Sabtu, 29 September 2012

FATWA PARA ULAMA TENTANG IHYA AT-TUROTS (Ihya At-Turots Bag. 1)

FATWA PARA ULAMA TENTANG IHYA AT-TUROTS (Ihya At-Turots Bag. 1) www.darussalaf.or.id “Buku Emas”, itulah pujian dari para pendukung Ihya’ At-Turots terhadap tulisan Al AKh Abu Abdil Muhsin Firanda Ibnu Abidin –semoga Allah Ta’ala memberi hidayah kepadanya dan kepada kita semua-. Di dalam bukunya Firanda menerapkan beberapa kaidah tentang masalah khilaf, hajr dan yang lainnya yang tidak didudukkan pada tempatnya. Dengan berbagai dalih –bukan dalil- ia mengemukakan beberapa alasan tentang pembelaannya terhadap “Jum’iyyah Hizbiyyah” ini sampai kepada tingkat -bukan saja membolehkan untuk mengambil dana darinya- bahkan menganjurkan untuk berta’awun bersamanya dan meminta dana darinya (Lerai …, hal.242). Sebenarnya, syubhat dari Al-Akh Firanda ini termasuk syubhat yang sudah sangat klasik dan sudah dibantah oleh para ulama yang mengerti tentang seluk-beluk dan kenyataan yang terjadi di lapangan di berbagai negara, yang menimbulkan dampak yang amat negatif disebabkan masuknya bantuan dari yayasan ini. Karena permasalahan ini mulai dikaburkan kembali dan dimunculkan anggapan bahwa yayasan ini adalah yayasan yang dibangun di atas Manhaj Salaf, maka perlu kita ingatkan kembali kepada kaum muslimin sebagai bentuk pengamalan dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam : ”Agama itu adalah nasehat.” Untuk itulah tulisan ini akan kami bagi menjadi beberapa bagian, disebabkan keterbatasan waktu dan sempitnya kesempatan untuk menulis, maka saya akan berusaha menulis secara bertahap dan memberi bantahan dan tanggapan terhadap “BUKU EMAS” yang sekarang ini menjadi pedoman setiap Turotsi. Akhirnya, kami tetap mengharapkan kritikan yang membangun dan bersifat ilmiah terhadap apa yang akan saya tulis, sebab setiap manusia tidak pernah luput dari kesalahan, namun yang terbaik tentunya yang bertaubat kepada Allah Ta’ala. Dan seorang Salafi adalah yang selalu menjadikan prinsipnya “Rujuk kepada kebenaran lebih baik daripada berkelanjutan di atas kebatilan”. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufiq kepada kita semua, terkhusus kepada diri ana pribadi dan semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi manfaat kepada kaum muslimin terhadap apa yang kami tulis dan senantiasa menjaga kita dari berbagai macam fitnah yang zhahir maupun batin. Amin, ya mujibas saailin. FATWA ASY-SYAIKH RABI’ BIN HADI AL-MADKHALI –HAFIDHAHULLAH- فتوى الشيخ ربيع بن هادي المدخلي حفظه الله تعالى (( والله يقولون بأن إحياء التراث تلتزم بالمنهج السلفي,لكن عليها مآخذ شديدة في الخارج أكثر من الداخل,وأرى أن التعاون معها تعاون ضد المنهج السلفي,فعليها أن تتوب إلى الله تبارك وتعالى وتلتزم المنهج السلفي باطنا وظاهرا وتعلن الحرب على هذا الغلو وعلى هذه المناهج مناهج سيد قطب.أما إمام إحياء التراث عبد الرحمن عبد الخالق يدافع عن الترابي وسيد قطب والبنا والمودودي وعيرهم من زعماء البدع والفتن ويبقى إماما مقدسا في قلب إحياء التراث.بارك الله فيكم.فهذا من أقوى القرائن على أن إحياء التراث ليست بصادقة في اتجاهها بالمنهج السلفي وآثار عبد الرحمن عبد الخالق معروفة هي ما تحمل المنهج السلفي بجدية وصفاء ونقاء .ومن أدلة أنها لا تلزم هذا المنهج أنها توالي التكفيرية في اليمن جمعية الحكمة وأمثالها وتوالي غيرهم توالي الإخوان المسلمين .أين جهودها في مواجهة هذا الفكر الإخواني لا هَمَّ له إلا السحب من المنهج السلفي . أيها الإخوة,على كل حال ,نحن ننصح الشاب السلفي أن يدرس المنهج السلفي من الطرق الشريفة النظيفة ,وأنصح السلفي الصادق ألا يدخل إخوانه في دوامة الخلافات والقيل والقال وقد نصحتكم في مرات كثيرة أنكم ابتعدوا عن أسباب الخلافات ,فالتعاون مع إحياء التراث يؤدي إلى صراعات وخلاافات بينكم. فالسلفي الصادق لا يغالط بدعوته وبإخوانه ويدخل بها في صراع الخلافات بارك الله فيكم. نحن والله نتمنى من إحياء التراث أن تعود إلى رشدها وأن يكون أعمالها الخفية مثل أعمالها الظاهرة وهي– سلفية واضحة باطنا وظاهرا ترى آثار هذه السلفية في الخارج وفي الداخل .لكم مانرى هذا,أين هذا في بانجلاديش,وأين مثل هذا في السودان,وأين آثارها في بلدان بعيدة وإن كانوا يلبسون على الناس ,يلبسون على الناس ويقولون: نطبع الكتب وننشر كذا وكذا ……..(كلمة غير واضحة) بارك الله فيك ليست مخلصة في نشر المنهج السلفي الذي رفع رايته رسول الله وصحابته الكرام وأتباعه أحمد بن حنبل وابن تيمية وابن عبد الوهاب .نجدهم ذكر الإخوان ,مجاملات,والسياسات وما شاكل ذلك.فلتتب إلى الله عز وجل من هذا المنهج . تم هذا اللقاء في يوم الخميس الموافق الثامن من شهر الله الحرام عام 1426 .بعنوان: الوسطية في الإسلام والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته. Terjemahannya Syaikh Rabi Ibn Haadi : “Demi Allah, mereka mengatakan bahwa Ihya’ At-Turots komitmen dengan manhaj Salafi, namun ada beberapa kritikan keras atas mereka, dimana di luar – lebih banyak (kritikannya) – daripada di dalamnya. Aku berpendapat bahwa bekerjasama dengan mereka adalah bentuk kerjasama yang menentang manhaj Salafi. ” “Maka wajib atas mereka bertaubat kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan komitmen terhadap Manhaj Salafi, baik secara lahir maupun batin serta mengumumkan perang terhadap sikap ekstrim ini, terhadap berbagai manhaj, manhaj Sayyid Quthb. Adapun Imamnya Ihya’ At-Turots Abdurrahman Abdul Khaliq, yang membela At-Turabi (Hasan At-Turabi), Sayyid Quthub, Al-Banna (Hasan al Banna), Al-Maududi (Abul A’la Al- Maududi) serta yang lainnya dari para pemimpin bid’ah dan fitnah yakni Abdurrahman Abdul Khaliq) tetap menjadi imam yang dikultuskan dalam hati Ihya’ At-Turots. Barakallahu fiikum – Semoga Allah memberkahi Anda” “Maka inilah data-data yang paling kuat yang menunjukkan bahwa Ihya’ at-Turots tidaklah jujur dalam mengarahkan dirinya kepada manhaj Salafi. Pengaruh Abdurrahman Abdul Khaliq telah diketahui dimana dia tidak membawa manhaj Salafi dengan sesungguhnya secara bersih dan murni. Diantara indikasi terkuat bahwa ia tidak komitmen dengan manhaj ini, bahwa ia bersikap loyal kepada kaum takfir di Yaman, Jum’iyyatul Hikmah dan yang semisalnya. Juga bersikap loyal kepada selain mereka, Ikhwanul Muslimin. Mana kesungguhan mereka dalam menghadapi pemikiran Ikhwani ini ? Mereka tidak punya keinginan (membantah pemikiran Ikhwan, pen) kecuali untuk menarik diri dari manhaj Salafi. Ikhwan sekalian, yang jelas kami menasehati para pemuda Salafi agar mempelajari manhaj Salafi melalui cara-cara yang mulia dan bersih. Dan aku menasehati seorang Salafi yang jujur agar tidak menjerumuskan saudara mereka dalam berbagai perselisihan yang berkelanjutan, isu ini dan isu itu.” “Aku telah menasehatkan kalian dalam banyak kesempatan agar kalian hendaklah menjauhkan diri dari berbagai sebab perselisihan. Bekerjasama dengan Ihya’ At-Turots akan mengantarkan kepada pergolakan dan perselisihan diantara kalian. Seorang Salafi yang jujur tidak mempermainkan dakwahnya dan saudara-saudaranya dengan menjerumuskannya ke dalam pergolakan khilaf, barakallahu fiikum.” “Kami –demi Allah- berharap dari Ihya’ At-Turots agar kembali kepada kebenaran dan agar amalan-amalannya yang tersembunyi seperti amalannya yang nampak.Yaitu menjadi Salafiyah yang jelas, batin maupun zahir, yang dapat dilihat pengaruh Salafiyyah ini baik di luar maupun di dalam. Namun kita tidak melihat ini, sejauh mana (pengaruh salafiyahnya) di Bangladesh, juga yang seperti itu di Sudan, juga pengaruhnya di berbagai negeri yang jauh. Walaupun mereka mengelabui manusia dan mengatakan: “Kami mencetak kitab, kami menyebar ini dan itu…..[1]. Barokallahu fiik. Tidak memurnikan dalam menyebarkan dakwah Salafiyah yang telah diangkat benderanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabatnya yang mulia serta orang-orang yang mengikutinya seperti Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Abdul Wahhab. Kami mendapatkan mereka (Ihya’ At-Turots, pen) memuji Ikhwanul Muslimin, basa-basi, berpolitik dan yang semisalnya. Maka hendaklah mereka bertaubat kepada Allah Ta’ala dari manhaj ini.” Selesai pertemuan ini pada hari Kamis, bertepatan dengan tanggal 8 dari bulan Muharram 1426 H dengan judul : Sikap pertengahan dalam Islam. Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarokatuh. FATWA ASY-SYAIKH UBAID AL-JABIRI –HAFIDHAHULLAH- فتوى الشيخ عبيد الجابري حفظه الله تعالى (( أولا يا بني, نحن لا نتحدث إلا ببينة يستوي عندنا في هذا إحياء التراث وغيرها .لقد صح عندي بنقل الثقات منهم الشيخ عبد المالك رمضاني أن هذا موجود عندهم.ولا يزال عند بعض المنتسبين إليهم مثل عبد الله السبت ومحمد بن حميد النجدي .نعم. فهم أخفوا هذا عنكم,وكل جماعة منحرفة لا تعطي المنتسبين إليهم أول الأمر كل ما عندهم حتى جماعة التبليغ لا يبايعون على السلسلة الرباعية الصوفية وهي الجشتية والقادرية والسهروردية والنقشبندية إلا بعد اختبار ,نعم)). Terjemahan Syaikh Ubaid al Jabiri : Jawaban beliau tatkala ditanya tentang pembai’atan yang terjadi di Jum’iyyah Ihya’ at-Turots: “Pertama, wahai anakku, kita tidaklah berbicara kecuali dengan bukti, menurut kami dalam hal ini Jum’iyyah Ihya’ At-Turots atau yang lainnya. Dan telah sampai berita shahih menurutku dengan penukilan orang yang tsiqah (terpercaya), diantara mereka Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani bahwa ini (bai’at) ada pada mereka. Dan masih saja ada pada sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada mereka seperti Abdullah As-Sabt dan Muhammad bin Humaid An-Najdi. (Ini adalah transkrip dari kaset fatwa beliau oleh penerjemah, rekaman ada pada kami – penerjemah). Iya, tetapi mereka menyembunyikan hal ini dari kalian. Dan setiap Jama’ah yang menyimpang pada awal kali tidak akan menyampaikan kepada orang-orang yang menisbahkan kepada mereka semua apa yang ada pada mereka. Bahkan Jama’ah Tabligh, mereka tidak membai’at berdasarkan empat serangkai Tarekat Shufiyah yaitu Al-Jusytiyah, Al-Qadiriyah, As-Sahrawardiyah,dan An-Naqsyabandiyah kecuali setelah melalui pengujian. Na’am (iya) …” السائل: أثابكم الله,هل تنصحون الشاب بالدخول مع جمعية إحياء التراث في حلقة تحفيظ القرآن وبعض دروسهم؟ نرجو النصيحة؟ الجواب: أقول,بالنسبة للجمعية,نحن تكلمنا فيها ,أعني جمعية إحياء التراث وبينا ما يسعنا بيانا في أشرطة,منها في السعودية ومنها في الكويت وأظن أن أبا محمد وأبا عثمان حضرا بعضها .وآخر ما تكلمت فيه عن هذه الجمعية شريط أو مقابلة سجلت معي من قبل بعض الكويتيين وكان ذلك الشريط في عام 1422 ,وكنت أنا ذاك مشتركا في دورة علمية بحفر الباطن,فالكويتييون زاروا جيرانهم وأجروا مع ذلك الشريط وهو موجود,وأظنه في التسجيلات السلفية عندكم في الكويت. والذي أدين الله به أنه لا يجوز التعاون مع تلك الجمعية ولا غيرها من الجمعيات المنحرفة ولو اشتراك في سلكها ولا الدراسة في مدارس خاصة بها ولا حلقات خاصة بها ,ولا يجوز التعاون معها في أشرطتها الدعوية ,لأن هذه الحمعية ثبت عندنا أنها حرب على أهل السنة بالكويت .وكذلك تحتوي فيمن تحتوي من أعضائها المكفرين مثل ناظم المصباحي التي تنضح أشرطته بالتكفير إن لم يكن كلها فكثير منها ومن هون أمر هذه الجمعية ولطف حالها فإنهم ردوا عليه قوله بشهادة العدول من إخوانها وأبنائنا الكويتيين ومنهم مشيخة السلفية الذين يعرفون حالها ونحن نقبل قولهم وقول أبنائهم وإخوانهم به ما يجري في الكويت وهم أعلم ومنهم أبو محمد الشيخ فلاح بن إسماعيل وأبو عثمان الشيخ محمد بن عثمان العمري وغيرهم من مشيخة السلفية في الكويت ,نعم. Terjemahan Berkata penanya: “Semoga Allah Ta’ala memberimu pahala. Apakah engkau menasehatkan seorang pemuda untuk masuk bergabung bersama Yayasan Ihya’ At-Turots dalam halaqah Tahfidzul Qur’an dan sebagian pelajaran mereka? Kami mengharapkan nasehat … Jawaban Syaikh Ubaid al Jabiri : “Aku katakan, tentang organisasi ini. Kami telah berbicara tentangnya.Yang saya maksudkan adalah organisasi Ihya’ At-Turots dan telah kami jelaskan semampu kami dengan penjelasan dalam beberapa kaset, diantaranya di Saudi dan juga di Kuwait. Dan dugaannku bahwa Abu Muhammad dan Abu Utsman hadir pada sebagian (majelis).Yang terakhir, aku berbicara tentang Yayasan ini dalam satu kaset atau pertemuan yang direkam bersamaku oleh beberapa orang Kuwait. Dan kaset itu (terekam) pada tahun 1422 H. Dan aku pada waktu itu ikut dalam Daurah ilmiyyah di Hafrul Batin. Maka orang-orang dari Kuwait mengunjungi tetangga mereka lalu mereka –bersamaan dengan itu- kaset itu ada, saya mengira ada di Tasjilat Salafiyah di tempat kalian, Kuwait. Yang aku jadikan sebagai keyakinanku yang aku beragama pada Allah Ta’ala dengannya, bahwa tidak boleh bekerja sama dengan organisasi ini dan juga dengan organisasi yang lainnya dari organisasi-organisasi yang menyimpang, walaupun hanya ikut pada kegiatannya saja. Juga tidak boleh belajar di sekolah-sekolah khusus mereka dan tidak pula pada halaqah-halaqah mereka serta tidak boleh kerjasama dengannya dalam kaset-kaset dakwah mereka, sebab yayasan ini telah jelas pada kami bahwa mereka memerangi Ahlus Sunnah di Kuwait. Demikian pula tercakup diantara orang yang bergabung bersama mereka dari para anggotanya orang-orang takfiri [2] seperti Nadzim Al-Misbahi yang kaset-kasetnya dipenuhi dengan takfir, kalau bukan semuanya, maka mayoritasnya. Dan siapa yang meremehkan keadaan organisasi ini dan menggampangkan keadaannya, maka sesungguhnya bantahan atasnya dengan persaksian orang-orang yang adil dari ikhwan kita, dan dari anak-anak kita di Kuwait. Diantara mereka, para syaikh Salafiyah yang mengenal keadaannya dan kita menerima ucapan mereka dan ucapan anak-anak dan ikhwan mereka tentangnya terhadap apa yang terjadi di Kuwait. Dan mereka lebih mengetahui.Diantara mereka Abu Muhammad Syaikh Falah bin Ismail dan Abu Utsman Syaikh Muhammad bin Utsman Al-Umri dan yang lainnya dari para Syaikh Salafi di Kuwait. Na’am…” (Ini adalah transkrip dari kaset fatwa beliau oleh penerjemah, rekaman ada pada kami – penerjemah) FATWA ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN HADI AL-MADKHALI Hafidhahullah- فتوى الشيخ محمد بن هادي المدخلي خفظه الله تعالى السائل:يوجد لجمعية إحياء التراث جهود في مجال الدعوة ؟ الجواب: هل تعرفون هذه الجمعية وهل هي قائمة على النهج السلفي؟لا والله ما هي قائمة على المنهج السلفي,والله على المنهج الإخواني قائمة, وأصحابها متلونون .والذي نعرفه منهم لا يجوز لنا أن ندعه لحال من زكاهم ممن تجملوا له وهو لا يعرفه,فإن الله سبحانه وتعالى لم يكلفنا إلا بما علمنا .وهذه الجمعية حزبية والبيعة عندهم يسمونها العهد.أو يسمونها طاعة المسؤول .وانظروا إليهم في مواقفهم .فأينما شرقوا أو غربوا في العالم الإسلامي وغير الإسلامي لا تجدهم إلا يفرقون الدعوات السلفية.ما يجمعون,وإنما يأتون إلى التجمعات السلفية فيفرقونها ,وذلك بسبب المال الذي معهم.فنسأل الله العافية والسلامة .ولقد تكلمت في هذا في كثير من الأشرطة ولي في هذا كلام في شريطين في الكويت عندهم. الشاهد عبد الرحمن عبد الخالق ليس بخاف علينا ولا بخاف عليكم جميعا وهو شيخهم إلى هذه الساعة وإن حاولوا التنقل منه.فنسأل الله العافية والسلامة والكلام فيه يطول ولكن أكتفي بهذا )) Terjemahan Penanya berkata: “Apakah didapati pada Jum’iyyah Ihya’ At-Turots andil dalam bidang dakwah ?” Jawaban Syaikh Dr. Muhammad Ibn Hadi al Madkhali : “Apakah Kalian tahu Jum’iyyah ini? Apakah dibangun di atas manhaj Salafi ? Demi Allah dia (Ihya’ut Turots-pen) tidak dibangun diatas manhaj Salafi. Demi Allah dibangun di atas manhaj Ikhwani, para anggotanya adalah orang-orang yang mutalawwin/bermuka dua [3]. Adapun yang kami ketahui tentang mereka, tidak boleh bagi kita mendiamkan karena adanya orang yang memberi rekomendasi kepada mereka, dari orang-orang yang mereka (orang-orang Ihya’ turats-pent) berbasa-basi di hadapannya sementara mereka (yang memberi rekomendasi) tidak mengetahuinya. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak membebani kita kecuali dengan apa yang kita ketahui. Sementara organisasi ini adalah Hizbiyyah. Mereka mempunyai bai’at yang mereka namakan perjanjian atau mereka namakan “Ta’at kepada penanggung jawab (pengurus, pen).” Maka, perhatikanlah mereka dalam berbagai sikapnya! Kemanapun mereka pergi, ke Barat atau ke Timur, di negara Islam atau selain negara Islam, kalian tidak mendapati mereka melainkan mereka memecah-belah dakwah Salafiyah. Mereka (Ihya’ At-Turots) tidaklah mempersatukan, namun mereka mendatangi perkumpulan Salafiyah lalu memecah-belah diantara mereka. Dan itu disebabkan karena harta yang ada pada mereka. Kita memohon kepada Allah Ta’ala ‘afiyat dan keselamatan. Aku telah membicarakan ini di banyak kaset, dan aku juga telah berbicara dalam dua kaset di Kuwait, di (negeri) mereka. Intinya, Abdurrahman Abdul Khaliq tidak tersamarkan bagi kita dan tidak tersamarkan pula oleh kalian semuanya bahwa dia adalah Syaikh mereka (Ihya’ at Turats) sampai saat ini, walaupun mereka berusaha berpindah darinya. Kita memohon kepada Allah Ta’ala afiyat dan keselamatan. Pembicaraan seputar masalah ini panjang, namun aku mencukupkan hingga di sini. (Ini adalah transkrip dari kaset fatwa beliau oleh penerjemah, rekaman ada pada kami – penerjemah) FATWA SYAIKHUNA MUQBIL BIN HADI –RAHIMAHULLAH- (1) فتوى الشيخ مقبل رحمه الله تعالى ((جمعية إحياء التراث علمها هو جمع الأموال ثم بعد ذلك تجميع الناس معهم وإلى دعوة ديمقراطية .ليس الخلاف بيننا وبينهم من أجل المال, وليس الخلاف بيننا وبينهم من أجل المراكز وليس الخلاف بيننا وبينهم من أجل المرتفعات العسكرية وغيرها.الخلاف بيننا وبينهم أنهم يدعون إلى الديمقراطية وهكذا أيضا الإخوان المفلسون يدعون إلى الديمقراطية ويريدون أن يصوروا للناس من أنها إسلامية, والله المستعان)). Terjemahan Syaikh Muqbil ibn Hadi rahimahullah : “Jum’iyyah Ihya’ At-Turots ilmunya adalah mengumpalkan harta, kemudian mengumpulkan manusia agar bersama mereka dan mengajak kepada Demokrasi. Bukanlah perselisihan antara kita dan mereka (Ihya’ At-Turots) disebabkan karena harta. Dan bukanlah perselisihan antara kita dan mereka (Ihya’ At-Turots) disebabkan karena markaz (pondok pesantren) dan bukan perselisihan antara kami dan mereka dalam masalah tingkatan ketentaraan. Perselisihan antara kita dan mereka (Ihya’ at-Turots) adalah karena mereka menyeru kepada Demokrasi. Demikian pula, Al-Ikhwan Al-Muflisun menyeru kepada Demokrasi. Mereka hendak menggambarkan kepada manusia bahwa itu adalah cara Islami. Wallahul musta’an”. FATWA SYAIKHUNA MUQBIL BIN HADI –RAHIMAHULLAH- (2) فتوى الشيخ مقبل رحمه الله تعالى: السائل: كما سمعتم فقد اتصلت جمعية إحياء التراث ببعض المشايخ مثل الشيخ ابن باز وعبد المحسن العباد وابن عثيمين وعبد الرحمن جبرين واستطاعت إلى الأخذ بتزكية شفوية من الشيخ ابن باز حفظه الله ,حيث ذكر أنها جمعية طيبة فتعاونوا معهم فإن أخطؤوا فبينوا أخطاءهم ,انتهى كلامه بالمعنى ولما سمعوا ما أرادوا خرجوا ….(كلمة غير مفهومة) كشبهة بعض إخواننا هناك أنهم يقولون :إذا كانت هذه الجمعية صاحبة شر وضلال فكيف يزكيها هؤلاء المشايخ .فيا شيخ ماردكم على هذا؟ الجواب: الحمد لله صلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ,اشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ,أما بعد: فعلماءنا الأفاضل حفظهم الله تعالى يأتي صاحب الجمعية إليهم ويقول : يا شيخ نحن نهتم ببناء المساجد وبفتح مدارس تحفيظ القرآن وبكفالة اليتامى وبحفر الآبار وغير ذلك من الأفعال الحميدة الصالحة فالشيخ ………(كلمة غير واضحة) ما رأيك في هذه الجمعية تهتم ببناء المساجد وتحفيظ القرآن وكفالة اليتامى وكفالة الدعاة إلى الله وحفر الآبار ,من الذي يقول هذا ما يجوز كل واحد يقول –يا أخي- هذا عمل صالح كله لكن المشايخ حفظهم الله تعالى لا يعرفون ما بعد هذا . والواقع أن الأموال التي تأتيهم أصحاب الجمعية لتحارب بها أهل السنة في السودان وفي اليمن نعم وفي أرض الحرمين ونجد وفي أندونيسيا وفي كثير من البلاد الإسلامية . (مفرغ من الشريط بصوته رحمه الله وهو عندي) Terjemahan Berkata penanya: “Sebagaimana yang engkau dengar, sungguh Jum’iyyah Ihya’ At-Turots telah menghubungi sebagian syaikh seperti Syaikh Bin Baaz, Abdul Muhsin Al-Abbad, Ibnu Utsaimin dan Abdurrahman Jibrin. Dan mereka berhasil mendapatkan tazkiyah secara lisan dari Syaikh Bin Baaz Hafidzahullah, dimana beliau menyebutkan bahwa “… ini adalah Jum’iyyah yang bagus, maka bekerjasamalah dengan mereka. Jika mereka bersalah maka jelaskan kesalahan mereka….,” demikian ucapannya secara makna. Tatkala mereka mendengar apa yang mereka inginkan, lantas mereka keluar ….(kalimat tidak dipahami) seperti syubhat sebagian saudara kita di sana bahwa mereka mengatakan : “…jika Jum’iyyah ini memiliki kejelekan dan kesesatan, lalu bagaimana mungkin direkomendasi oleh para Syaikh ini…”. Maka wahai Syaikh, apa bantahan anda terhadap hal ini? Jawaban Syaikh Muqbil ibn Hadi rahimahullah : “Segala puji milik Allah Ta’ala . Semoga Allah Ta’ala memberi shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam, keluarganya dan para shahabatnya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala semata, tidak ada sekutu baginya.Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Siapa yang diberi hidayah oleh Allah Ta’ala maka tidak ada yang mampu menyesatkannya dan siapa yang disesatkan oleh Allah Ta’ala, maka tidak ada yang mampu memberi hidayah kepadanya. Amma Ba’du: Ulama kita yang mulia –semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga mereka- , lantas anggota Jum’iyyah datang kepada mereka dan berkata: “…wahai Syaikh, kami memperhatikan masalah pembangunan masjid-masjid, membuka madrasah tahfidz Al-Qur’an, menanggung anak-anak yatim, menggali sumur-sumur dan yang lainnya – dari berbagai perbuatan yang terpuji dan saleh -.” “Maka syaikh …..(kalimat tidak jelas), apa pendapatmu tentang jum’iyyah ini, yang memperhatikan pembangunan masjid, tahfidz al-Qur’an, menanggung anak-anak yatim, menanggung para da’i di jalan Allah Ta’ala, menggali sumur-sumur…”. Siapa yang mengatakan ini tidak boleh ? Setiap orang mengatakan –ya akhi- ini adalah amalan saleh semuanya ! Namun, para syaikh tersebut –semoga Allah Ta’ala menjaga mereka- tidak mengetahui apa yang terjadi setelah ini. Kenyataannya bahwa harta yang sampai ke mereka dari para pengurus Jum’iyyah digunakan untuk memerangi Ahlus Sunnah di Sudan, di Yaman, di bumi Haramain (Mekkah dan Madinah, pen), Nejed dan di Indonesia dan di banyak negara Islam. (Ini adalah transkrip dari kaset fatwa beliau oleh penerjemah, rekaman ada pada kami – penerjemah) KESIMPULAN Kesimpulan dari apa yang difatwakan oleh para Masyaikh –Hafidzahumullah- tersebut adalah bahwa Ihya’ At-Turots adalah yayasan Hizbiyyah, dengan beberapa alasan: 1. Mereka adalah para pembela manhaj Quthbi Takfiri 2. Abdurrohman Abdul Khaliq tetap menjadi Syaikhnya Ihya’ At-Turots dan tetap mulia di hati mereka, walaupun membela kebatilan, membela Hasan At-Turabi, Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, Al-Maududi dan yang lainnya dari para penyeru kesesatan. 3. Menyeru kepada Demokrasi 4. Mereka memiliki bai’at yang namanya diubah dengan istilah “’ahd (perjanjian), atau menaati pengurus yang bertanggung jawab”. 5. Diantara pengurusnya terdiri dari para takfiriyyun, seperti Nadzim al-Misbahi dan yang lainnya. 6. Bersikap loyal kepada Takfiriyyun dan kepada Al-Ikhwanul Muslimin. 7. Menyebabkan perpecahan di kalangan Ahlus Sunnah di berbagai Negara. 8. Memiliki manhaj Sirriy yang tidak diketahui kecuali hanya orang-orang tertentu. 9. Ikut serta dalam berpolitik dan masuk parlemen. Dengan demikian, jelas tidak diperbolehkan bekerjasama dengan mereka sebab akan mendatangkan kemudharatan dan menyebabkan terjadinya perpecahan. Adapun fatwa para masyayikh yang memberi rekomendasi mereka, hal ini disebabkan karena mereka menyampaikan kepada para masyayikh tersebut perkara-perkara yang sifatnya baik, adapun kebatilan yang ada pada mereka jelas mereka sembunyikan dari para Syaikh Hafidzahumullah tersebut.Wallahul musta’an. (bersambung) Footnote : 1. (kalimat yang ada tidak fahami,pen) 2. Mudah mengkafirkan orang lain, warisan Sayyid Quthb dan yang semisalnya dari kalangan Khawarij. 3. Yaitu tidak kokoh di atas manhaj yang satu, yaitu manhaj Salaf, namun bermanhaj sesuai kondisi. (Ditulis oleh al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi. Fatwa dikutip dari rekaman di Sahab.Net. File rekaman ada pada redaksi dan ustadz) (Bersambung ke artikel Jum’iyyah Ihya At-Turots, masalah ijtihadiyyah? (Bagian 2)

Jum’iyyah Ihya At-Turots, masalah ijtihadiyyah? (Ihya At-Turots Bag. 2)

Jum’iyyah Ihya At-Turots, masalah ijtihadiyyah? (Ihya At-Turots Bag. 2) www.darussalaf.or.id Jum’iyyah Ihya At-Turots, masalah ijtihadiyyah? Pada edisi yang lalu telah kita nukilkan sebagian fatwa para ulama yang menyatakan bahwa Ihya At-Turots adalah organisasi yang dibangun diatas manhaj Ikhwani,yang didalamnya diterapkan cara-cara hizbiyyah. Diantaranya mengikat anggotanya dengan cara bai’at, ikut serta dalam politik praktis, berparlemen, menyebarkan pemikiran Quthbiyyah dan Abdurrahman Abdul Khaliq. Sehingga, menyebabkan terjadinya perpecahan di berbagai negeri karena campur tangan organisasi ini yang mengatasnamakan dakwahnya dengan dakwah Salafiyyah, termasuk perpecahan yang telah terjadi di Indonesia juga tidak terlepas dari campur tangan mereka. Pada saat kaum muslimin berusaha mengenal dakwah Salafiyyah secara murni dan konsekuen dan senantiasa berpijak di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dengan pemahaman yang benar dari Salafus Saleh dengan bimbingan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka mereka pun dikejutkan dengan sepak terjang organisasi Ihya At-turots Al-Kuwaiti tersebut di bumi Indonesia. Dengan mengandalkan dananya, ia pun menyalurkannya kepada beberapa organisasi/yayasan atau pondok pesantren untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti, membangun masjid, menanggung anak-anak yatim, menggaji para du’at (guru) dan yang semisalnya. Nah, kalau permasalahannya hanya berhenti sampai di sini, maka hal itu tidak dipersoalkan oleh para Ulama yang memberi peringatan dari bahayanya organisasi ini. Namun persoalannya ternyata tidak hanya sampai disitu, penyaluran dana tersebut diikuti dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang mereka adakan justru menjadi faktor terbesar semakin terpecahnya Ahlus Sunnah di negeri ini. Mulai dengan cara melakukan hubungan erat dan saling ta’awun dengan organisasi Al-Irsyad cabang Tengaran,yang pada saat itu dipimpin oleh Yusuf Utsman Baisa,yang akhirnya dijadikan sebagai salah satu tempat dilakukannya beberapa kegiatan Ihya At-Turots. Kegiatan Al Irsyad tersebut, mulai dari mendatangkan Abdurrohman Abdul Khaliq yang sempat menyampaikan ceramahnya di hadapan sebagian para du’at. Lalu disusul dengan pengadaan berbagai kegiatan dauroh,dengan diundangnya para du’at ihya At-Turots yang berasal dari berbagai macam elemen dan beraneka ragam fikroh (pemikiran) dan dilanjutkan dengan diadakannya pengkaderan khusus dengan istilah “mulazamah” selama setahun, dibawah bimbingan langsung dari da’i Ihya At-Turots yang dikirim khusus untuk mengajar di Ponpes Al-Irsyad,Tengaran,dia bernama Syarif Fu’ad Hazza’[1]. Apa yang kami sebutkan ini adalah hanyalah sebagian kecil dari berbagai kejadian yang dilakoni oleh Ihya At-Turots dalam memecah belah Ahlus Sunnah. Namun pada edisi kali ini, kami tidak ingin membahas tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh Ihya At-Turots tersebut secara detail, sebab itu akan kami rinci pada edisi-edisi yang akan datang –insya Allah Ta’ala-. Adapun pembahasan kami untuk edisi ini, yakni dengan adanya sebagian mereka yang selalu menganggap sepele terhadap permasalahan ini. Jika ada yang berbicara tentang bahayanya Ihya At-Turots dan memperingatkan kaum muslimin dari kesesatan mereka, maka serta-merta ada yang membantah dan mengatakan, “…ya akhi, ini kan masalah khilafiyyah dan dalam masalah khilaf, kita tidak boleh ada pengingkaran.”Atau ucapan,”…kan ada juga ulama yang merekomendasi mereka sebagai Ahlus Sunnah.” Atau kata-kata seperti, ”…tidak boleh mentahdzir dalam masalah ijtihadiyyah,” “…yang mentahdzir kan bukan ulama Kibar…”. Ada juga yang menyatakan , “ulama yang mentahdzir kan hanya beberapa ulama saja, adapun yang merekomendasi lebih banyak jumlahnya, bahkan ulama tersebut adalah guru-guru mereka yang mentahdzir” dan yang semisalnya yang hendak mementahkan kembali permasalahan ini dan menganggap – tidak masalah – jika seseorang ingin bekerjasama dengan mereka, karena mereka pun menyebarkan dakwah Ahlus Sunnah. Maka, marilah kita mengikuti kajian-kajian berikut ini, sebagai jawaban dari berbagai syubhat seputar Jum’iyyah Ihya At-Turots. Menyikapi masalah khilaf Diantara perkara yang wajib diketahui dalam hal ini adalah menyikapi setiap permasalahan sesuai porsinya, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kurang dari kadar semestinya. Demikian pula dalam hal menyikapi adanya perselisihan yang terjadi di kalangan para Ulama. Ada perkara-perkara yang bisa ditolerir yang memerlukan sikap lapang dada dalam menghadapi adanya khilaf tersebut, ada pula yang membutuhkan sikap tegas bahkan sampai kepada tingkat memperingatkan umat dari bahayanya pendapat yang keliru tersebut. Nah, barangsiapa yang berpendapat bahwa masalah khilafiyyah ijtihadiyyah tidak boleh ada pengingkaran atau tahdzir padanya maka sungguh dia telah melakukan suatu kesalahan yang fatal.Seperti apa yang disebutkan oleh al akh Firanda : “……..atau diterapkan pada perkara-perkara yang sebenarnya tidak boleh ada pengingkaran apalagi sampai tahapan tahdzir dan hajr seperti perkara-perkara yang merupakan masalah ijtihadiyyah”[2] . (Kaidah-Kaidah Penerapan Hajr (Boikot) terhadap Ahli Bid’ah Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (Menyikapi Sejumlah Kesalahan Penerapan Hajr di Indonesia, penulis Al Akh Firanda Ibnu ‘Abidin Abu ‘Abdil Muhsin as-Soronji, hal 8, tanpa penerbit [3] ). Sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang penyair : ليس كل خلاف جاء معتبرا إلا خلاف له حظ من النظر “Tidak semua khilaf yang datang itu bisa dianggap Kecuali jika khilaf tersebut memiliki sisi pandang” Bila kita telah memahami masalah ini, maka disaat kita mendapati adanya permasalahan yang diperselisihkan di kalangan para Ulama, maka sikap pertama bagi seorang muslim adalah menimbang masalah tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dengan pemahaman Salafus Soleh. Sebagaimana firman-Nya: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴿٥۹﴾ [النساء: ٥۹] [59] Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [QS An Nisaa: 59] Dan firman-Nya: وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا ﴿۳٦﴾ [الأحزاب: ۳٦] [36] Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [QS Al Ahzaab: 36] Dan firman-Nya: فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ﴿٦٥﴾ [النساء: ٦٥] [65] Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [QS An Nisaa: 65] Dan nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam perkara ini masih sangat banyak. Maka jika muncul satu pendapat dari seorang alim atau yang lainnya yang menyelisihi nash yang shorih (jelas), maka bukanlah hal yang tercela apabila pendapat tersebut diingkari dan diperingatkan umat (tahdzir), agar mereka menjauhi pendapat itu. Bahkan hal itu termasuk dalam nasehat yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dalam sabdanya: (( الدين النصيحة)) “Agama itu adalah nasehat” (HR.Muslim dari Abu Ruqoyyah Tamim bin Aus Ad-Dari Radiyallahu ‘anhu ). Oleh karenanya masih saja para Ulama mengeluarkan bantahan-bantahannya dan memperingatkan umat dari bahayanya mengambil suatu pendapat, yang telah jelas menyelisihi apa yang telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam. Disini akan kami nukilkan beberapa contoh tentang apa yang kami sebutkan: 1) Nikah mut’ah, yang telah jelas haramnya berdasarkan dalil-dalil yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bahwa beliau mengharamkannya. Saya kira tentang keharamannya bukanlah perkara yang samar bagi kita sekalian, sehingga tidak perlu kita menyebutkan dalil-dalilnya, namun itu bukan tujuan kita bahas disini. Namun yang perlu diketahui bahwa di kalangan para ulama bahkan shahabat ada yang menghalalkannya, sebagaimana yang telah tsabit dari Abdullah bin Abbas , diantara yang masyhur berpendapat demikian adalah Ibnu Juraij Abdul Malik bin Abdil Aziz rahimahullah Ta’ala. Lalu jika ada orang di zaman kita ada yang mau melakukan nikah mut’ah, apakah kita tidak mengingkarinya? Apakah kita tidak mentahdzirnya? Dengan alasan bahwa ini masalah khilafiyyah ijtihadiyyah – menurut bahasanya Al-Akh Firanda- ? Tentunya orang yang sedikit pengetahuannya tentang kaidah-kaidah dalam manhaj Salaf pun bisa menjawab hal ini. 2) Nikah dengan cara tahlil, yaitu menikahi seorang wanita yang telah bercerai dengan suami pertamanya,yang dimaksudkan -dengan menikahinya – diapun mencerainya, sehingga dia bisa kembali kepada suami pertamanya. Atau telah terjadi kesepakatan diantara mereka bahwa jika ia menikahinya dan telah menyetubuhinya, maka dia harus mencerainya agar dapat kembali ke suaminya yang pertama. Adapun jumhur para Ulama mengharamkan pernikahan model ini. Berkata Umar : “Tidaklah ada orang yang didatangkan kepadaku melakukan nikah tahlil melainkan akan aku rajam keduanya”. Namun diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia membolehkannya. Lalu jika ada orang yang melakukannya pada hari ini, apakah anda tidak memberi peringatan (tahdzir) dari pendapat tersebut – dengan alasan – masalah ini termasuk ijtihadiyyah khilafiyyah ? Jawablah dengan jawaban seorang Salafi yang ikhlas dalam mengikuti manhaj Salaf ! Silahkan lihat ucapan Syaikhul Islam tentang pembahasan nikah tahlil dalam Majmu’ Fatawa : 20/266-dst Jilid 32/93 dan hal:96-97 serta di tempat yang lainnya. 3) Jama’ah Tabligh, jama’ah Shufiyyah, dimana para Ulama telah mentahdzirnya dan memberi peringatan darinya. Hal ini adalah perkara yang sudah ma’ruf di kalangan kita sekalian. Akan tetapi ternyata masih ada juga yang memberi pujian pada mereka, seperti Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, bahkan mengarang sebuah kitab sebagai bentuk pujian terhadap mereka yang akhirnya kitab tersebut dijadikan tameng oleh Jama’ah Tabligh. Maka silahkan ditanyakan kepada Al-Akh Firanda –hadanallahu wa iyyah- : “Apakah anda tidak mengingkari Jama’ah Tabligh dan mentahdzir darinya?” Atau anda masih menganggap bahwa ini masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang tidak boleh ada pengingkaran dan tahdzir padanya ? Kalau anda memberi jawaban pertama, maka anda telah merobohkan kaedah yang anda gunakan sendiri. Dan kalau anda memilih jawaban yang kedua, maka anda perlu untuk mengintrospeksi kembali terhadap manhaj anda. 4) Masalah demonstrasi. Baru-baru ini ketika Syaikh Ali Hasan hafidzahullah berkunjung ke Makasar, dalam salah satu pertemuan beliau ditanya tentang hukum berdemonstrasi. Beliaupun menjawab bahwa ini termasuk perkara yang diperselisihkan oleh para Ulama, walaupun yang rajih menurut beliau adalah terlarang. Saya sendiri belum mengetahui siapa di kalangan para Ulama Ahlus Sunnah yang membolehkan demonstrasi, namun kalaulah apa yang disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan tersebut benar, apakah jika ada yang membolehkan demonstrasi bahkan melakukannya, apakah tidak diperbolehkan mentahdzir darinya dengan alasan bahwa ini termasuk masalah khilafiyyah ijtihadiyyah? Kita tunggu jawaban dari Al-Akh Firanda. 5) Masalah haramnya musik. Kita tentunya telah mengetahui berdasarkan banyak dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan tentang diharamkannya musik. Dan ini adalah pendapat jumhur dari kalangan para Ulama. Namun di kalangan para Ulama masih ada juga yang menghalalkan, seperti Ibnu Hazm rahimahullah Ta’ala. Jika demikian keadaannya, lalu tanyakanlah kepada al-akh Firanda: “Apakah anda tidak mentahdzir dari musik karena termasuk masalah ijtihadiyyah khilafiyyah?”. 6) Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Salman dan Safar Hawali. Dimana para Ulama telah menjelaskan dan mentahdzir dari kesesatannya, seperti Al-Allamah Al-Albani, Asy Syaikh Ibn Baaz dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah Ta’ala. Bahkan telah dinyatakan bahwa mereka ini tergolong diantara kaum Neo Khawarij. Namun bukankah Al-Akh Firanda juga mengetahui bahwa masih ada juga yang membela mereka, seperti Syaikh Abdurrahman Jibrin, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dan mungkin masih ada yang lainnya yang ana tidak ketahui. Lalu silahkan tanyakan kepada Al-Akh Firanda: “Apakah anda termasuk yang membela mereka atau yang mentahdzir ? Atau mungkin anda memiliki jawaban rinci ?” Mungkin itu yang kita tunggu. Saya kira beberapa contoh ini sudah cukup mewakili yang lainnya, sebab masih banyak lagi contoh yang disebutkan oleh para Ulama, diantaranya Syaikhul Islam dalam Majmu’ al-Fatawa dan Ibnu Qoyyim dalam kitabnya yang sangat bermanfaat, “A’laam al-Muwaqqi’in”. Bila hal ini telah kita pahami, maka sesungguhnya para Ulama masih saja memperingatkan dari bahayanya suatu pendapat yang menyelisihi dalil, walaupun di kalangan para Ulama ada yang berpendapat dengannya. Sebab tidak seorang pun dari kalangan para ulama melainkan Ia memiliki zallah (ketergelinciran/kekeliruan). Berkata Al-Auza’i rahimahullah Ta’ala: (نجتنب أو نترك من قول أهل العراق خمسا ومن قول أهل الحجاز خمسا من قول أهل العراق شرب المسكر والأكل في الفجر في رمضان ولا جمعة إلا في سبعة أمصار وتأخير صلاة العصر حتى يكون ظل كل شيء أربعة أمثاله والفرار يوم الزحف ومن قول أهل الحجاز استماع الملاهي والجمع بين الصلاتين من غير عذر والمتعة بالنساء والدرهم بالدرهمين والدينار بالدينارين يدا بيد وإتيان السناء في أدبارهن) “Kita menjauhi atau meninggalkan lima pendapat ulama Irak dan lima pendapat ulama Hijaz, “Diantara pendapat ulama Irak adalah bolehnya minum yang memabukkan, makan di waktu fajar telah masuk di bulan Ramadhan, tidak ada sholat Jum’at kecuali pada tujuh negeri, bolehnya mengakhirkan sholat Ashar hingga bayangan sesuatu empat kali lipatnya, bolehnya melarikan diri dari medan pertempuran.” Dan ucapan penduduk Hijaz yaitu: “Bolehnya mendengarkan musik, menjamak antara dua sholat tanpa udzur, menikahi wanita dengan nikah mut’ah, bolehnya menukar satu dirham dengan dua dirham dan satu dinar ditukar dengan dua dinar secara kontan dan bolehnya menggauli wanita lewat duburnya”.” (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifat Uluum al-Hadits:65 dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam Sunannya: 10/211). Beliau rahimahullah juga mengatakan: من أخذ بنوادر العلماء خرج من الإسلام “Barangsiapa yang mengambil pendapat ganjil para ulama, maka dia keluar dari Islam” (diriwayatkan Al-Baihaqi:10/211) Juga berkata Ismail bin Ishaq Al-Qadhi: من أباح المسكر لم يبح المتعة ومن أباح المتعة لم يبح الغناء والمسكر وما من عالم إلا وله زلة ومن جمع زلل العلماء ثم أخذ بها ذهب دينه “(Ulama) yang membolehkan minum yang memabukkan, dia tidak membolehkan nikah mut’ah. Dan Ulama yang membolehkan nikah mut’ah, tidak membolehkan nyanyian dan yang memabukkan. Tidak seorang alim pun melainkan dia memiliki ketergelinciran (kekeliruan, pen). Dan barangsiapa yang mengumpulkan ketergelinciran para Ulama, maka akan hilang agamanya.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi:10/211). Berkata pula Yahya bin Sa’id Al-Qoththon rahimahullah Ta’ala: لو أن رجلا عمل بكل رخصة : بقول أهل الكوفة في النبيذ وأهل المدينة في السماع وأهل مكة في المتعة لكان فاسقا “Kalaulah sekiranya seseorang mengamalkan setiap rukhshah (yang ringan ) : “Pendapat ahli Kufah tentang nabidz [4] , dan pendapat penduduk Madinah tentang musik, pendapat penduduk Makkah tentang (nikah) Mut’ah, maka dia menjadi orang fasik.” (Aunul Ma’bud:13/187) Berkata Sulaiman At-Taimi: لو أخذت برخصة كل عالم أو زلة كل عالم اجتمع فيك الشر كله “Jika engkau mengambil rukhshah setiap alim atau kekeliruan setiap alim, maka telah berkumpul padamu setiap kejelekan” (Musnad Ibnu Ja’ad:1319, Hilyah Al-Auliya’:3/323, Tadzkirotul Huffadz:1/151) Ibnu Hazm rahimahullah tatkala menyebutkan tentang sedikitnya jumlah ijma’ yang tsabit, lalu beliau berkata: ولو أن امرأ لا يأخذ إلا بما اجتمعت عليه الأمة فقط ويترك كل ما اختلفوا فيه مما قد جاءت فيه النصوص لكان فاسقا بإجماع الأمة “…Kalau sekiranya seseorang tidak mengambil kecuali apa yang disepakati umat ini, lalu meninggalkan setiap apa yang diperselisihkan padanya dari sesuatu yang telah datang padanya nash, maka dia menjadi seorang yang fasik”. (Al-Ihkam,Ibnu Hazm:2/208). Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala tatkala beliau menjelaskan tentang batilnya perbuatan hilah [5] : “Perkataan mereka, ‘Bahwa permasalahan khilaf tidak ada pengingkaran atasnya’, tidaklah benar, sebab sikap pengingkaran ada kalanya diarahkan kepada sebuah ucapan, fatwa atau amalan. Adapun yang pertama, maka apabila ucapan tersebut menyelisihi Sunnah atau ijma’ yang masyhur, maka wajib mengingkarinya berdasarkan kesepakatan. Jika tidak demikian (maksudnya tidak ada kesepakatan-pen) maka menjelaskan kelemahannya dan penyelisihannya terhadap dalil, maka tetap ada pengingkaran yang semisalnya. Adapun suatu amalan, maka apabila menyelisihi Sunnah atau ijma’, maka wajib mengingkarinya berdasarkan tingkatan-tingkatan dalam mengingkari. Lalu bagaimana mungkin seorang faqih menyatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran terhadap berbagai masalah yang diperselisihkan, sementara para fuqoha’ dari seluruh golongan telah menyatakan dengan jelas bahwa akan dibatalkannya keputusan hukum seorang hakim, jika menyelisihi al-Kitab atau as-Sunnah walaupun telah disetujui oleh sebagian ulama. Adapun bila dalam permasalahan tersebut tidak ada Sunnah, atau ijma’, dan ijtihad diperbolehkan padanya. Maka tidak diingkari orang yang melakukannya karena berijtihad atau bertaqlid. Dan sesungguhnya munculnya pengkaburan ini disebabkan karena orang yang mengatakannya meyakini bahwa permasalahn khilaf itu adalah masalah ijtihad, sebagaimana yang disangka oleh beberapa orang dari kalangan manusia yang tidak memiliki sifat tahqiq (pengecekan secara benar) dalam berilmu. Yang benar adalah apa yang diyakini oleh para imam bahwa permasalahan ijtihad selama tidak ada dalil yang wajib diamalkan secara dzahir, seperti hadits yang shohih yang tidak ada yang menyelisihinya, maka diperbolehkan padanya –jika tidak ada dalil yang zhahir yang wajib diamalkan- berijtihad, sebab adanya dalil-dalil yang terlihat saling bertentangan serta karena terkaburkannya dalil-dalil didalamnya. Dan pada ucapan seorang alim, “Sesungguhnya masalah ini qoth’i atau yaqini dan tidak diperbolehkan padanya ijtihad, bukanlah merupakan cercaan terhadap yang menyelisihinya ,tidak pula dinisbahkan kepadanya bahwa dia sengaja menyelisihi kebenaran. Sementara permasalahan yang diperselisihkan padanya oleh Ulama Salaf maupun khalaf, dalam keadaan kita telah meyakini kebenaran salah satu dari dua pendapat tersebut, banyak…” Lalu beliau menyebutkan sekian banyak contoh dalam hal ini, setelah itu beliau mengatakan, “Yang jelas, tidak ada udzur di sisi Allah Azza wa Jalla pada hari Kiamat bagi siapa yang telah sampai kepadanya apa yang terdapat dalam suatu permasalahan,baik masalah ini atau yang lainnya, berupa hadits-hadits dan atsar yang tidak ada yang menyelisihinya, jika dia melemparnya di belakang punggungnya, lalu dia taqlid pada orang yang dilarang untuk taqlid kepadanya dan yang telah mengatakan kepadanya, “Tidak halal bagimu untuk mengikuti ucapanku jika menyelisihi Sunnah. Maka jika telah shohih suatu hadits, maka jangan engkau pedulikan ucapanku”. Kendatipun dia tidak mengatakan itu kepadamu, maka sesungguhnya itu adalah suatu hal yang wajib yang tidak ada pilihan lain bagimu. Bahkan kalaupun dia mengatakan kepadamu selain itu, maka tidak ada leluasa bagimu kecuali mengikuti hujjah. Kalau saja dalam masalah ini tidak terdapat hadits dan atsar sama sekali, maka sesungguhnya seorang mukmin mengetahui secara pasti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam tidak pernah mengajari para shahabatnya cara hilah seperti ini dan tidak pula membimbing kepadanya, ‘kalaulah sekiranya sampai kepadanya berita bahwa ada seseorang melakukannya niscaya akan diingkarinya’. Dan tidak pernah seorang pun dari para shahabat yang memfatwakannya dan tidak pula mengajarkannya. Sebab yang demikian termasuk perkara yang dipastikan oleh setiap orang yang sedikit menelaah tentang keadaan mereka, sejarah kehidupan mereka dan fatwa-fatwanya. Hal ini tidaklah membutuhkan dalil lebih dari sekedar mengetahui hakekat agama yang Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya dengannya.” (A’laam al-Muwaqqi’in,Ibnul Qoyyim:3/300-301) Mendudukkan Rekomendasi Para Ulama Jika kita memperhatikan secara seksama apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan fatwa dalam menyikapi Ihya At-Turots, keadaannya bukanlah seperti masalah khilafiyyah yang didalamnya terjadi saling tarik menarik dalil atau masing-masing mengetahui dalil yang ada, hanya berbeda dalam hal pemahaman. Seperti halnya masalah sedekap disaat posisi I’tidal (dalam sholat, red), dimana masing-masing dari para Ulama tersebut mengetahui dalil yang datang dalam masalah ini, namun terjadi perbedaan dalam hal memahaminya. Atau seperti masalah duduk akhir dalam sholat, apakah dengan cara tawarruk ataukah iftirosy, masing-masingnya berhujjah dengan satu hadits yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Humaid As-Sa’idi. Atau seperti masalah menggerakkan jari ketika tasyahhud, yang berbeda dalam menyikapi keabsahan adanya tambahan “wayuharrikuha” dalam riwayat Zaidah bin Qudamah, atau permasalahan yang semisal apa yang kami sebutkan. Namun perselisihan fatwa yang terjadi dalam menyikapi Ihya At-Turots tidaklah seperti tersebut diatas, namun disebabkan karena adanya tambahan ilmu yang diketahui oleh Ulama yang mentahdzir mereka, yang tidak diketahui oleh para Ulama yang merekomendasi mereka. Cobalah kita perhatikan rekomendasi para Ulama tersebut, apakah mereka memberi rekomendasi karena dalam Ihya At-Turots ada bai’at? Atau karena mereka ikut serta dalam politik praktis? Atau mereka ketahui bahwa diantara mereka ada yang memiliki fikroh At-takfir? Jawabannya adalah: “Tidak!”. Bahkan merupakan perkara yang ma’ruf tentang sikap para Ulama terhadap berbagai macam penyimpangan tersebut yang dapat menjerumuskan kaum muslimin kepada berbagai praktek hizbiyyah. Maka semestinya sikap yang ditempuh oleh seorang “Salafi” adalah memandang secara jernih letak perbedaan fatwa yang terjadi. Sebab para Ulama rahimahumullah tersebut berfatwa sebatas apa yang telah sampai kepada mereka. Oleh karenanya Aisyah radhiallahu ‘anha mengingkari orang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah kencing berdiri,karena itulah ilmu yang sampai kepadanya. Dan telah diketahui oleh shahabat yang lain, diantaranya Hudzaifah Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah kencing dalam keadaan berdiri. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang menghalalkan nikah mut’ah,sebab tidak sampai kepada beliau kabar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bahwa nikah mut’ah tersebut hukumnya haram secara mutlak. Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala yang mentsiqohkan Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami, sebab – tidak sampai kepada beliau ilmunya – bahwa dia seorang perawi yang ditinggalkan haditsnya. Berkata Imam Ahmad : “Dia seorang Qodari, Mu’tazili dan Jahmi, semua musibah ada padanya”. Berkata Bisyr bin Mufadhdhal : “Aku bertanya kepada Ulama penduduk Madinah tentangnya, semuanya mengatakan : kadzdzab (pendusta besar) atau yang semisalnya”. Akankah kita katakan (sesuai kaedah Firanda) bahwa masalah Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami adalah permasalahan ijtihadiyah sehingga dia tidak boleh dijarh?! Atau menurut kaedah al akh Firanda, ia justru akan menjarh Imam Ahmad Rahimahullah Ta’ala yang notabene beliau adalah murid dari Imam Syafi’i Rahimahullah Ta’ala? Dan masih banyak lagi permisalan dalam permasalahan seperti ini. Sehingga dalam menyikapi permasalahan ini, semestinya menerapkan kaedah yang sudah ma’ruf: “Yang mengetahui adalah hujjah atas bagi yang tidak mengetahui”,”yang menetapkan lebih didahulukan ucapannya dari yang menafikan”. Wallahul muwaffiq. (bersambung, insya Allah…………) Footnote : 1. Dan dahulu penulis termasuk orang yang turut serta mengikuti berbagai kegiatan Ihya At-Turots yang diadakan di Tengaran dan di tempat yang lainnya, termasuk pada saat diadakannya kegiatan mulazamah setahun bersama Syarif Hazza’, bahkan termasuk diantara murid Syarif Hazza’ yang paling dekat dengannya. Hanya saja penulis tidak sempat menghadiri ceramah Abdurrohman Abdul Khaliq disebabkan karena penulis menyangka bahwa dia akan datang pada hari yang telah direncanakan, ternyata pertemuan yang tersebut diundur. Waktu itu penulis datang bersama Al-Ustadz Al-fadhil Ibnu Yunus hafidzahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni kesalahan-kesalahan kita. 2. Dalam ucapan ini ada dua permasalahan yang perlu pembahasan: masalah mengingkari dan tahdzir dari permasalahan khilafiyah dan yang kedua adalah masalah hajr. Untuk edisi ini kita hanya membahas bagian pertama. 3. Buku ini saya dapatkan foto kopinya dari Al-Akh Al-Ustadz Ibnu Yunus hafidzahullah. Dan saya tidak memiliki bukunya yang sudah dicetak. 4. Sejenis tape dari korma atau anggur atau yang lainnya yang disimpan pada sebuah tempat lalu dibiarkan dalam waktu beberapa lama yang dapat menyebabkan ia menjadi sesuatu yang memabukkan. 5. Hilah adalah jenis khusus dari suatu amalan yang mana pelakunya berpindah dari satu keadaan menuju kepada keadaan lainnya. Biasanya dilakukan untuk mengaburkan sesuatu yang terlarang baik secara syari’at, akal ataukah kebiasaan.(A’laam Al-Muwaqqi’in,Ibnul Qoyyim: 3/252). Dengan kata lain hilah adalah mengamalkan muamalah dengan cara yang terlarang dengan cara yang samar, yang tidak ada yang mengetahui keharamannya kecuali orang memperhatikannya secara seksama. (Ditulis oleh al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi) (Bersambung ke artikel Kesalahan Mujtahid vs Pengekor Hawa Nafsu Ifrath Haddadiyyah vs Tafrith Sururiyyah (Bagian 3))

SURURIYYAH, KHAWARIJ MASA KINI

SURURIYYAH, KHAWARIJ MASA KINI www.darussalaf.or.id Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhadits Muhammad Nashiruddin Al-Albani pada malam 7 Dzulhijjah 1418 H di kaset dengan judul Sururiyyah Khawarij Masa Kini (As-Sururiyyah Kharijiyah ‘Ashriyyah) beliau ditanya tentang Kitab Al-Irja : “Ya Syaikh kami, (bagaimana dengan) Kitab Al-Irja fil Fikri (kitab ini karya Safar AI-Hawali) . Maka Asy-Syaikh Al-Albani bekata: “Aku berpendapat…” Dikatakan kepada beliau: “…. tolong (kami beri) penjelasan, wahai Syaikh, khususnya yang ada di jilid kedua …” Kata Asy-Syaikh Al-Albani: “Aku punya satu pendapat, yang berasal dariku pada satu hari sejak sekitar lebih dari 30 tahun, ketika aku di Al-Jami’ah AI-Islamiyah Madinah. Dalam suatu majlis yang penuh sesak, aku ditanya apa pendapatku tentang Jamaah At-Tabligh. Maka aku berkata waktu itu, “Sufiyah masa kini.” Maka sekarang terbetik di benakku untuk mengatakan tentang jama’ah yang keluar di masa ini dan menyelisihi Salaf, aku mengatakan di sini sebagai jawaban bersamaan dengan ucapan Al-Hafidz Adz-Dzahabi: “Mereka banyak menyelisihi Salaf dalam masalah manhaj mereka”. Nampak padaku untuk menyebut mereka “Khawarij Masa Kini”. Hal ini menyerupai al-khuruj (memberontak) sebagaimana yang kami baca dari ucapan mereka, karena mereka -dalam kenyataannya- ucapan mereka mengarah seperti arah Khawarij dalam mengkafirkan pelaku dosa besar. Akan tetapi mereka seperti itu, -mungkin ini yang tidak aku ketahui-, aku katakan, bahwa ini karena kelalaian mereka atau tipudaya mereka!! –Ini juga aku katakan sebagai pelaksanaan firman Allah: “Dan Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah: 8) Aku tidak tahu … Mereka tidak menyatakan dengan jelas bahwa setiap dosa besar itu menjadikan seseorang kafir. Akan tetapi mereka mendengung-dengungkan di sekitar sebagian dosa besar dan mereka diam dari dosa-dosa besar yang lain! Oleh karena itu aku tidak berpendapat untuk memutlakan penyebutan itu, dan kami mengatakan tentang mereka sesungguhnya mereka Khawarij, kecuali dari sebagian sisi. Dan ini termasuk keadilan yang kita diperintahkan dengan hal itu….” Asy-Syaikh Rabi’ memberi keterangan perkataan Syaikh Al-Albani dengan mengatakan, “Seharusnya pembaca dan pendengar mengambil perhatian terhadap perkataan Syaikh Al-Albani tentang kelompok ini bahwa mereka menyelisihi Salaf dalam banyak permasalalahan manhaj mereka. Banyaknya manhaj-manhaj yang menyelisihi Salaf ini menunjukkan atas penyimpangan yang besar. Kadang-kadang manhaj ini lebih bahaya dan keras dari penyelisihan Khawarij yang dikatakan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bahwa mereka adalah makhluk dan ciptaan terjelek dan bahwa mereka itu adalah anjing-anjing neraka dan bahwa mereka keluar dari agama seperti keluamya anak panah dari sasaran panah, dan bahwa mereka membunuh orang-orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Apa yang dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani adalah benar. Maka sungguh mereka telah menyelisihi Salaf dalam pokok-pokok yang banyak dan berbahaya, diantaranya: 1. Mereka memerangi Ahlus Sunnah dan membuat lari dari Ahlus Sunnah, kitab-kitab mereka, dan kaset-kaset Ahlus Sunnah. Mereka membenci Ahlus Sunnah, memusuhi Ahlus Sunnah dan sangat mendendam kepada Ahlus Sunnah. 2. Banyak muwalah mereka terhadap ahlul bid’ah, mengakui manhaj ahlul bid’ah yang rusak, dan mengakui kitab-kitab ahlul bid’ah yang penuh dengan kesesatan meyebarkannya, membelanya dan mendorong para pemuda untuk meneguk/minum darinya. Dan perkara-perkara yang mempunyai pengaruh yang buruk atas pemuda umat ini berupa pengkafiran, perusakan, peperangan yang terus menerus, tertumpahnya darah dan _terlanggarnya kehormatan. 3. Mereka telah didorong oleh hawa nafsu mereka untuk melemparkan diri mereka dan pengikut mereka ke dalam jurang pemahaman irja yang ekstrim yang menyeret kepada peremehan ancaman bid’ah besar, dengan di dalamnya ada bid’ah kekufuran dan perkara-perkara yang melemahkan indra Salafi dan melemahkan kecem¬buruan atas agama Allah dan pembawa-pembawa agama seperti shahabat yang mulia dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik bahkan meremehkan celaan terhadap sebagian para nabi. 4. Hawa nafsu mereka telah mendorong mereka untuk membuat manhaj-manhaj yang rusak untuk membela bid’ah dan ahli bid’ah seperti manhaj muwazanah (menimbang) antara kebaikan-kebaikan dan kejeleka-kejelekan, dan kaidah-kaidah rusak yang menyangga manhaj muwazanah yang membawa kepada penentangan perkara yang dinyatakan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shalallahu’alaihi Wassallam dan membawa kepada penghancuran Sunnah dan ihnu-ilmunya, khususnya ilmu jarh wa ta’dil yang perpustakaan-perpustakaan penuh dengannya dalam hubungannya dengan kejelekan-kejelekan dan kesesatan-kesesatan yang lain. Kami memohon kepada Allah untuk menyelamatkan para pemuda dari kejelekan kelompok ini, dari bencana-bencana mereka dan dari akibat-akibatnya yang berbahaya di dunia dan akhirat. Akhimya, seharusnya mereka siap sebagai murjiah masa kini sebelum mengecap mereka sebagai Khawarij masa kini. Dikutip dari buku terjemahan : “Apa Yang Terjadi di Afghanistan dan Chechnya”, Penerbit Media Ahlus Sunnah Cetakan Pertama. Judul Asli : As-Sururiyyah Kharijiyah ‘Ashriyyah

Kesalahan Mujtahid vs Pengekor Hawa Nafsu – Ifrath Haddadiyyah vs Tafrith Sururiyyah (Ihya At-Turots bag. ke 3)

Kesalahan Mujtahid vs Pengekor Hawa Nafsu – Ifrath Haddadiyyah vs Tafrith Sururiyyah (Ihya At-Turots bag. ke 3) www.darussalaf.or.id Kesalahan Mujtahid vs Pengekor Hawa Nafsu Ifrath Haddadiyyah vs Tafrith Sururiyyah Diantara perkara yang telah disepakati umat ini, bahwa tidak seorang pun di kalangan para ulama yang terpelihara dari kesalahan (ma’shum). Namun seorang mujtahid – apabila dia telah berusaha mengeluarkan fatwa untuk mencocoki al-haq dan berjalan di atas rel Al-Qur’an dan As-Sunnah – lalu ternyata setelah itu terjatuh dalam kesalahan dan kekeliruan. Maka sikap seorang muslim terhadap kesalahan tersebut agar tidak bersikap ifrath (berlebih-lebihan) hingga sampai merendahkan kedudukan seorang alim tersebut, apalagi menghajrnya (mengucilkannya, red). Seyogyanya pula seorang muslim tidak bersikap tafrith (meremehkan, red), menerima setiap apa yang keluar dari pendapatnya [mujtahid tersebut], tanpa peduli salah atau tidak, tanpa memperhatikan dalil yang dibawakannya. Walau demikian selayaknya kita]tetap mengakui adanya kekeliruan, tanpa harus mencerca dan merendahkan kedudukannya sebagai seorang ‘Alim. Sebab seorang mujtahid, tetap akan diganjar pahala oleh Allah Azza wa Jalla dengan ijtihadnya, baik ijtihad tersebut benar atau pun salah. Inilah yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash dan juga datang dari hadits Abu Hurairah radhiallahuanhuma bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ Artinya : “Jika seorang hakim ingin menetapkan hukum, lalu dia berijtihad, [apabila] benar maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia memberi hukum lalu berijtihad namun salah, maka dia mendapat satu pahala.” (Muttafaq ‘alaihi) Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah Ta’ala berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau) mengisyaratkan bahwa tidaklah mesti – disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijtihad lalu keliru – maka dia mendapat dosa dengan (kesalahan) tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka ia mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila dia menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat dosa.” (Fathul Bari: 13/331). Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala berkata: “Dan mereka berkata : “Pendapat inilah yang ma’ruf dari para Shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan para Imam agama, bahwa mereka tidak mengkafirkan, juga tidak menyatakan fasiq, tidak pula menganggap berdosa seseorang dari kalangan mujtahid yang keliru, baik dalam permasalahan amalan maupun keyakinan”. (Minhajus Sunnah:5/87). Berbeda halnya dengan seorang yang mengikuti sesuatu dengan hawa nafsu – bukan seorang mujtahid -, akan tetapi membangun amalannya di atas sikap fanatik terhadap sesuatu, apakah fanatik terhadap seseorang, atau madzhab tertentu atau kelompok tertentu. Ataukah seseorang yang ingin mencari mana fatwa yang lebih ringan (tidak keras) atau yang semisalnya, maka amalan yang semacam inilah yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya.Allah Azza wa Jalla berfirman: وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ ﴿١٧۰﴾ [البقرة: ١٧۰] Artinya : [170] “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [QS Al Baqoroh: 170] Dan firman-Nya: وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ ﴿١٤٥﴾ [البقرة: ١٤٥] Artinya : “Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” [QS Al Baqoroh: 145] Dan firman-Nya: فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ Artinya : “…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. [QS Al Maaidah: 48] Dan firman-Nya: وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ ﴿٤۹﴾ [المائدة: ٤۹] Artinya : [49] dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [QS Al Maaidah: 49] Dan firman-Nya: قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ ﴿٧٧﴾ [المائدة: ٧٧] Artinya : [77] Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” [QS Al Maaidah: 77] Dan ayat yang menjelaskan tentang hal ini masih sangat banyak. Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala: (المتبعون من الناس على قسمين: قسم عالم مسعد لنفسه ومسعد لغيره, وهو الذي عرف الحق بالدليل لا بالتقليد ,ودعا الناس إلى معرفة الحق بالدليل, لا بأن يقلدوه,وقسم مهلك لنفسه ومهلك لغيره,وهو الذي قلد آباءه وأجداده فيما يعتقدون ويستحسنون,وترك النظر بعقله ودعا الناس لتقليده,والأعمى لا يصح أن يقود العميان ,وإذا كان تقليد الرجال مذموما,غير مرضي في الاعتقادات,فتقليد الكتب أولى وأحرى بالذم, وإن بهيمة تقاد,أفضل من مقلد ينقاد,وإن أقوال العلماء والمتدينين متضادة متخالفة في الأكثر, واختيار واحد منها واتباعه بلا دليل باطل,لأنه ترجيح بلا مرجح فيكون معارضا بمثله ) “Orang yang mengikuti sesuatu dari kalangan manusia ada dua bagian. Bagian pertama: seorang yang alim yang membahagiakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Beliau adalah yang mengenal kebenaran dengan dalil bukan dengan taqlid dan mengajak manusia untuk mengenal kebenaran dengan dalilnya, bukan untuk taqlid kepadanya. Bagian kedua: orang yang membinasakan dirinya sendiri dan membinasakan orang lain, dia adalah orang yang taqlid kepada orang tuanya, kakeknya, terhadap apa yang mereka yakini dan yang mereka anggap baik dan meninggalkan untuk menimbang sesuatu dengan akalnya. [Dia] mengajak manusia untuk taqlid kepadanya, orang buta tidak dapat menuntun orang yang buta pula. Maka apabila taqlid terhadap para tokoh tercela, bukan perkara yang dibolehkan dalam perkara aqidah, maka taqlid terhadap kitab-kitab pun -lebih pantas dan lebih utama – tercelanya. Sesungguhnya hewan yang digiring lebih baik daripada seorang muqallid (yakni orang yg mengekor, red) yang ikut (tanpa dalil). Sesungguhnya ucapan para ulama dan orang shalih bertentangan dan berselisih dalam banyak perkara. Maka memilih dan mengikuti (pendapat) salah satu darinya dengan tanpa dalil adalah batil, sebab itu adalah menguatkan sesuatu tanpa ada (alasan) yang menguatkan dan ini bertentangan.” (Qowa’id at-Tahdits, Al-Qasimi: 360). Dari apa yang telah kita jelaskan ini, maka kita mengetahui bahwa terjadi perbedaan hukum antara seorang mujtahid dengan seorang pengekor hawa nafsu, yang mengikuti ucapan seseorang tanpa hujjah. Seorang mujtahid bila keliru, tidak menyebabkan dia tercela, apalagi untuk dihajr dan dihukumi mubtadi’. Berbeda akan halnya seorang muqollid – yang mengikuti hawa nafsunya – dalam keadaan dia memiliki kemampuan untuk melihat permasalahan secara jernih, namun disebabkan karena hawa [nafsunya] yang lebih mendominasi, maka orang yang demikian ini sudah sepantasnya mendapat celaan. Apabila kita telah memahami hal ini,maka ketahuilah bahwa apa yang disebutkan oleh Al-Akh Abdullah bin Taslim dalam makalahnya, ketika menjelaskan tentang perselisihan ulama dalam hal berhubungan dengan yayasan ihya At-Turots: “Kalau seandainya masalah ini menyebabkan seseorang dicela,maka mestinya para ulama yang membolehkan mengambil bantuan tersebut yang harus lebih dahulu dicela.Karena orang-orang yang mengambil bantuan tersebut menyandarkan hal ini kepada fatwa para ulama tersebut!”, demikian ucapan beliau. (Jawaban dari pertanyaan Abah Umair, Konsultasi Ustadz: Memahami Kaidah Al Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap Kita di Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah (UPDATE) – artikel ID 338, alinea ke 7, baris ke 13). Semestinya Al-Akh Abdullah bin Taslim –semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan kepada kita semua- mengetahui bahwa seorang alim, yang keliru dalam berijtihad tidak dapat disamakan dengan seorang yang mengikuti hawa nafsunya, lalu lebih memilih cara taqlid buta, tanpa peduli apa yang akan menjadi akibat dari perbuatannya tersebut. Seorang yang nikah mut’ah karena mengikuti hawa nafsunya, harus dicela walaupun dengan alasan dia mengikuti pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, sebab telah sampai kepadanya hujjah dan hadits yang melarang hal tersebut. Dan ini tidak menyebabkan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma lebih berhak untuk dicela hanya karena beliaulah yang menfatwakannya. Seorang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah harus dicela dan ditahdzir saat telah sampai kepadanya ilmu tentang hal tersebut. Walaupun dia beralasan mengikuti perbuatan Aisyah radhiallahu anha, Tholhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam radhiallahu anhuma dalam peristiwa perang Jamal. Atau beralasan mengikuti pendapat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahuma dalam peristiwa Shiffin. Dan ini tidak menyebabkan mereka (para shahabat radhiallahu anhum) harus dicela dan ditahdzir, disebabkan karena kesalahan mereka tersebut dibangun di atas ijtihad. Dan masih banyak lagi perkara yang lain yang dapat diqiyaskan kepada apa yang telah kita sebutkan ini. Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah Ta’ala: (واعلم أن عموم أصحاب المذاهب يعظم في قلوبهم التفحص عن أدلة إمامهم,فيتبعون قوله,فينبغي النظر إلى القول لا إلى القائل كما قال علي رضي الله عنه للحارث بن عبد الله الأعور ,وقد قال له:أتظن أن طلحة والزبير كانا على الباطل؟ فقال له: يا حارث! إنه ملبوس عليك,إن الحق لا يعرف بالرجال ,اعرف الحق تعرف أهله) “Ketahuilah bahwa keumuman para pengikut madzhab, sangat besar keinginan dalam diri mereka untuk mau memeriksa dalil-dalil Imam mereka, lalu mereka pun mengikuti pendapat Imamnya. Maka seseorang sepantasnya untuk melihat kepada ucapannya, bukan kepada orang yang mengucapkannya. Sebagaimana yang diucapkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu kepada Harits bin Abdullah Al-A’war, ketika Ia (Harits) berkata kepadanya: “Apakah engkau menyangka bahwa Thalhah dan Zubair berada di atas kebatilan ?”. Beliau menjawab: ”Wahai Harits, sesungguhnya tersamarkan olehmu (perkara ini). Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenal dengan para tokoh, (namun) kenalilah kebenaran, niscaya engkau mengetahui pemiliknya.” (Qawa’id At-Tahdits: 357). Demikian pula tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan perbedaan antara kaum bughat (pemberontak) dengan kaum Khawarij, bahwa tidak setiap orang yang bughat disebut sebagai kaum Khawarij. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu membedakan antara kesalahan yang dilakukan oleh Aisyah radhiyallahu anha bersama para shahabat yang lainnya – tatkala mereka menentang Ali radhiyallahu anhu karena menuntut darah Utsman radhiallahu anhu dari para pembunuhnya – dengan kaum Khawarij yang melakukan sikap penentangan dan pemberontakan terhadapnya. Silahkan lihat jawaban rinci dalam Majmu’ Fatawa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: jilid:35,hal:54-57. Sikap Ahlussunnah dalam menyikapi kesalahan seorang alim, antara sikap berlebihan ‘kaum Haddadiyyah’ dan sikap meremehkan ‘kaum Sururiyyah’ Kaum Haddadiyyah yang getol menyerang para ulama serta menyikapi kesalahan mereka, seperti penyimpangan yang dilakukan oleh para pengekor hawa nafsu. Haddadiyyah, nisbah kepada seorang asal Mesir yang bernama Mahmud Al-Haddad Al-Mishri, yang dahulu pernah tinggal di Madinah. Awal munculnya gerakan ini dimulai dengan mengkritik Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam Nawawi dalam majelis-majelisnya, lantas dia mengajak manusia untuk menghukuminya [kedua Imam tersebut] sebagai seorang mubtadi’. Lalu kemudian berlanjut hingga mencela siapapun dari kalangan para ulama yang dianggapnya memiliki kesalahan –menurut persangkaannya- seperti Syekh Bin Baaz rahimahullah, Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah, Syaikh Al-Luhaidan hafidhahullah, Syaikh Al-Albani rahimahullah dan yang lainnya. Bagi siapa yang ingin mengetahui, Syekh Rabi’ hafidzahullah telah menyebutkan dalam tulisan beliau “Manhaj Al-Haddadiyyah” 12 poin dari pemikiran Al-Haddadiyyah, yang ringkasannya sebagai berikut: 1. Kebenciannya terhadap para ulama Salafi di zaman sekarang, menisbahkan/mencap kesesatan pada mereka dan merendahkan kedudukan mereka. 2. Menuduh mubtadi’ [ahli bid’ah’] terhadap setiap orang yang jatuh ke dalam bid’ah. 3. Menuduh mubtadi’ terhadap orang yang tidak mau mentabdi’ [mencap mubtadi] orang yang terjatuh ke dalam bid’ah. 4. Mengharamkan untuk mendo’akan rahmat kepada ahli bid’ah. 5. Mentabdi’ orang yang mendo’akan rahmat kepada ulama seperti Abu Hanifah, Asy-Syaukani. 6. Permusuhan yang sengit terhadap salafiyyin,walaupun terhadap orang yang telah bersungguh-sungguh dalam memerangi hizbiyyah dan kesesatannya. 7. Bersikap berlebih-lebihan terhadap Mahmud Al-Haddad dan mengangkatnya sebagai seorang yang alim. 8. Menodai kehormatan ulama salafiyyin, baik yang di Madinah dan yang lainnya, serta menuduh mereka sebagai pendusta. 9. Mereka punya kebiasaan melaknat, meremehkan, menteror sampai pada tingkatan mengancam untuk memukul salafiyyin. 10. Mereka melaknat secara ta’yin,hingga diantara mereka ada yang melaknat Abu Hanifah, bahkan mengkafirkannya. 11. Bersifat sombong dan suka membangkang yang akhirnya menjurus kepada penolakan terhadap al-Haq 12. Mereka selalu menyandarkan ucapannya kepada Imam Ahmad, namun setelah dijelaskan sikap Imam Ahmad yang menyelisihi Al-Haddad, maka mereka pun menuduh dan mengingkari penisbatan tersebut kepada Imam Ahmad. Lalu Al-Haddad mengatakan: “… walaupun itu benar dari Imam Ahmad, maka kita tidak bertaqlid kepadanya.” (Lihat: Manhaj Al-Haddadiyyah,tulisan Syekh Robi’ bin Hadi Al-Madkhali) Sebaliknya, kebalikan dari Al-Haddadiyyah, mereka yang disebut sebagai Sururiyyah. Kelompok ini berciri khas bersikap bermudah-mudahan dalam memberi gelar kepada orang yang dianggap tokohnya, berusaha membelanya dan menyelamatkannya dari berbagai tuduhan. Seperti Sayyid Quthb, Yusuf Al-Qaradhawi dan yang semisalnya dari para penyeru kesesatan. Walaupun seakan-akan mereka menghargai para ulama dan fatwanya, namun dari sisi lain mereka melakukan sindiran terhadap beberapa masyaikh Ahlus Sunnah di zaman sekarang. Ada yang menuduh sebagian ulama dengan tuduhan tidak mengerti fiqhul waqi’, ada yang menuduh sebagian mereka memiliki pemikiran Murji’ah, ada lagi yang menuduh bahwa syekh Rabi hafidzahullah Ta’ala diusir dari Madinah, sehingga keadaan Kota Madinah sudah semakin kondusif dengan kepergian beliau, atau ucapan yang semisalnya berupa tuduhan dan fitnah yang dilontarkan kepada para ulama Ahlus Sunnah. Insya Allah -bila ada waktu – pada edisi mendatang akan kita jabarkan sedikit tentang hal ini. Adapun Ahlus Sunnah wal-jama’ah, maka mereka berada pada sikap pertengahan, mereka mengakui bahwa para ulama bukanlah orang yang ma’shum – setinggi apapun kedudukan dan ilmu yang mereka miliki-. Namun kewajiban bagi seorang muslim adalah, memuliakan mereka, tidak melecehkan, ataupun merendahkan kedudukan mereka, apalagi sampai mencelanya. Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala : “Wajib atas kaum muslimin –setelah bersikap loyal terhadap Allah Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam – untuk bersikap loyal terhadap kaum mukminin, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an, khususnya para Ulama – orang-orang yang telah menjadi pewaris para nabi – yang Allah Azza wa Jalla telah menjadikan mereka memiliki kedudukan seperti bintang-bintang, [bintang] yang dijadikan sebagai pembimbing dalam kegelapan didarat dan lautan.Sungguh telah sepakat kaum muslimin atas hidayah dan pengetahuan mereka. Tatkala setiap umat–sebelum diutusnya Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam-, meyakini maka ulama merekalah yang paling jahat. Berbeda dengan kaum muslimin, maka sesungguhnya Ulama mereka adalah orang-orang pilihan diantara mereka. Sebab mereka – pera ulama – adalah para pengganti Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam pada umatnya. Mereka berupaya menghidupkan apa yang telah mati dari Sunnahnya. Bersama merekalah al-Kitab ditegakkan dan dengan Al-Qur’anlah mereka tegak, bersama mereka al-Kitab dinyatakan dan dengan al-Kitab sajalah mereka menyatakan (sesuatu). Dan hendaklah diketahui bahwa tidak seorangpun dari kalangan para Imam –yang diterima di kalangan umat dengan penerimaan secara umum- yang sengaja menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam terhadap sesuatu dari sunnahnya, baik yang samar maupun yang jelas. Sesungguhnya mereka – para ulama – seluruhnya sepakat dengan kesepakatan yang meyakinkan atas wajibnya mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam . Dan setiap orang dari manusia bisa diambil dan bisa ditolak kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Akan tetapi jika didapati ucapan salah seorang dari mereka, dimana telah datang hadits yang shahih menyelisihinya, maka harus diberi udzur (sebab) dia meninggalkan (hadits tersebut). (Raf’ul Malaam ‘an al-Aimmatil A’laam, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah: 8-9) Dan beliau juga berkata: فأما الصديقون والشهداء والصالحون فليسوا بمعصومين، وهذا في الذنوب المحققة‏.‏ وأما ما اجتهدوا فيه، فتارة يصيبون، وتارة يخطئون‏.‏ فإذا اجتهدوا فأصابوا فلهم أجران، وإذا اجتهدوا وأخطؤوا فلهم أجر علي اجتهادهم، وخطؤهم مغفور لهم‏.‏ وأهل الضلال يجعلون الخطأ والإثم متلازمين؛ (مجموع الفتاوى:35\69) “Adapun para shiddiq, syuhada, orang-orang shalih, mereka bukan mashum (terpelihara dari kesalahan). Dan dalam hal dosa-dosa yang jelas. Adapun apa yang mereka berijtihad padanya, maka terkadang mereka benar dan terkadang pula mereka keliru. Maka jika mereka berijtihad lalu benar maka mereka mendapat dua pahala dan jika mereka berijtihad lalu keliru,maka mereka mendapat satu pahala atas ijtihadnya. Dan kesalahan mereka diampuni.Adapun orang yang sesat maka mereka menjadikan kesalahan dan dosa sebagai perkara yang menjadi keharusan antara keduanya [1]. “(Majmu’ al-Fatawa: 35/69). Beliau juga berkata: إن الرجل الجليل الذي له في الإسلام قدم صالح وآثار حسنة وهو من الإسلام وأهله بمكانة عليا قد تكون منه الهفوة والزلة هو فيها معذور بل مأجور لا يجوز أن يتبع فيها مع بقاء مكانته ومنزلته في قلوب المؤمنين( الفتاوى الكبرى:3\178) “Sesungguhnya orang yang mulia yang di dalam Islam memiliki peranan yang baik dan pengaruh yang baik dan dia – di mata Islam dan pemeluknya – memiliki kedudukan yang tinggi.Terkadang ia memiliki kesalahan dan kekeliruan. Maka padanya diberi udzur, bahkan mendapat pahala, dan tidak boleh diikuti dalam hal itu, dengan tetapnya kedudukan dan harga dirinya dalam hati kaum mukminin”. (al-Fatawa al-Kubra:3/178). Berkata Imam Dzahabi rahimahullah Ta’ala tatkala menjelaskan biografi Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Yahya Al-Utsmani yang terjatuh ke dalam pemikiran Asy’ariyyah [2]: ونحب السنة وأهلها ونحب العالم على ما فيه من الاتباع والصفات الحميدة ولا نحب ما ابتدع فيه بتأويل سائغ وإنما العبرة بكثرة المحاسن (السير: 20\45-46) “Dan kami cinta kepada Sunnah dan pemeluknya. Dan kami cinta kepada seorang alim atas apa yang dimilikinya dari sifat yang terpuji, namun kami tidak suka apa yang diperbuatnya dari perbuatan bid’ah dengan ta’wil yang ditolerir. Sesungguhnya yang dipandang adalah kebaikannya yang banyak.” (Siyar A’laam an-Nubalaa, biografi mufti Muhammad bin Ahmad bin Yahya: 20/45-46) Dan beliau juga berkata ketika menjelaskan tentang biografi Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullah Ta’ala [3]: ولو أنا كلما أخطأ إمام في اجتهاده في آحاد المسائل خطأ مغفورا له قمنا عليه وبدعناه وهجرناه لما سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن مندة ولا من هو أكبر منهما والله هو هادي الخلق إلى الحق وهو أرحم الراحمين فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة (السبر:14\40) “Kalau sekiranya kita, setiap Imam salah dalam ijtihadnya dalam beberapa perkara berupa kekeliruan yang diampuni, lalu kita menyikapinya, mentabdi’nya dan menghajrnya, maka tidak ada yang selamat bagi kita, tidak Ibnu Nashr, tidak pula Ibnu Mandah, dan tidak pula yang lebih besar dari keduanya. Dan Allah yang memberi hidayah kepada manusia kepada kebenaran, Dialah Dzat yang Maha Pengasih. Maka kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan kekerasan”. (Siyaru A’laam an-Nubalaa’, biografi Muhammad bin Nashr Al-Marwazi: 14/40) Dan beliau juga berkata ketika menjelaskan biografi Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah Ta’ala [4]: ولو أن كل من أخطأ في اجتهاده مع صحة إيمانه وتوخيه لاتباع الحق أهدرناه وبدعناه لقل من يسلم من الأئمة معنا رحم الله الجميع بمنه وكرمه (السير:14\376) “Dan kalau sekiranya setiap orang yang keliru dalam ijtihadnya, dengan keimanannya yang benar dan usahanya dalam mengikuti al-Haq, kita membuang (kebaikannya) dan mentabdi’nya, maka sedikit orang yang selamat dari para Imam. Semoga Allah merahmati semuanya dengan anugerah dan kemuliaannya.” (As-Siyar, biografi Ibnu Khuzaimah :14/376) Dan beliau juga berkata, tatkala menjelaskan biografi Qotadah bin Di’amah As-Sadusi rahimahullah Ta’ala [5]: “Semoga Allah memberi udzur kepada orang-orang yang semisalnya yang (amalannya) dicampuri dengan bid’ah, yang dia menginginkan untuk mengagungkan sang Pencipta, dan mensucikannya dan mengerahkan segala kemampuannya.Dan Allah adalah hakim yang Maha Adil, Pengasih terhadap para hamba-Nya. Dia tidak ditanya terhadap apa saja yang dilakukan-Nya. Seorang yang besar dari para Imam – apabila banyak kebenarannya dan diketahui usahanya dalam mencari kebenaran, luas ilmunya, nampak kepandaiannya, diketahui keshalihan, sikap wara’ (kehati-hatiannya, red) dan ittiba’nya – maka diampuni kekeliruannya. Dan kita tidak menyesatkannya, lalu kita membuangnya dan lupa akan kebaikan-kebaikannya. Iya, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya dan kita mengharapkan taubat dari hal tersebut.” (As-Siyar:5/271) Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala: من قواعد الشرع والحكمة ايضا ان من كثرت حسناته وعظمت وكان له في الاسلام تأثير ظاهر فإنه يحتمل له مالا يحتمل لغيره ويعفي عنه مالا يعفي عن غيره فإن المعصية خبث والماء إذا بلغ قلتين لم يحمل الخبث بخلاف الماء القليل فإنه لا يحمل ادنى خبث (مفتاح دار السعادة:1\218) “Diantara kaidah syariat dan hikmahnya pula, bahwa siapa yang banyak dan melimpah kebaikannya dan memiliki pengaruh yang nampak dalam Islam, maka sesungguhnya dia dia diberi udzur – dengan sesuatu yang tidak diberi udzur terhadap yang lainnya – dan dimaafkan baginya – sesuatu yang tidak dimaafkan – bagi yang lainnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu najis dan air apabila telah mencapai dua qullah, maka tidak terpengaruh dengan adanya najis tersebut, berbeda dengan dengan air yang sedikit, tidak mampu memikul sedikit pun najis (yang bercampur dengannya) [6].” (Miftahu Dar as-Sa’adah: 1/218). Demikian pula ketika Lajnah Daimah ditanya : “Apa pendirian kita dari para Ulama yang menta’wil sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, seperti Ibnu Hajar, An-Nawawi, Ibnul Jauzi dan selain mereka. Apakah kita menganggapnya dari para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau bagaimana? Apakah kita mengatakan bahwa mereka keliru dalam penakwilan, ataukah mereka orang-orang yang sesat ?” Maka Lajnah menjawab: (موقفنا من أبي بكر الباقلاني,والبيهقي وأبي الفرج ابن الجوزي,وأبي زكريا النووي وابن حجر وأمثالهم ممن تأول بعض صفات الله تعالى أو فوضوا في أصل معناها,أنهم في نظرنا من كبار علماء المسلمين الذين نفع الله الأمة بعلمهم,فرحمهم الله رحمة واسعة وجزاهم عنا خير الجزاء وأنهم من أهل السنة فيما وافقوا فيه الصحابة رضي الله عنهم وأئمة السلف في القرون الثلاثة التي شهد لها النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم بالخير, وأنهم أخطؤوا فيما تأولوه من نصوص الصفات , وخالفوا فيه سلف الأمة وأئمة السنة رحمهم الله, سواء أولوا الصفات الذاتية وصفات الأفعال أم بعض ذلك ) “Pendirian kami dari Abu Bakar Al Baqilani, Al-Baihaqi, Abul Faraj Ibnul Jauzi, Abu Zakaria An-Nawawi, Ibnu Hajar dan yang semisal mereka, dari orang-orang yang menta’wil sebagian sifat-sifat Allah Ta’ala ,atau yang mentafwidh7 pada asal maknanya, – mereka menurut pandangan kami – termasuk pembesar ulama kaum muslimin yang Allah memberi manfaat kepada umat dengan ilmu mereka. Semoga Allah merahmati mereka dengan rahmat yang luas dan semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan terhadap apa yang telah ia berikan kepada kita. Dan mereka termasuk dari Ahlus Sunnah terhadap apa yang apa yang mereka mencocoki para Shahabat radhiallahu anhum dan para Imam Salaf – pada tiga kurun yang telah disaksikan oleh Rasulullah dengan kebaikan-. Dan bahwa mereka bersalah terhadap apa yang mereka ta’wil dari nash-nash sifat dan menyelisihi pendahulu umat ini dan para Imam Sunnah rahimahumullah. Sama saja apakah mereka menta’wil sifat Dzatiyyah dan sifat Fi’liyyah atau sebagiannya.” (Lajnah Daimah no: 5082:3/178.Al-Adillah Asy-syar’iyyah, Abu Abdis Salaam Hasan bin Qasim:156-157) Lajnah juga ditanya : “Apakah kekufuran pada sifat-sifat Allah? Apakah ada perbedaan antara seorang alim dengan seorang pembangkang dan yang mentakwil dalam hal tersebut ?” Mereka menjawab: “Pertama: kekufuran dalam sifat-sifat Allah adalah: mengingkari apa yang telah diketahui sesuatu yang tsabit (benar) setelah disampaikan kepadanya (hujjah), atau mengingkarinya dengan cara merubahnya dari asalnya – tidak ada syubhat – yang dengannya orang itu diberi udzur. Kedua: barangsiapa yang menyelisihi kebenaran dalam hal itu dengan cara membangkang setelah adanya penjelasan dan penegakan hujjah, maka dia kafir dan tidak ada udzur. Dan barangsiapa yang menyelisihi hal tersebut dengan menta’wil karena adanya syubhat – yang seseorang diberi udzur dengannya-, maka dia keliru dan dia mendapat pahala atas ijtihadnya.” (Fatawa Lajnah Daimah,no: 9272:1/128. Al-Adillah Asy-Syar’iyyah:157) Demikian pula Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Ta’ala tentang dua Hafidz yakni Ibnu Hajar dan An-Nawawi rahimahumallah. Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya dua hafidz (An-Nawawi dan Ibnu Hajar), keduanya memiliki andil dari amalan yang shalih dan manfaat yang besar pada umat Islam, walaupun terjadi pada keduanya kesalahan dalam mentakwil sebagian nash-nash sifat. Sesungguhnya itu tertutupi dengan apa yang dimiliki keduanya dari berbagai keutamaan dan manfaat yang banyak. Dan kita tidak menyangka tentang (kesalahan) yang ada pada keduanya melainkan muncul dari sebab ijtihad, dan adanya sisi penta’wilan walaupun menurut pendapat keduanya. Dan aku berharap kepada Allah agar termasuk diantara kesalahan yang diampuni. Dan apa yang keduanya telah menyumbangkan kebaikan dan manfaat dari amalannya yang disyukuri. Pada keduanya (Al Hafid Ibnu Hajar dan Imam Nawawi] diterapkan firman Allah : إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ “Sesungguhnya kebaikan menghapuskan kesalahan” (QS. Hud:114) Pandangan kami bahwa keduanya termasuk dari Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Dan yang menjadi saksi atas hal tersebut, usaha keduanya dalam mendukung sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Serta semangatnya untuk menjernihkan apa yang dinisbahkan kepada Sunnah dari berbagai kotoran, dan menetapkan secara teliti apa yang telah ditunjukkan atasnya dari hukum-hukum. Namun keduanya menyelisihi ayat-ayat sifat dan haditsnya, atau sebagiannya dari metode Ahlus Sunnah, berdasarkan ijtihad yang keduanya telah keliru padanya. Maka kita berharap agar Allah memberi ampunan padanya.” (Kitab Al-Ilmu, kumpulan Nashir bin Fahd:212-23) Berkata pula Syekh Al-Fauzan hafidzahullah Ta’ala: من كان عنده أخطاء اجتهادية تأوَّل فيها غيره كابن حجر والنووي، وما قد يقع منهما من تأويل بعض الصفات لا يحكم عليه بأنه مبتدع، ولكن يُقال‏:‏ هذا الذي حصل منهما خطأ ويرجى لهما المغفرة بما قدماه من خدمة عظيمة لسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، فهما إمامان جليلان موثوقان عند أهل العلم‏. “Siapa yang memiliki kesalahan dalam ijtihad, yang dia menta’wil padanya, seperti Ibnu Hajar, An-Nawawi dan apa yang kadang terjadi pada keduanya – dalam hal menta’wil sebagian sifat – maka tidak dihukumi dia sebagai ahli bid’ah. Namun dikatakan: yang terjadi pada keduanya adalah kesalahan yang diharapkan ampunan bagi keduanya, berdasarkan apa yang telah disumbangkannya berupa dukungan yang besar terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Maka keduanya adalah Imam yang mulia, yang dipercaya di kalangan ahli ilmu.” (Al-Muntaqa: 2/181). Sungguh benar ucapan seorang penyair: وإذا الحبيب أتى بذنب واحد جاءت محاسنه بألف شفيع Jika seorang tercinta melakukan satu dosa kebaikannya datang dengan seribu syafa’at Apabila kita telah memahami hal ini –semoga Allah senantiasa memberi rahmat dan anugerahnya kepada kita sekalian-, maka seorang muslim wajib untuk menghormati ulamanya, mengenal kedudukan yang mulia yang Allah berikan kepada mereka. [Akan tetapi] bukan berarti mengharuskan seseorang untuk meninggalkan nasehat bagi kaum muslimin, tatkala terlihat adanya penyimpangan, kesalahan harus [diluruskan], agar kaum muslimin tetap berjalan di atas agamanya yang lurus, dengan petunjuk dan bimbingan Allah Azza wa Jalla, rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para ulama Salafus Saleh. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala: لكن دين الإسلام إنما يتم بأمرين أحدهما معرفة فضل الأئمة وحقوقهم ومقاديرهم وترك كل ما يجر إلى ثلمهم والثاني النصيحة لله سبحانه ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم وإبانة ما أنزل الله سبحانه من البينات والهدى ولا منافاة –إن شاء الله – بين القسمين لمن شرح الله صدره وإنما يضيق عن ذلك أحد رجلين رجل جاهل بمقاديرهم ومعاذيرهم أو رجل جاهل بالشريعة وأصول الأحكام “Agama Islam dapat sempurna dengan dua perkara: Pertama: mengenal keutamaan para imam, hak-hak mereka, kedudukan mereka dan meninggalkan sesuatu yang mengantarkan celaan terhadap mereka. Kedua: nasehat bagi Allah Azza wa Jalla, kitab-Nya, rasul-Nya, para Imam kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin. Dan menjelaskan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla berupa penjelasan dan hidayah. Dan tidak ada pertentangan –insya Allah- antara dua poin tersebut bagi orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah Azza wa Jalla. Hanya saja yang merasa sempit dadanya salah satu dari dua orang: seorang yang jahil tentang kedudukan dan udzur yang diberikan kepada mereka dan seorang yang jahil tentang syari’at dan prinsip-prinsip dalam hukum (Islam).” (al-Fatawa al-Kubra: 3/177-178). Ada sebagian kaum muslimin yang tidak mengerti tentang hakikat dakwah Ahlus Sunnah, lalu melontarkan berbagai tuduhan kepada Ahlus Sunnah dengan gelar “Dakwah Haddadiyyah”, lalu mentahdzir kaum muslimin darinya. Namun sebaliknya mereka memberikan pujian kepada para pembela Ihya At-Turots, mentazkiyahnya, bahkan menggelarinya dengan gelar “Buku Emas”. Hal ini disebabkan karena orang yang menuduh tersebut tidak mengerti tentang prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal-jama’ah itu sendiri. Semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya. (Bersambung insya Allah …).

Ulama, Antara Senior Dan Paling Senior ? (Ihya At-Turots Bag. Ke 4)

Ulama, Antara Senior Dan Paling Senior ? (Ihya At-Turots Bag. Ke 4) www.darussalaf.or.id بسم اله الرحمن الرحيم الميراث من فتاوى العلماء عن جمعية إحياء التراث 4 Ulama, Antara Senior Dan Paling Senior ? Ketahuilah –semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua- bahwa satu hal yang mesti menjadi pegangan setiap muslim, terkhusus tatkala seorang muslim tersebut menisbahkan dirinya kepada manhaj yang mulia, manhaj salafi dan menyatakan dirinya sebagai Ahlus Sunnah. Bahwa seseorang dalam menyikapi segala sesuatu dalam perkara agama, adalah dengan cara menerapkan dalil-dalil serta kaidah dengan cermat dan tepat berdasarkan apa yang telah dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, yang sejalan dengan metode salafus shaleh, serta menjauhkan diri dari hawa nafsu, fanatisme golongan dan kelompok. Tidak menyikapi sesuatu berdasarkan perasaan, naluri, suara terbanyak, kesenioran seseorang dan yang semisalnya dari berbagai macam alasan yang dibuat untuk melegitimasi sebuah pendapat, lalu menyalahkan pendapat yang menyelisihinya. Oleh karenanya, suatu kesalahan yang sangat fatal dan bahkan suatu kebatilan yang ditampakkan oleh Al-Akh Firanda –semoga Allah mengembalikannya kepada Al-Haq, disebabkan kembali kepada kebenaran itu jauh lebih baik daripada berkelanjutan di atas kebatilan-, ketika berusaha membela kesesatan yang dimiliki Ihya At-Turots dengan cara-cara seperti yang kami sebutkan. Berkata Al-Akh Firanda: “Jika para ulama kibar yang memberi rekomendasi saja bisa keliru dan salah, padahal mereka lebih senior dan jumlahnya lebih banyak, maka para ulama yang meng-hizbi-kan yayasan tersebut -yang notabene mereka adalah murid-murid para ulama kibar tersebut, dengan jumlah mereka yang lebih sedikit- tentunya kemungkinan untuk salah dan keliru lebih besar lagi.” (Kaidah-kaidah Penerapan Hajr, Firanda,hal:88 atau artikel Menjawab Syubhat Menepis Tudingan : Kedudukan Yayasan Ihya’ at-Turats Kuwait dan Sikap Kita Terhadap Permasalahan Khilafiyah Ijtihadiyah (bagian satu) artikel ke 466) Ucapan ini sama seperti apa yang disebutkan oleh Abdullah Taslim –semoga Allah meluruskan lisannya-: “Adapun tentang syaikh Rabi’ bin Hadi –semoga Allah Azza wa Jalla menjaganya- beliau tidak termasuk ulama yang paling senior di Saudi, karena ulama-ulama lain yang lebih tua dan lebih lama belajar dibanding beliau banyak di Saudi…” (Konsultasi Ustadz: Memahami Kaidah Al Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap Kita di Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah (UPDATE), artikel ke 338). Firanda juga mengatakan: “Bukankah secara naluri sangat wajar jika seseorang salafi memilih para ulama yang lebih senior –juga lebih banyak jumlahnya- untuk dijadikan tempat bertanya dan bersandar dalam masalah ini? ….” (Kaidah –kaidah Penerapan Hajr:89 atau artikel Menjawab Syubhat Menepis Tudingan : Kedudukan Yayasan Ihya’ at-Turats Kuwait dan Sikap Kita Terhadap Permasalahan Khilafiyah Ijtihadiyah (bagian satu), artikel ke 466). Firanda juga mengatakan tentang Ihya at Turots: “Yayasan ini sangat terkenal dan kiprahnya diketahui oleh banyak orang.maka bagaimana mungkin para ulama tersebut menutup mata dari kesalahan-kesalahannya?! Ini mirip dengan cara hizbiyyin dalam menolak fatwa-fatwa para ulama kibar, yaitu dengan tuduhan bahwa mereka tidak mengerti fiqhul waqi’, sehingga fatwa mereka mentah, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Na’udzu billah minal hizbiyyah” (Idem, hal: 84 atau artikel Menjawab Syubhat Menepis Tudingan : Kedudukan Yayasan Ihya’ at-Turats Kuwait dan Sikap Kita Terhadap Permasalahan Khilafiyah Ijtihadiyah (bagian satu) hal 466). Untuk itu, maka bantahan terhadap ucapan ini dari beberapa sisi [1]: Pertama:merupakan satu hal yang sangat dimaklumi oleh kita sekalian, bahwa menilai kebenaran adalah dengan cara menimbangnya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salaful Ummah.Tanpa harus memperhatikan dan menimbang sedikit banyaknya orang yang mengikuti kebenaran tersebut dan berapa orang yang berpijak di atasnya. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-Nisaa:59) اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS.Al-A’raf:3). Dan ayat yang menjelaskan tentang hal ini masih sangat banyak. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak :1/172, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat setelah keduanya: Kitabullah dan Sunnahku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di atas telaga”. (Disahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jami’: 2937) Maka siapa saja dari kalangan para ulama yang membawakan dalil yang shahih,dan mengikuti metode salaf dalam beristidlal dan memahami dalil, maka harus diterima, tanpa melihat apakah dia seorang alim yang dianggap ‘senior’ –jika ungkapan ini benar- ataukah kurang ‘senior’. Maka membeda-bedakan para ulama dalam menerima pendapat mereka – antara senior dengan yang paling senior –secara mutlak adalah menyelisihi manhaj salaf yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam sikap fanatik terhadap satu pendapat tanpa memperhatikan hujjah-hujjah mereka. Bayangkan saja kalau ada seorang muslim membawakan satu pendapat dari salah seorang alim yang disertai hujjah dan dalil yang jelas, lalu menolak mentah-mentah pendapat tersebut dengan alasan : “Pendapat ini menyelisihi pendapat alim yang lebih senior menurut kami”. Maka hal ini tak ubahnya seperti kaum sufi yang selalu beralasan, “kami berpegang dengan pendapat guru kami”, walaupun telah disampaikan kepada mereka dalil yang jelas yang menyelisihi pendapat mereka. Allahul musta’an. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala: فدين المسلمين مبنى على اتباع كتاب الله وسنة رسوله وما اتفقت عليه الأمة فهذه الثلاثة هي أصول معصومة وما تنازعت فيه الأمة ردوه إلى الله والرسول وليس لأحد أن ينصب للأمة شخصا يدعو إلى طريقته ويوالي عليها ويعادي غير النبي صلى الله عليه وسلم ولا ينصب لهم كلاما يوالي عليه ويعادي غير كلام الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم وما اجتمعت عليه الأمة بل هذا من فعل أهل البدع الذين ينصبون لهم شخصا أو كلاما يفرقون به بين الأمة يوالون على ذلك الكلام أو تلك النسبة ويعادون “Agama kaum muslimin dibangun di atas ittiba’ terhadap Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya dan apa yang telah disepakati umat ini di atasnya, maka tiga perkara ini adalah prinsip-prinsip yang terpelihara. Dan apa yang diperselisihkan oleh umat, maka mereka kembalikan kepada Allah dan rasul-Nya. Dan tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menetapkan bagi umat ini seorang figur, yang ia menyeru kepada jalannya dan dia berwala’ dan ber-bara’ diatasnya, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak boleh pula ia menetapkan untuk mereka sebuah ucapan yang ia berwala’ dan bara’ diatasnya, kecuali firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang telah menjadi kesepakatan (ijma’) umat ini. Bahkan ini termasuk perbuatan ahli bid’ah yang telah menetapkan bagi mereka seorang (figur) atau sebuah ucapan, yang mereka memecah belah umat ini dengannya, dimana mereka berwala’ dan bara’ di atas ucapan atau penisbahan tersebut” (Dar’ut Ta’arudh, Syaikhul Islam: 1/272, Majmu’ Fatawa:20/164) Kedua: apa yang disebutkan oleh Al-Akh Firanda –semoga Allah mengembalikannya kepada Al-haq- dalam membagi ulama menjadi senior dan paling senior, lalu lebih mendahulukan ucapan yang paling senior di atas yang senior saja (bukan yang “paling”) secara mutlak, adalah perkara yang menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah dan apa yang telah diamalkan oleh para ulama Salafus Shalih radhiallahu anhum . Adapun Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah Azza wa Jalla: وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS.An-Nahl:43) Yang menjadi syahid dari ayat ini bahwa Allah Azza wa Jalla tidak membeda-bedakan para ulama – antara yang senior dan yang paling senior – namun siapa yang membawa hujjah dari mereka, maka dialah yang dipegang pendapatnya. Adapun dari As-Sunnah, diantaranya adalah sabda Rasulullah shallalahu alaihi wasallam: و إن العلماء ورثة الأنبياء و إن الأنبياء لم يورثوا دينارا و لا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر . “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham, namun sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya, maka dialah yang mengambil bagian yang sempurna”. (HR.Ahmad, Tirmidzi, An-Nasaa-i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan yang lainnya dari Abu Darda’. Dishahihkan Al-Albani rahimahullah Ta’ala dalam Shahih al-Jami’:6297). Adapun ucapan Firanda dkk tersebut bertentangan dengan apa yang telah menjadi pendirian para Salafus Sholeh radhiallahu anhum, maka berikut ini beberapa contoh dari sikap Salafus Salih radhiallahu anhum yang tidak membeda-bedakan – antara senior dan yang paling senior- , namun hujjah adalah pegangan dan sandaran mereka: - Yakni hadits yang diriwayatkan Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: “Adalah Umar radhiallahu anhu memasukkan aku –dalam pertemuan-pertemuan penting- bersama para syaikh Badar (pembesar shahabat yang pernah mengikuti perang Badar), sehingga sebagian mereka merasa canggung.” Lalu ia berkata : “Mengapa engkau mengikut sertakan dia bersama kami, padahal kamipun memiliki anak-anak yang sebaya dengannya?”, maka berkata Umar: “Sesungguhnya ia berasal dari sesuatu yang telah kalian ketahui.” [2] Lalu ia (Umar radhiallahu anhu) memanggilku pada suatu hari dan mengikut-sertakan aku bersama mereka (dalam pertemuan). Aku tidak menyangka bahwa ia memanggilku pada saat itu, melainkan untuk memperlihatkannya kepada mereka. Bertanya Umar: “Apa pendapat kalian tentang firman Allah Ta’ala (QS An Nashr 1 – 3): إِذَا جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (artinya : Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan… QS An Nashr 1) Maka menjawab sebagian mereka: kami diperintahkan untuk mengucapkan hamdalah dan beristighfar kepada-Nya, apabila Dia telah menolong kita dan memberikan kemenangan kepada kita. Sebagian mereka diam dan tidak mengucapkan sesuatu. Maka ia (Umar) mengatakan kepadaku : “Apakah demikian yang engkau katakan wahai Ibnu Abbas?”, maka aku menjawab: “Tidak.” Ia bertanya: “Lalu apa pendapatmu?” Aku menjawab: “Itu pertanda ajal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah memberitahukan kepadanya. Maka, “jika datang pertolongan Allah dan kemenangan – dan itu pertanda ajalmu – maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-Mu dan beristighfar kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.” Maka berkata Umar radhiallahu anhu: “Akupun memahami ayat tersebut seperti yang engkau katakan.” (HR.Bukhari:8/565). Perhatikanlah kisah ini, dimana Umar bin Khattab radhiallahu anhu memasukkan Ibnu Abbas dalam deretan para ulama yang dimintai pendapat oleh beliau, padahal Ibnu Abbas tidak termasuk orang yang paling senior –meminjam istilah Al-Akh Firanda- di kalangan mereka radhiallahu anhum. Bahkan Umar radhiallahu anhu membenarkan jawaban Ibnu Abbas dibandingkan jawaban yang lainnya dari kalangan para Shahabat yang pernah mengikuti perang Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar, padahal Ibnu Abbas radhiallahu anhuma tidak termasuk yang paling senior diantara mereka. - Telah diriwayatkan Imam Muslim dalam shahihnya dari Sa’ad bin Abi Waqqas radhiallahu anhu bahwa pernah beliau duduk di dekat Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma. Lalu datanglah Khabbab, lalu berkata : “Wahai Abdullah, tidakkah engkau mendengar apa yang diucapkan oleh Abu Hurairah, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ “Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya, lalu mensholatinya, lalu mengikutinya, hingga dikuburkan maka dia mendapatkan dua qirot dari pahala, setiap qirot seperti bukit Uhud. Dan barangsiapa yang menshalatinya, lalu kembali, maka dia mendapatkan pahala seperti satu bukit Uhud (satu qirot, pen). Maka Ibnu Umar mengutus Khabbab kepada Aisyah untuk bertanya kepadanya tentang ucapan Abu Hurairah [3] , lalu ia kembali kepadanya untuk mengabarinya. Maka Ibnu Umar sambil menggenggam kerikil masjid ditangannya sambil meremas ditangannya, sehingga utusan tersebut kembali kepadanya. Berkatalah (utusan tersebut): “Aisyah berkata: Telah benar Abu Hurairah.” Maka Ibnu Umar melemparkan kerikil yang digenggamnya ke tanah sambil mengatakan: “Sungguh kami telah melalaikan banyak qirat.” Dalam riwayat lain Ibnu Umar mengatakan kepada Abu Hurairah radhiallahu anhu: “Wahai Abu Hurairah, engkau yang paling sering bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang paling mengerti tentang haditsnya”. (HR. Muslim, sebagian tambahan oleh Imam Ahmad. Lihat Ahkamul Janaiz karya Al-Albani rahimahullah: 89) Perhatikanlah riwayat ini, dimana Abdullah bin Umar mengakui keilmuan yang dimiliki oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu. Dan Abu Hurairah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma. Padahal kalau dilihat dari sisi kesenioran –meminjam istilah al Akh Firanda-, Abdullah bin Umar jauh lebih senior dari Abu Hurairah, sebagaimana yang telah kita ketahui hal tersebut, sebab Ibnu Umar telah masuk Islam diusianya yang masih kecil, belum baligh, lalu ikut berhijrah ke Madinah bersama ayahnya, Umar bin Khattab radhiallahu anhu. Sedangkan Abu Hurairah, masuk Islam pada tahun ketujuh, pada masa Khaibar. Inilah yang diamalkan oleh para ulama Salaf, dimana mereka senantiasa kembali kepada al-Haq disaat mengetahuinya, walaupun yang membawa kebenaran tersebut seorang yang lebih rendah tingkat “keseniorannya” dibandingkan yang lain. Contoh lain yakni apa yang terjadi di masa Imam Bukhari rahimahullah, disaat Al-Allamah Ad-Dakhili rahimahullah – salah seorang muhaddits senior di Bukhara pada masanya – yang mana beliau memiliki halaqoh ilmu yang masyhur. Pada suatu ketika Ad Dakhili mengajar seperti biasanya, sementara Imam Bukhari mendengarkan. Berkata Ad-Dakhili dalam menyebutkan sanad hadits : “Sufyan dari Abu Zubair dari Jabir”. Maka Imam Bukhari menegurnya dan berkata: “Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim”. Demi mendengar hal itu, maka Ad-Dakhili pun menghardiknya. Namun Bukhari dengan rendahnya mengatakan: “Periksalah kitab indukmu jika engkau memilikinya”. Maka masuklah Ad-Dakhili dan memeriksa kitab induknya. Maka dia pun mengakui kebenaran ucapan Bukhari. Namun sebelum membenarkannya, dia ingin menguji Imam Bukhari. Maka Ad-Dakhili pun bertanya: “Lalu apa yang benar wahai anak ?”, maka Imam Bukhari pun menjawab: “Az-Zubair –dia adalah Bin ‘Adi- dari Ibrahim”. Lantas Ad-Dakhili mengambil pulpen lalu membenarkannya dan berkata: “Engkau benar.” Ada seseorang bertanya kepada Imam Bukhari: “Berapa umurmu disaat engkau membantahnya?”. Beliau menjawab: “Sebelas tahun”. [4] Para pembaca yang budiman –semoga Allah merahmatimu-, cobalah perhatikan kisah ini,dimana seorang yang sangat yunior –yang masih berumur sebelas tahun- membenarkan kesalahan seorang alim yang senior di zamannya. Kalaulah Al-Allamah Ad-Dakhili punya pendirian semodel Firanda, maka mungkin dia akan mengatakan: “Maaf, anda siapa? Saya ini kan lebih senior dari anda !”. “Saya tetap akan berada di atas pendapat saya. Dan saya tidak perlu mengeceknya lebih lanjut. Sebab kalau saya saja yang senior ini bisa salah, maka terlebih lagi kamu yang masih yunior itu, kemungkinan salahnya lebih besar lagi”, demikian tangkisnya. Namun karena beliau bukan orang yang semodel dengan al akh Firanda, maka beliau pun merujuk kepada kitab induknya dan akhirnya mengakui kebenaran ucapan seorang yang masih yunior di kala itu. Begitulah kebiasaan Salafus Shalih, lebih mengedepankan sikap ilmiah dan membahas setiap perkara yang diperselisihkan dengan hujjah dan dalil. Kalaulah seperti Imam Bukhari rahimahullah yang di kala itu masih yunior diterima pendapatnya karena adanya hujjah. Maka apakah kalian tidak akan menerima pendapat para Ulama yang mentahdzir dari organisasi Ihya At-Turats tersebut, walaupun mereka membawa seribu satu hujjah ? Apakah hanya dengan alasan bahwa mereka bukan yang paling senior? Mereka baru setingkat murid-muridnya saja? Ataukah setiap perkara tersebut harus dibahas berdasarkan Ilmu dan Hujjah? Jika anda seorang Salafi, maka jawablah dengan mengikuti kaidah Salafiyyah dalam mentarjih permasalahan ini. Nah, untuk melengkapi tentang hal ini, ada baiknya kita nukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala dalam menjelaskan perkara ini [5] . Beliau berkata: “Sesungguhnya meliputi seluruh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mungkin bagi seseorang dari kalangan umat ini. Dan dahulu Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam menyampaikan hadits, berfatwa, menghukumi atau melakukan sesuatu, lalu didengarkan ataukah dilihat oleh orang yang hadir (pada saat itu). Lalu mereka –atau sebagian mereka- menyampaikan kepada siapa yang dapat sampai kepadanya. Maka sampailah ilmu tersebut kepada siapa yang Allah Ta’ala kehendaki dari kalangan para ulama, dari kalangan para Shahabat, Tabi’in dan orang setelah mereka. Lalu di majelis yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan hadits, atau berfatwa, atau menghukumi sesuatu, atau melakukan sesuatu. Lantas disaksikan oleh orang yang sebelumnya tidak menghadiri majelis yang lalu, lalu mereka pun menyampaikan kepada siapa yang memungkinkan dari mereka. Sehingga mereka ini memiliki ilmu – yang tidak dimiliki oleh mereka yang lain – dan demikian pula sebaliknya. Dan sesungguhnya bertingkat-tingkat para ulama dari kalangan para Shahabat dan yang setelahnya dengan banyaknya ilmu dan baiknya (dalam memahami ilmu). “ Adapun pernyataan bahwa seseorang mengetahui seluruh hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka hal ini tidak dapat dibenarkan. Ambillah pelajaran tentang hal itu dari para Khulafa ar-Rasyidin radhiyallahu anhum, mereka orang-orang yang paling berilmu dari kalangan umat ini tentang perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sunnah-nya, keadaannya. Terkhusus ash-Shiddiq radhiallahu anhu yang tidak pernah berpisah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam baik disaat hadir (mukim, tidak musafir, pen) maupun di saat safar. Bahkan dalam banyak waktunya senantiasa bersama beliau Shallallahu alaihi Wasallam, sampai terkadang diskusi di malam hari bersama beliau – Shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam berbagai urusan kaum muslimin. Demikian halnya Umar bin Khattab radhiallahu anhu, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seringkali mengatakan: “Aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar” dan “Aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar”. Bersamaan dengan itu, tatkala Abu Bakar radhiallahu anhu ditanya tentang pembagian warisan untuk seorang nenek? Beliau menjawab: “Engkau (wahai nenek) tidak disebutkan sedikitpun pembagianmu dalam kitab Allah dan aku tidak mengetahui apapun tentang pembagianmu dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi saya akan bertanya kepada para shahabat”. Lalu beliau bertanya kepada mereka. Maka berdirilah Mughiroh bin Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah radhiallahu anhuma, lalu keduanya bersaksi bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikannya seperenam.[6] Dan Sunnah ini pun telah disampaikan oleh Imran bin Hushain radhiallahu anhu. Dan tidaklah mereka bertiga ini (Mughiroh bin Syu’bah, Muhammad bin Maslamah dan Imran bin Hushain) dalam keilmuan seperti Abu Bakar dan yang lainnya dari al-Khulafa Ar-Rasyidun radhiallahu anhum. Tetapi kemudian mereka mengetahui sunnah ini yang telah sepakat umat dalam mengamalkannya. Akan halnya shahabat Umar bin Khattab radhiallahu anhu tidak mengetahui Sunnah dalam hal meminta izin. Sampai Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu yang mengabarkan kepadanya dan menjadikan orang-orang Anshar sebagai saksi yang menguatkannya. Padahal Umar radhiallahu anhu lebih berilmu dibanding yang menyampaikan kepadanya sunnah ini. Umar radhiallahu anhu tidak mengetahui bahwa seorang wanita mendapatkan warisan dari diyat [7] suaminya. Bahkan beliau berpendapat bahwa diyat dibagikan kepada kerabat dari ayahnya (‘aqilah). Sampai Ad-Dhohhak bin Sufyan Al-Kilabi radhiallahu anhu –beliau pernah menjadi pemimpin utusan Rasulullah shallalahu alaihi wasallam terhadap sebagian kampung- menulis kepadanya dan mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi warisan untuk istri Asyam Ad-Dhibabi radhiallahu anhu dari diyat suaminya” [8] , dan beliau meninggalkan pendapatnya karena (riwayat) tersebut,dan berkata: “Kalaulah kami tidak mendengarkan ini, niscaya kami akan berhukum dengan yang (hukum) menyelisihi hal ini.” Dan beliau juga tidak mengetahui hukum Majusi dalam hal pembayaran jizyah (upeti). Sehingga beliau dikabari oleh Abdurrahman bin Auf radhiallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ((سنوا بهم سنة أهل الكتاب)) “Perlakukan mereka seperti Ahli Kitab” [9] Tatkala Umar radhiallahu anhu datang ke Sarg [10] , sampai kepada beliau kabar bahwa wabah penyakit tha’un melanda negeri Syam, lalu beliau bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang pertama yang bersama beliau, [11] kemudian dengan orang-orang Anshar, kemudian dengan yang masuk Islam pada masa penaklukan kota Makkah. Maka setiap mereka mengeluarkan pendapatnya dan tidak satu pun yang mengabarkan kepada beliau dengan (membawa) Sunnah [12] . Sampai datanglah Abdurrahman bin Auf radhiallahu anhu lalu mengabarkan kepada beliau dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyikapi wabah tha’un, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (( إذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا منه, وإذا سمعتم به بأرض فلا تقدموا عليه )) “Jika terjadi di daerah yang kalian ada disana, maka jangan keluar karena ingin menyelamatkan diri darinya. Dan jika kalian mendengarkan tentangnya terjadi di satu daerah, maka jangan kalian mendatanginya.” (Muttafaq alaihi dari hadits Abdurrahman bin Auf) Dan beliau (Umar) dan Ibnu Abbas radhiallahu anhum pernah menyebut tentang orang yang ragu dalam sholatnya (apakah dia berhadats atau tidak, pen) dan belum sampai kepadanya Sunnah yang berkenaan tentang hal tersebut. Sampai Abdurrahman bin Auf meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sabdanya, bahwa hendaknya dia menepis keraguan tersebut dan membangun diatas apa yang ia yakini. Dan pernah dalam satu safar, lantas berhembuslah angin, maka Umar berkata: “Siapa yang memberitakan kepada kami tentang angin?” Maka berkata Abu Hurairah radhiallahu anhu: “Maka sampai kepadaku (pertanyaan tersebut) sedangkan saya berada di barisan terakhir. Maka aku hentakkan kendaraanku sampai aku menemuinya, lalu aku mengabarkannya tentang apa yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam disaat berhembusnya angin.” Jelaslah bahwa beberapa permasalahan ini tidak diketahui Umar radhiallahu anhu hingga disampaikan kepada beliau (tentang sunnah) melalui orang yang tidak sepertinya (dalam hal keutamaan). [13] Dan masih ada beberapa permasalahan lain, yang tidak sampai kepada beliau sunnahnya dalam perkara tersebut, maka beliau menetapkan hukum atau berfatwa tidak dengan sunnah. Seperti apa yang beliau tetapkan dalam hukumnya tentang pembayaran diyat dari jari-jemari (yang terpotong, sebagai ganti qishash): “Bahwa hal tersebut tergantung manfaat jarinya.” Dan Abu Musa dan Ibnu Abbas radhiallahu –yang Umar jauh lebih berilmu dari keduanya- memiliki ilmu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ini dan ini sama – yaitu ibu jari dan jari kelingking”. Maka tatkala Sunnah ini sampai kepada Muawiyah radhiallahu anhu pada masa pemerintahannya, maka beliau berhukum dengannya. Dan Kaum muslimin pun mengikutinya. Hal itu tentunya bukanlah merupakan aib pada diri Umar radhiallahu anhu disaat tidak sampai kepada beliau suatu hadits. [14] Demikian halnya beliau radhiallahu anhu pernah melarang orang yang berihram untuk memakai wangi-wangian sebelum memulai ihramnya dan sebelum berangkat menuju Makkah setelah melempar Jamratul ‘Aqobah. Beliau dan anaknya, Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma dan selainnya termasuk dari shahabat yang mulia, namun tidak sampai kepada mereka hadits Aisyah radhiallahu anha yang berkata: ((طيبت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم لإحرامه قبل أن يحرم ,ولحله قبل أن يطوف )) “Aku memakaikan wewangian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk ihramnya sebelum dia berihram dan pada saat halalnya sebelum dia Thawaf” [15] . Beliaupun memerintahkan kepada orang yang memakai khuf untuk menyapu di atasnya hingga ia melepaskannya, tanpa ada batasan waktu, dan segolongan dari ulama Salaf mengikuti pendapat beliau dalam hal ini. Kenyataannya, tidak sampai kepada mereka hadits-hadits yang menjelaskan tentang batasan waktu yang telah shahih pada riwayat sebagian mereka yang keilmuannya di bawah mereka. Kendati sungguh telah diriwayatkan tentang hal ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari berbagai sisi yang shahih. Juga tentang shahabat Utsman radhiallahu anhu, beliau tidak mempunyai ilmu tentang seorang yang ditinggal mati suaminya untuk menghabiskan masa ‘iddahnya di rumah kematian. Dan Nabi shallallahu alaihi wasalam mengatakan kepadanya: “Tinggallah engkau di rumahmu sampai selesainya ketetapan ‘iddah” [16] Maka (riwayat tersebut) dijadikan pegangan oleh Utsman radhiallahu anhu. Dan suatu ketika dihadiahkan kepada beliau (yaitu Utsman radhiallahu anhu, pen) hewan buruan yang diburu untuk diberikan kepadanya, maka beliau berkeinginan untuk memakannya. Sehingga Ali radhiallahu anhu mengabarkan kepadanya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menolak daging yang dihadiahkan kepadanya.”[17] Shahabat Ali radhiallahu anhu pernah berkata: (كنت إذا سمعت من رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم حديثا نفعني الله بما شاء أن ينفعني منه, وإذا حدثني غيره استحلفته,فإذا حلف لي صدقته,وحدثني أبو بكر –وصدق أبو بكر- وذكر حديث صلاة التوبة المشهور ) “Adalah aku jika mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah hadits yang Allah memberi manfaat kepadaku dengannya dengan kehendak Allah dalam memberi manfaat kepadaku. Dan jika selainnya memberitakan kepadaku hadits, maka aku memintanya bersumpah, maka jika ia bersumpah, maka aku pun membenarkannya. Dan Abu Bakar telah memberitakan kepadaku –dan telah jujur Abu Bakar- , lalu beliau menyebutkan hadits tentang sholat taubat yang masyhur [18] . Beliau (Ali radhiallahu anhu,pen) dan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berfatwa bahwa “Seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, agar menetapkan masa ‘iddah yang paling lama waktunya” dan tidak sampai kepada mereka sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kisah Subai’ah Al-Aslamiyyah radhiallahu anha – disaat ditinggal mati suaminya – Sa’ad bin Khaulah -, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluarkan fatwa untuknya bahwa masa akhir ‘iddahnya adalah dengan melahirkan kandungannya [19] . Beliau juga bersama Zaid, Ibnu Umar dan selainnya radhiallahu anhum berfatwa bahwa “Wanita yang menikah dalam keadaan belum ditetapkan maharnya hingga suaminya meninggal, maka tidak ada mahar baginya”, dan tidak sampai kepada mereka Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kisah Barwa’ bintu Wasyiq radhiallahu anha. [20] Ini merupakan bab yang sangat luas, yang dinukilkan dari beliau Shallalahu alaihi wasallam dari shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam jumlah yang sangat banyak sekali. Adapun yang dinukil darinya dari selain mereka, maka tidak mungkin bisa mencakupnya, sebab mencapai ribuan. Maka mereka (para shahabat Radhiallahu anhum,pen) adalah yang paling berilmu dari kalangan umat ini dan yang paling faqih, paling bertaqwa dan yang paling mulia. Sedangkan yang setelah mereka lebih banyak kekurangannya. Dan lebih tentu tersamarkannya atas mereka beberapa Sunnah. Dan ini tidak memerlukan penjelasan. Maka barangsiapa yang meyakini bahwa semua hadits yang shahih telah sampai kepada setiap Imam, atau Imam tertentu, maka sungguh dia keliru dengan kekeliruan yang parah lagi buruk. (Raf’ul Malaam ‘an Al-Aimmatil A’laam:9-17). Semoga apa yang telah kami nukilkan dari ucapan Syaikhul Islam rahimahullah Ta’ala ini bermanfa’at bagi kita semua, terkhusus untuk Al-Akh Firanda dkk. Ketiga: Anggaplah bahwa para ulama yang mentahdzir dari Ihya At-Turots ‘hanya dari kalangan senior’ dan bukan ‘yang paling senior’ – menurut istilah Firanda dan Ibnu Taslim-.Akan tetapi bukankah seorang ‘alim dengan kelebihan ilmu yang dimilikinya menyebabkan dia menjadi paling senior dan terangkat dari derajat senior saja? Walaupun tingkat ke-paling senioran tersebut dalam bidang tertentu, seperti al-Jarh wat Ta’dil, atau yang lainnya. Oleh karenanya, Umar bin Khattab radhiallahu anhu menyejajarkan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dalam deretan yang paling senior, sebagaimana yang telah kami sebutkan riwayatnya. Dan Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma mengakui ke-paling senioran Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian pula yang lainnya. Maka oleh karena itu, jika ada qorinah (penguat) yang mengangkat derajat seorang alim yang senior saja, maka hal tersebut dapat mengangkatnya ke derajat yang paling senior – dengan faktor tertentu yang telah kita sebutkan sebelumnya-. Ambil saja contoh Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah Ta’ala, beliau termasuk salah seorang murid dari para masyaikh kibar yang masyhur, seperti Syaikh Bin Baaz dan Al-Albani rahimahumallah Ta’ala. Namun Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala memiliki kelebihan ilmu, terkhusus dalam hal menghidupkan ilmu al-Jarh wat-Ta’dil pada zaman ini, yang dengan itu – semestinya -mengangkat beliau ke deretan para ulama paling senior, sebagaimana tazkiyah dari para ulama yang paling senior pula. Diantara tazkiyah tersebut adalah tazkiyah dari Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah Ta’ala, tatkala beliau ditanya tentang Syaikh Rabi’ dan Syaikh Muhammad Aman Al-Jami. Maka beliau menjawab: “Terkhusus dua Syaikh yang mulia, syaikh Muhammad Aman Al-Jami dan Syaikh Rabi’ bin Hadi, keduanya dari Ahlus Sunnah dan keduanya orang yang aku ketahui dalam hal ilmu, keutamaan, aqidah yang shalihah dan telah meninggal Doktor Muhammad Aman pada malam Kamis, tepatnya 27 Sya’ban di tahun ini, semoga Allah merahmatinya. Aku nasehatkan untuk mengambil faidah dari kitab-kitab keduanya…” Beliau juga berkata : ”Syaikh Rabi’ termasuk pilihan di kalangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dan ma’ruf bahwa beliau termasuk Ahlus Sunnah dan ma’ruf tulisan dan makalah-makalahnya.” Dan berkata Syaikh Rabi’ berkata dalam kitabnya “Izhaq abaathil Abdil Lathif Ba Syumail”, hal:104: “Sungguh aku telah berziarah kepada samahatus Syaikh Ibnu Baaz hafidzahullah, lalu beliau menasehatiku untuk membantah setiap yang menyelisihi kebenaran dan Sunnah.” Bahkan demikian besar rasa kepercayaan Syaikh Ibnu Baaz terhadap apa yang dimiliki Syaikh Rabi’ dari ilmunya, sehingga beliau beberapa kali meminta penjelasan dari syaikh Rabi’ dalam menyikapi beberapa tokoh. Diantaranya adalah surat beliau nomor : 352/2, tanggal: 7-2-1413 H : “Bismillahirrahmanirrahiim Dari Abdul Aziz bin Baaz kepada Al-Akh yang mulia, Fadhilatus syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, pengajar di Jami’ah Islamiyyah – semoga Allah memberinya taufiq- : Salamun ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh Telah sampai kepadaku bahwa engkau -yang mulia- telah menulis perihal Ustadz Abul A’laa Al-Maududi rahimahullah, maka aku berharap engkau membekaliku satu salinan dari apa yang telah engkau tulis dalam hal itu.” Perhatikanlah surat dari Bin Baaz rahimahullah Ta’ala, bukti kepercayaan beliau kepada Syaikh Rabi’ hafidzahullah dalam tulisan-tulisan beliau, terkhusus berkenaan tentang al-Jarh wat-Ta’dil. Dan ini tidaklah menunjukkan bahwa Syaikh Bin Baaz rahimahullah Ta’ala tidak mengetahui “Fiqhul Waqi’ hanya karena tidak mengetahui keadaan Abu Al-a’la Almaududi rahimahullah, yang sangat terkenal kiprahnya dan telah diketahui oleh banyak orang, seperti yang difahami oleh al akh Firanda. Demikian pula ketika syaikh Ibn Baz menampakkan tazkiyah kepada Jama’ah Tabligh, sementara para ulama lainnya mentahdzir Jama’ah Tabligh. Tentu saja sesuai kaidah Firanda sendiri menunjukkan bahwa ulama yang paling senior adalah Syaikh Bin Baz Rahimahullah. Apakah dengan demikian menunjukkan bahwa Firanda termasuk salah seorang yang berpegang dengan tazkiyah Syaikh Bin Baz terhadap Jama’ah Tabligh ? Sebelum pada akhirnya Syaikh Bin Baz mengeluarkan fatwa terakhir yang mentahdzir mereka dan menganggap mereka sebagai ahli bid’ah. Jadi ketika syaikh Ibn Baz menampakkan tazkiyah kepada Jama’ah Tabligh, dan itu tidak menunjukkan bahwa beliau tidak mengerti “fiqhul waqi’”. Namun karena belum sampainya kepada beliau tentang hakikat penyimpangan yang ada pada kelompok tersebut. Maka hal itu sama sekali tidak menurunkan derajat kesenioran yang dimilikinya. Juga ketika Syaikh Rabi’ yang telah ditazkiyah oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah, diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam kaset yang berjudul “Al Muwazanaat, Bid’atul ‘Ashr” beliau berkata: “Secara ringkas aku mengatakan bahwa sesungguhnya pembawa bendera al-Jarh wat-Ta’dil pada hari ini, di masa ini, secara hakiki adalah saudara kami Rabi’, dan orang-orang yang membantahnya, tidak membantahnya dengan ilmu sama sekali, dan ilmu bersama beliau. Walaupun aku selalu mengatakan dan lebih dari sekali aku mengatakan kepada beliau melalui telepon, kalau sekiranya beliau lemah lembut dalam caranya, maka jadi lebih bermanfaat untuk banyak kalangan dari manusia, apakah dia kawan maupun lawan. Adapun dari sisi ilmu, maka tidak ada celah untuk membantah beliau sama sekali, kecuali apa yang telah aku isyaratkan tadi dari pernyataan keras dalam uslub (cara penyampaiannya).” Perhatikanlah ucapan Syaikh paling senior di abad ini, dimana beliau yang telah memeriksa tulisan dan makalah-makalah Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala dan beliau tidak mengkritik satu pun darinya dari sisi keilmiahan dan kekuatan hujjah yang beliau sebutkan. Adapun yang beliau kritisi hanya dalam hal cara beliau yang ‘agak kenceng’ dari sisi ungkapan yang beliau gunakan. Dan ini menunjukkan bahwa bantahan-bantahan beliau dari sisi keilmiahannya lebih terjamin. Mari kita bandingkan rekomendasi dari Syaikh Al-Albani tersebut dengan tulisan seorang da’i ‘senior’, Abdullah Taslim yang mengatakan: “Kesimpulannya, pendapat Jarh dan Ta’dil Syaikh Rabi’ sama seperti pendapat para ulama ahlus sunnah lainnya ,diterima jika disertai dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas ,dan ditolak jika tidak demikian, khususnya, jika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka…” [21] (Artikel Konsultasi Ustadz: Memahami Kaidah Al Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap Kita di Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah (UPDATE) nomor 338). Nah, sekarang kita tanyakan hal ini kepada para da’i ‘senior’ seperti Firanda dan Abdullah Taslim : “Berdasarkan kaidah “kesenioran” model antum, manakah pendapat yang antum pilih, pendapat alim yang paling senior Syaikh Al-Albani ataukah pendapat da’i ‘senior’ Abdullah Taslim?” Silahkan menerapkan kaidah yang antum buat sendiri. Seorang penyair berkata: ألم تر أن السيف ينقص قدره إذا قيل إن السيف أمضى من العصا Tidakkah engkau ketahui bahwa sebilah pedang menjadi kurang mutunya Bila dikatakan: sesungguhnya pedang itu lebih tajam dari tongkat Mari kita lanjutkan kembali seputar pengangkatan kedudukan Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala dari “senior” menjadi “paling senior”. Disebutkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya “Shifatus Shalaah”,hal:68, tatkala berbicara tentang (Muhammad) Al-Ghazali yang di zaman sekarang: “Dan telah bangkit banyak dari kalangan para ulama yang mulia –semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan- dalam membantahnya dan merinci pembahasannya yang menerangkan tentang kebingungan dan penyimpangannya.Diantara yang terbaik dari apa yang aku ketahui, bantahan sahabat kami Doktor Rabi bin Hadi Al-Madkhali di majalah “Al-Mujahid’, Afghanistan, edisi: 9-11 (3) dan risalah Al-Akh Al-Fadhil Shalih bin Abdil Aziz bin Muhammad Aalus Syaikh [22] yang berjudul “al-Mi’yar li ilmil Ghozali’.” Bahkan Syaikh Al-Albani rahimahullah memberi ta’liq terhadap kitab Syaikh Rabi’ yang berjudul “Al-‘awashim fi Kutub Sayyid Quthb minal Qowashim” : “Semua yang engkau bantah terhadap Sayyid Quthb adalah benar dan sesuai, dan dari sini menjadi jelas bagi setiap pembaca muslim yang memiliki wawasan keislaman bahwa Sayyid Quthb dalam keadaan tidak mengetahui Islam, prinsip-prinsipnya dan cabang-cabangnya. Maka semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Akh Rabi’ atas usahamu dalam menegakkan kewajiban menjelaskan dan menyingkap tentang kejahilannya dan penyimpangannya dari Islam.” Demikian halnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Ta’ala, seorang alim – paling senior – yang juga merekomendasi Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah Ta’ala.Tatkala ada seseorang yang bertanya kepada beliau tentang kitab-kitab Syaikh Rabi’. Maka beliau menjawab: “Yang dzhahir bahwa pertanyaan ini tidaklah dibutuhkan. Sebagaimana Imam Ahmad ditanya tentang Ishaq bin Rahuyah –semoga Allah merahmati mereka semuanya- lalu beliau menjawab: “Semisal aku ditanya tentang Ishaq! Bahkan semestinya Ishaq yang ditanya tentangku.” Dan dalam kaset “Pertemuan Syaikh Rabi’ bersama Syaikh Ibnu Utsaimin seputar manhaj”, beliau ditanya dengan pertanyaan berikut : “Sesungguhnya kita semua mengetahui sikap melampaui batas dari Sayyid Quthb. Namun satu hal yang saya belum mendengar darinya dan telah saya dengar dari salah seorang penuntut ilmu dan saya belum puas dengan itu, dia mengatakan bahwa Sayyid Quthb berpendapat tentang Wihdatul Wujud. Tentunya ini adalah kekufuran yang jelas. Apakah Sayyid Quthb termasuk diantara orang yang berpendapat tentang wihdatul wujud ? Saya berharap jawabannya. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.” Maka beliau menjawab: “Telaahku terhadap kitab-kitab Sayyid Quthb sedikit dan saya tidak mengetahui keadaan orang ini. Namun para ulama telah menulis berkenaan tentang tulisannya dalam tafsir “Fi Dzilal al-Qur’an”, dimana mereka menuliskan beberapa peringatan atas kitabnya dalam tafsir tersebut. Seperti apa yang ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Duwaisy rahimahullah dan yang ditulis oleh saudara kami Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali beberapa peringatan atas Sayyid Quthb dalam tafsirnya dan yang lainnya. Maka barangsiapa yang ingin merujuk kesana, maka silahkan dia merujuknya”. Perhatikanlah jawaban dari Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, dimana beliau menganjurkan kaum muslimin yang ingin mengetahui penyimpangan Sayyid Quthb agar kitab Syaikh Rabi’ hafidzahullah. Dan ini tidaklah menunjukkan bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin tidak mengerti “fiqhul waqi’” hanya karena tidak mengetahui keadaan Sayyid Quthb- yang sangat terkenal dan kiprahnya dikenal banyak orang -seperti yang diklaim oleh al akh Firanda, si pencetus bid’ah “senior dan paling senior” ini. Semua rekomendasi ini bisa didapatkan dalam barnamij/kaset Syaikh Rabi dari “Ruh al-Islam”. Keempat: Kita mengatakan kepada Firanda: “Anggaplah kaidah “kesenioran” yang antum terapkan tersebut benar. Maka semestinya kaidah ini antum terapkan dalam setiap perkara.” Seperti contoh yakni dalam hal menyikapi orang-orang yang getol membela Al-Irsyad dengan pimpinannya Ahmad As-Surkati rahimahullah, dimana para Ulama berselisih dalam menyikapi Ahmad As-Surkati dan organisasinya. Syaikh Ali Hasan dan yang bersamanya melakukan pembelaan dan bahkan pujian terhadap Ahmad As-Surkati, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam beberapa muhadharahnya. Sementara para ulama lainnya, yang tentunya lebih senior dibanding Syaikh Ali Hasan –menurut kaidah “kesenioran” Firanda- mentahdzirnya. Diantara mereka adalah Syaikh Ubaid Al-Jabiri dan Syaikh Ahmad An-Najmi hafidzahumallah. Syaikh Ubaid berkata setelah membaca pertanyaan yang menjelaskan tentang Ahmad As-Surkati dan organisasinya: “Sesungguhnya dari apa yang telah sampai kepadaku dari dokumen yang disebarkan melalui majalah “Adz-Dzakhirah”, maka nampak bagiku secara meyakinkan bahwa organisasi Al-Irsyad yang didirikan oleh seorang yang disebut Ahmad bin Muhammad As-Surkati As-Sudani Al-Anshari adalah organisasi Ikhwaniyyah Siyasiyyah dan bukan diatas Sunnah sama sekali. Namun dia dibangun diatas manhaj organisasi Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al-Banna di Mesir satu kurun masehi yang telah lalu. Oleh karena itu, maka sesungguhnya saya memperingatkan anak-anakku, saudara-saudaraku di Indonesia dan aku mengajak agar jangan mereka berta’awun bersamanya dalam bentuk apapun.Karena sesungguhnya dia bukan salafiyyah walaupun mengaku diatasnya.” (Tanya jawab dengan Syaikh Ubaid pada hari Ahad tanggal 11 September 2005, terekam dalam kaset yang ada pada kami). Adapun Syaikh Ahmad An-Najmi hafidzahullah Ta’ala yang mengatakan tentang Ahmad As-Surkati, maka beliau menjawab tentangnya: “Dia bukan alim salafi dan bukan pula da’i salafi” (Tanya jawab dengan Syaikh An-Najmi pada hari Sabtu, tanggal 10 September 2005, kasetnya ada pada kami). [23] Maka berdasarkan kaidah Al-Akh Firanda, semestinya dia dan yang bersamanya tentu mengetahui bahwa Syaikh Ubaid dan Syaikh An-Najmi jauh lebih senior dibanding Syaikh Ali Hasan Al-Halabi. Sehingga sebagai bentuk ilzam terhadap Firanda, semestinya dia tidak boleh bekerjasama dengan irsyadiyyun, dalam bentuk apapun. Apakah membuat daurah, mendatangkan masyaikh atau yang semisalnya. Dengan menggunakan kaidah dari antum sendiri “kaidah kesenioran”. Kelima: Hingga saat ini saya belum pernah menemukan dari kitab-kitab para ulama salaf maupun khalaf yang menyelesaikan dan mentarjih perselisihan yang terjadi di kalangan para ulama dengan dalil “naluri seorang salafi”. Sepanjang yang kami ketahui –dengan keterbatasan ilmu yang kami miliki- bahwa dalam mengamalkan syari’at ini dan menyelesaikan berbagai perselisihan yang terjadi di kalangan ahli ilmu dengan beberapa dalil seperti : Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ (konsensus) dari para ulama, Qiyas yang benar dan ada beberapa yang diperselisihkan seperti : pendapat Shahabat, Maslahah Mursalah, Istihsan dan yang lainnya. Namun tidak satu pun dari mereka yang menggolongkan “naluri salafi” sebagai salah satu dalil. Apakah karena keterbatasan kami, sehingga kami butuh bimbingan dari Al-Akh Firanda untuk menerangkan kepada kami cara menyelesaikan perselisihan ulama dengan “naluri salafi” ? Ataukah al akh Firanda mencoba untuk membuat kaidah “bid’ah” yang berikutnya, yang lebih pantas dijawab dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, disaat beliau mengingkari perbuatan sebagian orang di zamannya yang melakukan bid’ah “dzikir berjama’ah” di sebuah masjid. Maka beliau mengatakan: “Apakah kalian merasa berada di atas satu ajaran yang lebih benar dari ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ? Ataukah kalian adalah orang-orang yang membuka pintu-pintu kesesatan ?”. Lalu dalil “naluri salafi” inipun perlu dirinci, naluri milik siapakah yang dijadikan sandaran jika terjadi perselisihan ? Bukankah salafiyyin jumlahnya sangat banyak, maka jika terjadi perselisihan naluri diantara mereka, naluri siapakah yang perlu didahulukan? Atau apakah antum termasuk diantara mereka yang mentarjih satu permasalahan dengan menggunakan ilmu ladunni? Lalu, apakah orang yang merajihkan pendapat Syaikh Rabi’ dan yang bersamanya tidak memiliki naluri salafi – maka berdasarkan kaedah “bid’ah” antum – ? Kalau orang yang merajihkan pendapat Syaikh Rabi’ saja tidak memiliki naluri, maka terlebih lagi para masyayikh tersebut tidak memiliki ‘naluri salafi’, karena merekalah yang menjadi penyebab ditahdzirnya Organisasi Ihya’ At-Turots tersebut. Maka jawablah hal ini secara ilmiah! Ya akhi, kalau setiap orang yang punya akal membuat satu alasan/kaidah tanpa disertai dengan hujjah, maka Islam ini akan disusupi dengan berbagai macam penyimpangan dan kesesatan, sebagaimana yang telah menyebabkan tergelincirnya kelompok-kelompok sesat yang dahulu maupun yang sekarang. Wallahul musta’an. Kalau ada seseorang yang menyelisihi dalil yang jelas, lalu engkau menyampaikan kepadanya hujjah, lalu dia menjawab: “Ustadz saya lebih senior dari ustadz antum, apakah anda akan menerimanya?” Kalau ada yang menyelisihi dalil, lalu anda menasehatinya agar dia mengikuti dalil, lantas dia menjawab: “Naluri salafi saya menyatakan bahwa saya tetap berada di atas pendapat ini.” Apakah anda menerima alasan ini ? Saya berharap al akh Firanda sebagai da’i ‘senior’ bisa menjawab ini dengan hujjah dan tidak dengan nalurinya. Keenam: Sepertinya Firanda tidak bisa membedakan antara istilah fiqhul waqi’ yang dimasyhurkan oleh kalangan hizbiyyun, dengan kaidah “yang memiliki hujjah didahulukan ucapannya dari orang yang tidak memiliki hujjah”. Adapun fiqhul waqi’ yang dimaksudkan oleh hizbiyyun adalah anggapan mereka bahwa para ulama jangan mencukupkan dirinya hanya mempelajari kitab-kitab Salafiyyah dahulu yang hanya bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang telah lampau dan sudah punah. Sebab hal tersebut tidak akan bisa menyelesaikan perkara-perkara kekinian (kontemporer) dengan benar, karena penggambaran dan kenyataan di masa lampau berbeda kondisi dan realita yang ada di masa sekarang. Insya Allah perkara ini akan kami bahas di edisi berikutnya. Adapun kaidah : “yang memiliki ilmu merupakan hujjah atas yang tidak memiliki ilmu” maksudnya bahwa para ulama menghukumi sesuatu berdasarkan ilmu yang sampai kepadanya dan berdasarkan penggambaran (shurotul mas’alah) yang disampaikan kepada beliau (الحكم على الشيء فرع عن تصوره), sehingga ia mengeluarkan fatwa sesuai kondisi pertanyaan tersebut. Dan hal ini adalah perkara yang maklum semenjak zaman para Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in. Insya Allah, hal ini pun akan kita bahas di edisi depan. Namun satu hal yang cukup menunjukkan sikap “agak kenceng” dari sikap al akh Firanda, tatkala menyatakan bahwa bahwa “Kaum hizbiyyin menolak fatwa para ulama dengan alasan bahwa mereka tidak mengerti fiqhul waqi…….”, sebab diantara yang menuduh para ulama dengan tuduhan “tidak mengerti fiqhul waqi’”, adalah syaikh seniornya Ihya At-Turots, Abdurrahman Abdul Khaliq. “Ya memang benar, dia adalah salah seorang senior dari kalangan kaum hizbiyyin.!” (bersambung Insya Allah…) Footnote : [1] Yang saya maksudkan disini adalah perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama yang memang mereka pantas memiliki kedudukan tersebut. Bukan perbedaan antara ulama dengan yang dianggap sebagai ulama, namun bukan termasuk darinya. [2] Maksudnya bahwa beliau mendapatkan ilmu yang lebih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. [3] Dalam riwayat Bukhari, Ibnu Umar berkata: Abu Hurairah telah banyak (memberitakan hadits) kepada kami. [4] Al-Hadyus Sari,Al-Hafidz: 478.Siroh Al-Imam Al-Bukhari,Al-Allamah As-Syaikh Abdus Salam Al-Mubarokfuri,hal:46-47. [5] Yang mengherankan dari al akh Firanda, ia sering menukil ucapan Syaikhul Islam rahimahullah,namun tidak menukil ucapan beliau ini, lalu menyebutkan ucapan yang tidak didasari dengan dalil ataupun perkataan seseorang dari kalangan Salaf. Saya tidak tahu,apakah karena memang al akh Firanda belum membacanya, atau …? Wallahu a’lam. [6] HR. Malik, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dll, dilemahkan Al-Albani dalam Al-Irwa’:6/1680. [7] Yang dimaksud diyat adalah pembayaran yang diserahkan kepada wali orang yang dibunuh sebagai ganti dari darah yang terbunuh tersebut. [8] HR.At-Tirmidzi:4/1415, Abu Dawud:3/2927, An-Nasaa-i dalam Al-Kubra:4/6363,6364, Ibnu Majah:2/2642, Al-Muntaqo:966, Al-Maqdisi ,al-Makhtaroh:8/85, dll. Berkata Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”. [9] HR.Malik dalam Muwattha’,dan dari jalannya Imam Asy-Syafi’i,dan Al-Baihaqi. Riwayat ini dilemahkan Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa’: 5/1248. Namun telah diriwayatkan melalui jalur lain dari Bajalah bin Abdah berkata: “Umar radhiallahu tidak mengambil jizyah dari kaum Majusi, sehingga Abdurrahman bin Auf bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya dari Majusi Hajar.” HR.Bukhari, Asy-syafi’i,Abu Dawud,Tirmidzi,dll. Lihat Irwa’ Al-Gholil: 5/1249. [10] Satu kampung yang terletak antara Syam dan Hijaz. [11] Yang tentunya mereka adalah para Shahabat yang paling senior, radhiallahu anhum. [12] Perhatikanlah, jumlah para Shahabat radhiallahu anhum yang lebih banyak, namun tersamarkan oleh mereka sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Menunjukkan bahwa yang menjadi ‘ibrah – pelajaran- adalah riwayat dan bukan jumlah terbanyak, seperti yang disangka oleh Firanda dan orang-orang yang berpemikiran ala demokrasi, Allahul musta’an. [13] Dan tentunya tidak sesenior shahabat Umar radhiallahu anhu. Namun mereka – tidaklah seperti Firanda -, yang memegang kaidah : “Paling senior didahulukan ucapannya daripada yang senior (tanpa “paling”)”.Wallahul musta’an. [14] Dan kita pun tidak mengatakan bahwa hal ini merupakan tuduhan terhadap Umar raddhiallahu anhu bahwa beliau tidak mengerti fiqhul waqi’, seperti yang disangka oleh Firanda –semoga Allah mengembalikannya kepada Al-Haq-. [15] Muttafaq alaihi,dari Aisyah radhiallahu anha. Lihat pula takhrij hadits ini dalam Al-Irwa’:4:1047. [16] HR.Malik dalam Al-Muwattha’, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan yang lainnya dari Al-Furai’ah bintu Malik bin Sinan radhiallahu anha. Dan dilemahkan Al-Albani dalam Al-Irwa’: 7:2131. [17] HR.Baihaqi : 5/194. [18] HR.Abu Dawud: 1521.Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud : 1346. [19] Muttafaq alaihi dari hadits Subai’ah bintul Harits Al-Aslamiyyah. [20] Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan bagi Barwa’ bintu Wasyiq radhiallahu anha yang ditinggal mati suaminya, bahwa ia mendapatkan seluruh maharnya dan dia mendapatkan warisan, serta harus menunggu masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari. Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi:3/1145, Abu Dawud:2114, An-Nasaai: 3356, Ibnu Majah:1891, Ad-Darimi: 2/2246, Al-Baihaqi:7/245, dll, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu. Dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’:1939. [21] Disini nampak sekali bahwa Ibnu Taslim hendak mengaburkan permasalahan dan menyebutkan kaidah-kaidah umum untuk mengesankan kepada pembaca bahwa Syaikh Rabi’ dalam hal ini telah menetapkan hukum yang salah. Namun itu tidak dilakukannya secara transparan. Apakah bukti-bukti yang disebutkan oleh Syaikh Robi’ hafidzahullah dan yang lainnya tersebut tidak cukup bagi anda ? Semestinya kita membahas secara ilmiah dan jangan selalu menjadikan “masalah khilafiyah”, “suara terbanyak”, “naluri salafi” dan yang semisalnya sebagai tameng untuk menghindari pembahasan secara ilmiah dan dampak buruk masuknya Ihya’ At-Turots ke bumi Indonesia secara khusus dan ke berbagai negara lainnya. [22]Abdullah Taslim –semoga Allah memberi kepadanya dan kepada kita semua hidayah- menyebutkan dalam jawabannya kepada Abah Umair bahwa syaikh Shalih Alus Syaikh tergolong ulama yang paling senior, lalu menganggap Syaikh Rabi’ tidak termasuk ulama yang paling senior. Padahal Syaikh Rabi’ jauh lebih tua dari Syaikh Shalih Alus Syaikh hafidzhahumallah, Syaikh Rabi’ lahir pada tahun 1351 H, sedangkan Syaikh Alus Syaikh lahir pada tahun 1378 H. Berarti syaikh Rabi’ lebih tua dari Syakh Alus Syaikh 27 tahun. Entah apa yang menyebabkan Abdullah Taslim bertindak ‘nyeleneh’ seperti ini, apakah mungkin hanya karena salah tulis atau salah sangka, atau karena terlalu getol dalam melakukan pembelaannya terhadap Ihya at-Turots dan yang bermu’amalah dengannya, lalu merendahkan kedudukan seorang ‘alim yang terkenal kiprahnya dalam ilmu al-Jarh wat-Ta’dil ? Wallahu a’lam ma fi qolbihi. Dan bahkan Syaikh Rabi’ pun lebih tua dari Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dua tahun, karena Syaikh Abdul Muhsin lahir pada tahun 1353 H. Sehingga keduanya berada dalam satu thabaqah yang sama tingkat keseniorannya. Maka jika Syaikh Rabi’ pernah mengambil ilmu dari Syaikh Abdul Muhsin, maka hal tersebut termasuk dalam jenis riwayat bainal aqran, sebagaimana yang telah ma’ruf dalam pembahasan musthalah hadits. Walhasil, mereka semua adalah para ulama yang kita cintai. [23] Bukan maksud kami menukilkan ini untuk membahas tentang organisasi Al-Irsyad dan pendirinya, sebab itu membutuhkan pembahasan rinci. Namun maksud kami hanyalah meng “‘ilzam” Firanda dan yang bersamanya yang menetapkan kaidah bid’ah “kesenioran”. Adapun tentang Organisasi Al-Irsyad dan pendirinya, insya Allah akan kita bahas pada edisi-edisi selanjutnya.