ini datanya ada pada penanggung jawab para pelajar yang datang dari luar Yaman, karena tercatat dalam daftar yang ada pada dia. Adapun saya, hal tersebut bukan bagian saya. Anak saya (yang pertama) Abdurrahman adalah yang diamanahi tugas tersebut, para pelajar tersebut datang ke dia dan dia mencatatnya, menerimanya dan menjelaskan kepada mereka metode belajar kita. Maka tidak mengapa untuk dipertanyakan hal ini kepada Nak Abdurrahman -semoga Allah تعالى menjaganya-. Johan: Dari banyaknya jamiah yang ada di Yaman ini kira-kira apa beda atau yang spesifiklah di jamiah ini di perguruan ini dibandingkan dengan jamiah-jamiah yang ada di Yaman lainnya atau di tempat-tempat lain, apa yang khusus perbedaannya disini yang mungkin membuat ketertarikan juga dari teman-teman dari Indonesia untuk sekolah disini. Syaikh: Perbedaan antara belajar di Darul Hadits -yang dengan keberadaannya Allah تعالى memuliakan penduduk Yaman pada zaman ini- dengan belajar di Kampus atau kuliah dan seterusnya sangatlah besar. Perbedaannya besar dan luas. Pertama: Belajar di Darul Hadits adalah mempelajari agama, Al-Qur’an dan As-Sunnah, beserta bahasa Arab (sebagai kunci memahami Al-Qur’an dan Hadits). Atau kalau mau kita sebut: Mempelajari Al-Qur’an dan Hadits beserta semua ilmu alat yang mendukung untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits. Maka belajar di sini hanya terkhusus dengan pengetahuan agama Allah تعالى, penyebarannya, menyeru masyarakat kepadanya, dan istiqamah di atasnya. Entah dalam bentuk menulis buku, menyampaikan bantahan pemberi kerancuan, dan membela agama ini. Belajar di tempat kami adalah belajar agama semata, pelajaran agama dari awal sampai akhirnya. Pelajaran di Universitas dan semisalnya, materi ilmunya campur aduk. Telah disusupi berbagai pengetahuan yang merusak, telah disusupi berbagai ilmu filsafat, dan berbagai ilmu sebagian kelompok dan sekte sesat, apa saja yang telah masuk. Demikian juga, maksud kita belajar adalah -pertama- agar kita bisa memperbaiki diri-diri kita, kemudian kita berusaha untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin sebatas yang kita mampu untuk kita tempuh. Maka maksud yang mulia dan tuntutan yang agung inilah yang menyejukkan dada kita, dengannya cita-cita dan ketakwaan kita mejadi tinggi, semua ini disebabkan tekad yang ada. Kalau begitu, hendaknya seseorang mencari ilmu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat, yang dengannya semua kondisi keagamaan dan duniawinya menjadi baik, kondisi duniawi dan akhirat. Oleh karenanya, Imam Ad-Darimy dan Ibnu Abdil Barr serta lainnya meriwayatkan dari Imam Besar Ibnu Syihab, bahwa beliau berkata: “Para ulama kita berkata: “Ilmu itu sebab tegak dan terangkatnya agama dan dunia, dan hilangnya ilmu menjadi sebab hilangnya agama dan dunia.” Yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Maka kita juga demikian memahami, bahwa ilmu syar’i itu menjadi sebab tegaknya agama dan sebab baiknya dunia. Dan mengabaikan ilmu syar’i atau meninggalkan secara keseluruhan atau meninggalkan sebagiannya atau tidak peduli dengan ilmu syar’i dan penyebarannya, maka ini merupakan sebab terbesar terjatuhnya kaum muslimin ke dalam kekacauan, kekacauan dan berpengaruh terhadap kehidupan agamanya dan kehidupan duniawinya. Maka kita memilih untuk diri-diri kita semua hal yang diajarkan oleh Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi kita صلى الله عليه وسلم, yang mana para ulama pendahulu telah bergegas merengkuhnya. Namun bersamaan dengan ini kami tidaklah mengharamkan ilmu yang mubah (boleh secara syar’i), yaitu dari ilmu dunawi, seperti ilmu kedokteran, teknologi, dan ilmu yang lain yang memberikan manfaat duniawi, kami tidak mengharamkannya. Hanya saja kami melihat ilmu-ilmu duniawi ini lebih dikejar melebihi batas yang dianjurkan. Sementara ilmu syar’i banyak dari kaum muslimin dan putra-putrinya yang meninggalkan ilmu syar’i ini kecuali sedikit orang saja. Apa saja di samping ilmu-ilmu selain ilmu syar’i maka terkadang pemilihan dan pengejaran tersebut untuk ilmu-ilmu yang lain. Termasuk diantara perbedaan yang ada, bahwa ketertarikan di universitas itu lebih memilih dan mengejar ilmu selain ilmu syar’i. Contohnya mengejar pelajaran bahasa asing seperti Inggris dan selain itu, dan lebih menjadikan ilmu syar’i itu pengikut (atau kalau ada waktu). Tidak ada yang memberikan perhatian khusus terhadap ilmu syar’i kecuali sedikit orang. Ini kurang lebih tiga perbedaan yang kita sebutkan antara belajar di tempat kami dan belajar di universitas yang lain. Johan: Tadi Syeikh menyampaikan ada juga jamiah-jamiah lain di Yaman ini yang memberikan pelajaran kesesatan, itu seperti apa contohnya? Bisa dijelaskan? Syaikh: Saya berbicara tentang apa yang terjadi di tempat kami di Yaman. Dan aku kira di tempat selain Yaman -kecuali jarang- keadaannya seperti ini atau bahkan lebih parah. Yaitu (pelajaran yang berisi perusakan agama) seperti filsafat yunani pada beberapa bidang, entah perkara yang terkait dengan perkara ketuhanan (atau yang lainnya). Adapun ajaran-ajaran yang lain seperti aqidah sekte Asy’ariyah, aqidah sekte Mu’tazilah, aqidah sekte Jahmiyah, maka semua adalah hal-hal yang banyak terdapat pada buku-buku sekolahan. Seperti adanya keyakinan bahwa Al-Qur’an itu makhluk (bukan ucapan Allah تعالى). Berbagai aqidah yang semisal ini banyak terdapat pada buku-buku tersebut. Johan: Apakah dikampus ini siswa-siswa WNI ada diberikan pelajaran-pelajaran, seperti perang atau bawa senjata (nembak), tadi kita lihatkan ada yang bawa senjata, kan ditempat kita cukup jarang seperti itukan? Apakah disini WNI ada juga dilatih dalam pelajarannyalah di jamiah sini, kurikulumnya begitu atau mungkin tidak dikurikulum, apa mungkin ada pelajaran tambahanlah, mungkin kumpul-kumpullah begitu, apakah ada seperti itu? Syaikh: Tidak ada hal itu di tempat kami. Tidak ada pelajaran pelatihan senjata untuk orang asing. Bahkan pelajar yang berasal dari luar Yaman kami katakan pada mereka: “Kalian tidak butuh untuk memegang senjata, karena kalian tidak ada kepentingan terhadapnya. Dan kami dengan izin Allah تعالى akan menjaga Darul Hadits ini. Kalian tidak membutuhkannya.” Karena mungkin saja sebagian orang asing beranggapan: “Saya butuh senjata.” (Orang asing di Ma’bar ada yang dari Somalia, Indonesia, Perancis, Jaza’ir, Amerika, Kamerun, Nigeria, Etiopia, Mali dll). Namun kami mengatakan: “Kamu nggak butuh. Karena hal ini justru akan mengundang pengawasan intelijen (sehingga kalian ditangkap dan kamu justru tidak bisa belajar). Karena tuduhan yang ada sekarang ini, bahwa warga selain Yaman ini datang sebagai teroris, atau yang semislanya.” Kami memberikan arahan (serta mempersyaratkan) kepada pelajar asing yang ingin belajar di tempat kami, bahwa mereka akan aman di tempat kami, mereka akan tenang dengan izin Allah تعالى, bisa istirahat dengan tenang dengan izin Allah تعالى, dan juga mereka itu tidak butuh kepada senjata. Ini yang ada terjadi di tempat kami (mereka tidak boleh dekat-dekat senjata), apalagi mau dikatakan kami mengajari mereka. Kami memandang hal ini tidak diperlukan untuk mereka. Itu (mengajari senjata) bukan misi kami, bukan pula tujuan dan tuntutan kami. Bahkan seperti yang kalian dengan kami katakan pada mereka: “Kalian tidak perlu memegang senjata. Carilah ilmu syar’i dan curahkan waktu kalian untuk itu. Ini yang kami bimbingkan kepada kalian, dan ini yang akan klian ambil manfaatnya.” Dan Alhamdulillah. Johan: Indonesia itukan masyarakatnya banyak suku banyak agama, terus kalau nanti santri-santri atau murid-murid yang ada disini kembali ke Indonesia itu setelah selesailah mengikuti disini, apa harapan dari Syeikh ini? Untuk para santri yang lulusan dari ma’bar ini jika mereka kembali ke Indonesia? Syaikh: Kami mengajari para pelajar dan berharap dari mereka agar Allah تعالى menjadikan mereka bermanfaat. Yaitu agar mereka menyeru masyarakat untuk berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Sunnah, agar masyarakat yang melenceng dari Al-Qur’an dan Sunnah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta mengamalkannya. Kami katakan kepada para pelajar agar berdakwah menyeru masyarakat kepada Allah تعالى dengan cara yang baik. Karena Allah تعالى berfirman; ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan bijak dan peringatan yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl:125) Maka kami menyeru -sebatas yang kami mampu- kaum muslimin agar berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Dan Allah تعالى akan menjadikan hal itu bermanfaat. Kalbu manusia itu ada di tangan Allah تعالى. Dan Allah تعالى adalag Dzat yang memberikan petunjuk kepada para hamba. Dan Alhamdulillah, telah terjadi banyak kebaikan dengan bergeraknya para pelajar untuk memberikan nasehat kepada masyarakat dan untuk menyeru mereka untuk menambah bekal kebaikan. Dan para pelajar juga menyeru mereka agar menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Allah تعالى, berupa kebid’ahan, dan hal-hal yang lebih para dari itu. Hanya kepada Allah تعالى kita meminta tolong. Ini yang kami harapkan dari para pelajar, dan ini yang kami arahkan (ajarkan) untuk mereka lakukan sesuai dengan kadar kemampuan mereka. Johan: Beliau terkait dengan ketaatan kepada pemerintah tadi, Negara kitakan mengakui adanya agama-agama tadikan? Jadi tidak masalah, jadi intinya tadi Syeikh sampaikan syiar agama tetap tapi dengan hikmah. Apa kaitan pesantren disini dengan yang di dammaj karena kita nggak dikasi ke dammaj sama pemerintah Yaman, jadi kita mau kesana tidak boleh sama pemerintah Yaman, tapi kesini boleh, apa hubungan disini dengan disana apa ada beda atau sama, atau bagaimana? Syaikh: Hubungan kami dengan Dammaj? Bahwasannya dakwah kami satu, dan kami juga sering kontak dengan mereka. Adapun terkait larangan pemerintah Yaman, maka mungkin terjadi karena adanya kekhawatiran di jalan. Kalau tidak, maka dulu beberapa pihak dari kalian (Dubes dan jajaran KBRI) telah pergi ke sana. Entah pada zaman Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy (Pak Dubes waktu itu ke sana), demikian juga saya kira pada zaman Syaikh Yahya ini. Maka larangan dari pemerintah ini, mungkin sebagai akibat dari adanya bentrokan dan keributan atau pencegatan di jalanan. Abdullah putra Syaikh: Bagaimana kondisi Dammaj sekarang ini? Syaikh: Sekarang keadaan telah tenang dan pengepungan / blokade telah dibuka. Orang-orang keluar masuk ke Dammaj. Ada yang telah pergi ke Dammaj dan telah keluar dari Dammaj. Kondisi tenang. Dan kita memohon kepada Allah تعالى agar melanggengkan kenikmatan dan kebaikan-Nya. Eed: Jadi ma’bar sama dammaj sama pendidikannya, sama pelajarannya atau kurikulumnya sama, terus bagaimana pendapat Syeikh tentang fatwa dari Syeikh yang di dammaj itu untuk santri-santrinya mengangkat senjata mempertahankan diri, kalau boleh tahu pendapat Syeikh bagaimana? Syaikh: Semoga Allah تعالى memberikan barakah pada kalian. Terkait dengan pembelaan terhadap kehormatan, jiwa, harta dan agama bagi orang yang dizhalimi dan dianiaya, maka hal ini adalah hal yang disyari’atkan dalam agama, dan ini juga hal yang disepakati oleh syari’at. Ini dari tinjauan sayari’at. Demikian juga secara undang-undang dan adat kebiasaan internasional, bahwa pembelaan terhadap jiwa dan kehormatan itu dibenarkan bagi orang yang terzhalimi, dia bisa membela diri. Maka keadaan saudara kita di Dammaj memiliki penjagaan, memiliki pos di gunung Baraqah di atas Darul Hadits Dammaj adalh semata-mata bentuk perlindungan dan penjagaan untuk Darul Hadits, membela Darul Hadits. Dan ini tuntutan yang dibenarakan syari’at. Hal ini dilakukan karena adanya sebab yang menuntut untuk itu, yang mendorong untuk dilakukan. Yaitu usaha orang-orang Khutsi untuk menyerang dan kezhaliman mereka, gerakan dadakan mereka, dan usaha mereka untuk menumpahkan kerusakan yang besar kepada saudara kita berupa pembunuhan dan semisalnya. Maka hal seperti ini disebut dengan pembelaan diri akan jiwa, kehormatan, dan agama pada waktu yang bersamaan. Demikian sebagaimana kalian dengar, hal ini dibenarkan secara syari’at, secara adat kebiasaan, dan secara undang-undang internasional. Alhalmdulillah. Bersambung: Syaikh Muhammad Al-Imam Dikunjungi Metro TV 02 Download transkrip arabnya: Metro TiPi (format PDF) Download suaranya: Wawancara Metro – Syaikh Al-Imam (MP3)