Senin, 01 April 2013

Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan

Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan Oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman Allah telah menguji setiap hamba-Nya dengan ujian yang berbedabeda. Tidak ada sedikit pun dalam ujian tersebut, Allah l menzalimi mereka. Semua terjadi dan berjalan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Terjadinya, tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya, menghalanginya, mengubahnya, dan menggantikannya. Itulah ketentuan yang tidak akan berubah dan itulah sunnatullah yang tidak akan berganti. Termasuk ujian yang bersifat menyeluruh atas para hamba-Nya adalah dunia yang indah dan hijau ini, perhiasan yang selalu dilirik, kemegahan yang senantiasa dikejar. Tahukah Anda, di belakang gemerlap dan keindahannya yang memikat, tersimpan bencana dan penipuan yang besar? Cermati, lihat, dan belajarlah dari orang yang telah tenggelam di dalamnya. Dia mengira bahwa dunia ini diciptakan untuknya dan dia diciptakan untuk dunia. Lihat pula kemajuan yang telah diraih oleh negeri-negeri kafir, ternyata semua itu menjadi bumerang dan senjata makan tuan. Dunia telah memikat, menjerat, membungkam, meninabobokan, dan merongrong agama seseorang. Menurut al-Imam Ibnu Qayyim, dunia itu bagaikan seorang wanita pelacur yang tidak pernah puas dengan satu suami. Dia akan mencari laki- laki yang akan berbuat baik kepada dirinya dan dia tidak menyukai seorang lelaki yang pencemburu. Orang yang berjalan mengejar dunia bagaikan orang yang berjalan di daerah yang penuh binatang buas. Jika dia berenang ingin menggapainya, ia bagaikan orang yang mengejarnya dalam pusaran air yang penuh buaya.” (Lihat al-Fawaid karya Ibnul Qayyim hlm. 53) Allah Subhanahuwata’ala mencela Dunia وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Tiadalah kehidupan dunia selain kesenangan yang menipu.”( Al‘iI mran: 185) وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا, الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا “Berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit. Menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan karenanya di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Adalah Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh lebih baik pahalanya disisi Rabbmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45—46) زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ قُلْ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيْرٍ مِّن ذَٰلِكُمْ ۚ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaituwanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yangbaik(jannah/ surga). Katakanlah,‘Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baikdari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa( kepadaA llah),pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka di karuniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah, dan AllahMahaMelihat akan hamba-hamba-Nya.” (AliImran: 14-15) وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya?”( al- An’am: 32) إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya perumpamaan hidup dunia ini adalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai perhiasannya, serta para pemiliknya menyangka bahwa mereka sanggup menguasainya, tiba-tiba datanglah kepada mereka azab Kami diwaktu malam atau siang. KemudianKami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orangyang berpikir.” (Yunus: 24) وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ “Tidaklah kehidupan dunia ini selain senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itu sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (al-‘Ankabut: 64) إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ “Sesungguhnyajanji-janji Alla itu benar , maka janganlah kehidupan dunia menipu kalian dan jangan sekali-kali setan menipu kalian dijalan Allah.” (Luqman: 33) Ketika membahas tafisr surat al-Fath, as-Sa’di menerangkan, “Ini adalah bentuk pendidikan kezuhudan dari Allah l kepada segenap hamba-Nya terhadap kehidupan dunia, yakni dengan memberi tahu mereka tentang hakikat dunia. Sesungguhnya dunia itu adalah main-main dan sia-sia. Main main dalam urusan badan dan sia-sia dalam urusan hati. Seorang hamba senantiasa berada dalam kelalaian karena urusan harta, anak-anak, perhiasan, dan segala bentuk kelezatannya, baik dari sisi wanita, makanan, minuman, tempat tinggal, tempat peristirahatan, pemandangan, maupun kepemimpinan. Sia-sia dalam setiap amal yang tidak ada faedahnya. Bahkan, dia berada dalam kemalasan, kelalaian, dan kemaksiatan sampai dunianya terpenuhi dan ajalnya datang menghampiri. Hal ini menuntut orang yang berakal untuk bersikap zuhud terhadap dunia, tidak mencintainya, dan benar-benar mewaspadainya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 790) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mencela Dunia Diriwayatkan dari Jabir , Rasulullah melewati sebuah pasar di daerah Awali dan orang-orang berada di sekelilingnya. Beliau melewati seekor anak kambing yang telah mati. Anak kambing itu bertelinga kecil. Beliau mengambilnya dan memegang telinganya lalu berkata, “Siapa yang mau membelinya dengan harga satu dirham?” Mereka menjawab, “Siapa di antara kami yang senang memilikinya? Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau berkata, “Apakah kalian senang memilikinya?” Mereka berkata, “Jikapun dia hidup, dia tetaplah cacat. Lantas bagaimana lagi ketika dia sudah mati?” Beliau bersabda, “Demi Allah, dunia lebih hina di hadapan Allah daripada hinanya (bangkai) ini di hadapan kalian.” (HR. Muslim no. 5257) إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau(enak rasanya dan menyenangkan tatkala dipandang), dan sungguh Allah mengangkat kalian silih berganti dengan yang lain didunia ini, lantas Dia akan melihat apayangkalian perbuat(dengan duniaitu). Oleh karena itu, hati-hatilah kalian terhadap urusan dunia dan wanita, karena awal petaka yang menimpa Bani Israil adalah dalam halwanita.” (HR. Muslim no. 4925 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu ) وَاللهِ، مَا الدُّنْيَا فِي ا خْآلِرَةِ إِ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ-وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ فِي الْيَمِّ-فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ “Demi Allah, tidaklahdunia dibandingkan dengan akhirat selain seperti seseorang yang meletakkan jarinya ini—Yahya, salah seorangperawi, mengisyaratkan dengan telunjuknya ke dalam air—hendaknya dia melihat apa yang ada dijarinya tersebut.” (HR. Muslim no. 5101 dari sahabat al- Mustaurid radhiyallahu anhu ) إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ “Setiap umat ditimpa oleh ujian, dan ujian yang akan menimpa umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2258 dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu anhu ) عَلَى حَصِيرٍ فَقَامَ وَقَدْ نَامَ رَسُولُ اللهِ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوِ اتَّخَذْنَا لَكَ وِطَاءً؟ فَقَالَ: مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا Rasulullah tidur diatas sebuah tikar. Tikar tersebut membekas di bagian lambung beliau. Lantas kami mengatakan,“Wahai Rasululah, bolehkah kami membuatkan kasur?” Beliau bersabda,“Tiadalah saya dengan dunia selain seperti orang yang bepergian lalu berteduh dibawah pohon kemudian dia pergi meninggalkannya.”( HR.a t-Tirmidzi no. 2299 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu ) مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ “Tidaklah dua ekor serigala dalam keadaan lapar dilepas pada sekawanan kambing akan lebih merusak dibandingkan dengan ambisi harta dan kedudukan terhadap agama seseorang.”(HR. at-Tirmidzi no. 2298 dari sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu ) Allah Subhanawata’ala telah menyebutkan dunia pada banyak tempat dalam kitab suci- Nya dalam rangka menghinakannya, demikian pula Rasul-Nya di dalam as-Sunnah. Tentu tujuannya agar para hamba tidak tertipu dan terlena. Dalam hal menanggapi berita dari Allah Subhanahuwata’ala dan menyikapi pengutusan imam para rasul, Nabi Muhammad, manusia terbagi menjadi beberapa golongan. 1. Golongan yang acuh tak acuh terhadap peringatan tersebut. Mereka tidak mau tahu tentangnya. Yang penting, segala hasratnya terpenuhi, semua keinginannya terwujud, dan citacitanya tercapai. 2. Golongan yang mau mendengarkan berita dari Pemilik dunia ini, Yang mengatur dan Yang menciptakannya. Namun, karena dorongan hawa nafsunya yang besar, semua berita itu tidak memiliki nilai kesakralan dan keabsahan. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telingakiri. 3. Golongan yang mendengar,mematuhi, dan melaksanakan segala apa yang diwahyukan oleh Allah tentang dunia. Dia berusaha mendudukkan dunia dan menjadikannya sebagai alat bantu untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah. Dia mencarinya karena melaksanakan tugas. Apabila dia mendapatkannya, dia tidak tergolong orang yang kufur. Sebaliknya, apabila tidak mendapatkannya,dia tidak tergolong orang yang putus asa. Dia mengetahui bahwa dunia ini adalah kenikmatan yang semu dan menipu. Dunia, Sumber Malapetaka Tidak samar lagi bagi orang yang berakal tentang bahaya dunia terhadap kehidupan manusia ketika dunia itu tidak ditundukkan untuk membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Dunia telah menyebabkan turunnya berbagai bentuk peringatan dari Allah .Dunia menjadi sebab hancurnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Dunia pula yang menghancurkanpersatuan dan kesatuan umat sehingga berujung pada malapetaka kelemahan, (yang dengan sebab itu) mereka kemudian dihinakan oleh musuh Allah.Dunia telah menjadikan seseorang terhina dan menghinakan diri. Dunia telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Dunia telah menyebabkan hilangnya nyawa, terhinakannya kehormatan, dan hancurnya harta benda. Dunia telah menjadikan seseorang buta dari kebenaran, dia menolaknya karena dunia, menentangnya karena dunia, dan memeranginya karena dunia. Dunia telah menjadikan hati seseorang mati. Dunia adalah asal segala malapetaka. Dunia, Sebab Utama Menolak Kebenaran Kebenaran datang dari Allah dan tidak ada setelah kebenaran tersebut selain kesesatan. Terangnya kebenaran dan jelasnya jalan kebatilan bagi sebagian kalangan bisa menjadi tersembunyi. Bahkan, terangnya kebenaran itu akan ditolak oleh orang yang dibutakan oleh dunia. Tidak ada keraguan lagi bahwa setiap nafsu memiliki berbagai keinginan yang tercela, seperti cinta kepada dunia, mencari ketinggian, berlomba-lomba di hadapan makhluk, mencari kedudukan, dan sebagainya. Ditambah lagi, manusia memiliki tabiat zalim dan melampaui batas. Allah berfirman, إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا “Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat zalim dan jahil.”( al-Ahzab:7 2) Terkadang, banyak sebab yang mendorong sifat yang tersimpan pada diri setiap manusia itu muncul. Di antaranya adalah hawa nafsu sehingga dia menolak kebenaran padahal dia mengilmuinya. Sikap ini muncul karena ia mengikuti hawa nafsu dan menuntut kemuliaannya terjaga atau ingin memperoleh sedikit dunia. Anda bisa menemukan mereka dalam kondisi menyelisihi kebenaran, padahal mereka mengetahuinya, karena ingin memperoleh dunia. Mereka berteriak seolah-olah pembela kebenaran. Abu Wafa’ Ali bin ‘Aqil al-Hambali berkata, “Cinta kepada pamor dan condong kepada dunia, berbanggabangga, bermegah-megahan, dan menyibukkan diri dengan segala bentuk kelezatan dunia dan segala hal yang akan mendorong kepada kemewahan, semua itu bisa menjadi sebab seseorangberpaling dan menolak kebenaran.” (al-Wadhih fi Ushulil Fiqh, 1/522) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pencari kedudukan, walaupun dengan kebatilan, akan menyukai satu kalimat yang mengagungkan dirinya sekalipun itu batil. Sebaliknya, ia akan membenci ucapan yang mencelanya, kendati hal itu benar. Adapun orang yang beriman mencintai kalimat yang haq untuknya meskipun itu “menyerangnya”, serta membenci kedustaan dan perbuatan zalim.”(Majmu’ al-Fatawa 10/600) Al-’Allamah Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh berkata tentang orang-orang yang berpaling dari kebenaran, “Golongan yang kedua, para pemimpin dan pemilik harta benda yang telah tenggelam dalam dunia dan syahwat mereka. Sebab, mereka mengetahui bahwa kebenaran bisa menghalangi mereka dari segala keinginan, kesenangan, dan syahwat mereka. Mereka tidak memedulikan segala bentuk seruan menuju kebenaran dan tidak mau menerimanya.” (Uyun ar-Rasail hlm. 2/650) Perilaku setiap orang yang berpaling dari kebenaran karena harta, kedudukan, atau pamor, mirip dengan perilaku orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ulama-ulama Yahudi memiliki “sumber” penghidupan pada orang-orang kaya kaumnya. Oleh karena itu, saat Rasulullah datang membawa kebenaran, mereka mengetahui bahwa yang dibawanya adalah haq. Namun, karena dunialah mereka mengingkari dan mengkufurinya. Mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dari bani Israil. Dunia, Sebab Utama Kesesatan Saat menafsirkan firman Allah l, وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا “Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit.” (al-Baqarah: 41) Abul Muzhaffar as-Sam’ani berkata, “Mereka adalah para ulama Yahudi dan para pendeta yang telah memiliki sumber penghasilan dari orang-orang kaya mereka dan orang-orang jahil yang mengikuti mereka. Mereka khawatir penghasilan tersebut hilang apabila mereka beriman kepada Muhammad, Rasulullah. Akhirnya, mereka mengubah ciriciri beliau (yang tercantum dalam kitab mereka, red.) dan menyembunyikan nama beliau. Inilah makna menjual ayat-ayat Allah dengan harga sedikit.” (Tafsir al-Qur’an 1/22) Kedudukan, kewibawaan, dan kepemimpinan juga telah melandasi para pemuka Quraisy untuk mengingkari Nabi Muhammad, memerangi, dan memusuhinya. Bersamaan dengan itu, mereka mengetahui dan mengakui kebenaran yang diserukan beliau. Al-Miswar bin Makhramah berkata kepada Abu Jahl, pamannya, “Wahai pamanku, apakah kalian menuduh Muhammad berdusta sebelum dia mendakwahkan apa yang diserukan?” Abu Jahl berkata, “Hai anaksaudaraku. Demi Allah, sungguh saat mudanya, di tengah-tengah kami dia dikenal sebagai seorang yang tepercaya (jujur). Kami tidak pernah mengetahui dia berdusta. Tentu setelah bertambah usia dia tidak mungkin akan berdusta atas nama Allah.” Al-Miswar berkata, “Hai pamanku, mengapa kalian tidak mengikutinya?” Dia berkata, “Hai anak saudaraku, kami telah berselisih dengan bani Hasyim dalam hal kepemimpinan. Mereka memberi makan (orang-orang), kami juga memberi makan. Mereka memberi minum, kami pun memberi minum. Mereka memberi perlindungan, kami juga melakukannya. Tatkala kami saling berlomba-lomba, bani Hasyim berkata, ‘Dari kami ada seorang nabi. Kapan kalian mendapatkannya?’.” (Lihat Miftah Daar as-Sa’adah 1/93) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Meskipun Abu Thalib mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan dia mencintainya, cintanya bukan karena Allah l, melainkan karena dia adalah anak saudaranya. Dia mencintainya karena kekerabatan. Kalaupun dia membela beliau, itu karena ingin memperoleh kedudukan dan kepemimpinan. Jadi, asal muasal cintanya adalah karena sebuah kedudukan. Hal itu terbukti saat Rasulullah menawarinya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat menjelang ajalnya. Dia melihat bahwa mengikrarkannya akan melenyapkan agama yang dicintainya. Agamanya lebih dia cintai daripadaanak saudaranya. Oleh karena itu, dia menolak mengikrarkannya.” (Fatawa Kubra’ 6/244) Asy – Syaukani berkata ,“Terkadang, sebuah ucapan yang haq ditinggalkan karena seseorang ingin menjaga apa yang telah dia peroleh dari negaranya baik berbentuk materi maupun kedudukan. Bahkan, terkadang ucapan yang haq itu ditinggalkan karena berbeda dengan apa yang terjadi di tengah tengah manusia, dalam rangka mencari simpati mereka dan agar mereka tidak lari. Terkadang pula, dia meninggalkan ucapan yang benar karena ketamakannya terhadap apa yang diharapkan dari negaranya atau dari banyak orang di kemudian hari.” (Adabuath-Thalib wa Muntaha al-Arb hlm. 41) Al-Imam Ibnu Qayyim berkata, “Saya telah berdialog dengan ulama Nasrani yang kelasnya terpandang pada hari ini. Saat jelas kebenaran dihadapannya, dia terdiam. Saya berkata kepadanya tatkala menyendiri dengannya, ‘Sekarang, apa yang menghalangi Anda untuk menerima kebenaran?’ Dia berkata kepadaku, ‘Apabila saya datang ke tengah-tengah kaum Himyar, mereka menaburkan bunga yang semerbak di bawah kaki kendaraanku. Mereka menjadikanku sebagai hakim dalam urusan harta benda dan istri mereka. Mereka tidak pernah menentang segala hal yang aku perintahkan. Aku ini tidak punya keahlian untuk bekerja. Aku tidak bisa menghafal al-Qur’an, tidak pula mengetahui ilmu nahwu dan fikih. Andaikan aku masuk Islam, niscaya aku akan berkeliling di pasar-pasar, meminta-minta kepada orang banyak. Siapa yang tega hal itu terjadi?’ Aku mengatakan, ‘Itu tidak akan terjadi. Bagaimana sangkaan Anda kepada Allah l saat Anda mengutamakan ridha-Nya di atas nafsu Anda, apakah Dia akan menghinakan, merendahkan, dan menjadikan Anda miskin? Jika hal itu benar-benar menimpa Anda, kebenaran yang telah Anda raih, keselamatan dari neraka, murka, dan marah Allah adalah harga yang jauh lebih pantas dibandingkan dengan apa yang luput dari Anda.’ Dia berkata, ‘Sampai Allah merestui.’ Saya lalu berkata, ‘Takdir bukan alasan. Jika takdir bisa menjadi alasan, tentu takdir bisa menjadi alasan orang orangYahudi saat mendustakan Nabi Isa . Demikian pula, dia akan menjadi hujah bagi kaum musyrikin ketika mendustakan seruan Rasulullah. Kalian sendiri menolak takdir, bagaimana bisa kalian berhujah dengannya?’ Dia berkata, ‘Biarkan kami dari ini.’ Diapun terdiam.”(Hidayatul HayarafiAjwibatil YahudiwanNashara hlm. 12) Sumber: http://asysyariah.com/ketika-dunia-menjadi-harga-keyakinan.html

”Bersegera Menuju Zikrullah “

”Bersegera Menuju Zikrullah “ (Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal) يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ اِنْكُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ۝ فَإِذَاقُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْفِى الْأَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللهِ واذْكُرُوْا اللهَ كَثِيْرً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ۝ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan banyak-banyak mengingat Allah supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah : 9-10) Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat يَوْمِ الْجُمُعَةِ Kata “jumu’ah” dibaca oleh mayoritas ahli qira’ah dengan huruf mim yang didhammah. Abdullah bin Zubair, al-A’masy, dan yang lainnya membacanya dengan huruf mim yang disukun (الجُمْعَة). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia berkata, “Al-Qur’an diturunkan dengan bacaan tatsqil (yang diberatkan) dan tafkhim (ditebalkan), maka bacalah ,الجُمُعَة (yaitu dengan mim yang didhammah).” (Tafsir al-Qurthubi, 460/20) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Hari Jum’at disebut Jum’at karena ia berasal dari kata jam’u, yaitu berkumpul. Sebab, kaum muslimin berkumpul pada hari itu setiap pekan sekali di tempat-tempat ibadah yang besar. Pada hari itu disempurnakan penciptaan makhluk, karena ia adalah hari keenam dari enam hari saat Allah Subhanahu wata’ala menciptakan langit dan bumi. Pada hari itu Adam ‘alaihis salam diciptakan. Pada hari itu pula ia dimasukkan ke dalam surga, serta pada hari itu dia dikeluarkan. Pada hari itu hari kiamat terjadi, dan pada hari itu terdapat waktu yang tidaklah bertepatan dengan seorang hamba mukmin yang memohon kebaikan kepada Allah Subhanahu wata’ala kecuali Allah Subhanahu wata’ala pasti mengabulkannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang sahih.” (Tafsir Ibnu Katsir, 10/558) Tafsir Ayat يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآ “Hai orang-orang yang beriman.” Allah Subhanahu wata’ala mengarahkan firman-Nya kepada kaum mukminin, maka sepantasnya setiap muslim menyimak apa yang akan difirmankan-Nya. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala berfirman untuk kaum mukminin secara khusus tentang hari Jum’at, tanpa menyebut orang-orang kafir, sebagai bentuk kemuliaan dan penghormatan terhadap mereka.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Jika Engkau mendengar Allah Subhanahu wata’ala berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman’, pasanglah pendengaranmu. Sebab, padanya terkandung kebaikan yang engkau diperintahkan melakukannya atau keburukan yang engkau dilarang darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/255) Panggilan untuk kaum mukminin dalam ayat ini terkhusus bagi para mukallaf yang terkena kewajiban untuk melaksanakan shalat Jum’at, berdasarkan ijma’ para ulama. (Tafsir al-Qurthubi) Orang yang tidak terkena kewajiban, tidak termasuk dalam keumuman ayat ini. Diriwayatkan dari sahabat Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِامْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ “Jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat golongan: budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang sakit.” (HR. Abu Dawud no. 1067 dengan sanad yang sahih) Demikian pula halnya dengan musafir karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan safar bersama para sahabatnya, namun tidak diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan shalat Jum’at bersama sahabatnya dalam perjalanan safar. Bahkan, bertepatan dengan hari Jum’at di Arafah pada saat haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat zhuhur dan ashar secara jamak, namun tidak melaksanakan shalat Jum’at. إِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ “Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at.” Ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud panggilan di dalam ayat ini adalah azan di hari Jum’at. Ibnul Arabi rahimahullah berkata, “Sebutan ‘pada hari Jum’at’ memberi faedah tersebut. Sebab, panggilan azan yang khusus pada hari itu adalah panggilan untuk shalat tersebut (shalat Jum’at, -pen.). Adapun shalat lainnya bersifat umum pada seluruh hari. Kalaulah yang dimaksud oleh ayat ini bukan panggilan azan Jum’at, maka pengkhususan sebutan Jum’at dan penyandaran hari tersebut kepadanya menjadi tidak bermakna dan tidak berfaedah.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463) Penyebutan “dipanggil untuk shalat” menunjukkan bahwa kewajiban Jum’at terkhusus bagi yang mendengar panggilan azan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْجُمُعَةُ عَلَى كُلِّ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ “Jum’at itu wajib bagi setiap yang mendengarkan panggilan azan.” (HR. Abu Dawud no. 1056, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini diperselisihkan tentang marfu’ atau mauquf-nya dari ucapan Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma. Namun, al-Albani menyatakan bahwa riwayat ini hasan secara marfu’ dalam Shahih Abi Dawud) Para fuqaha berselisih tentang jarak seorang muslim yang terkena kewajiban shalat Jum’at. Ada yang berpendapat enam mil, ada pula yang berpendapat empat mil, ada lagi yang mengatakan tiga mil. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Ukuran seseorang mendengar azan adalah jika seorang muazin suaranya lantang, dalam kondisi hening, dan angin bertiup tenang, muazin berdiri di pagar batas kampung.” Al-Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah berkata, “Wajib shalat Jum’at bagi yang mendengar panggilan azan.” (Tafsir al-Qurthubi : 20/469) Azan yang dimaksud di dalam ayat ini adalah azan yang menunjukkan masuknya waktu shalat, bukan azan tambahan yang dilakukan oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Yang dimaksud azan di sini adalah azan ketika imam duduk di atas mimbar pada hari Jum’at, sebab tidak ada azan lain pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selain itu.” (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 5/301) فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ “Bersegeralah menuju zikrullah.” Bersegera yang dimaksud di sini diterangkan oleh al-Allamah as-Sa’di rahimahullah, “Yang dimaksud as-sa’yu (bersegera) di sini adalah bersegera menuju shalat Jum’at dan menjadikannya sebagai hal yang penting dan yang paling diperhatikan, bukan melangkah dengan cepat menuju shalat yang telah dilarang.” (Taisir al-Karim ar-Rahman) Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan umatnya untuk bersegera sedini mungkin berada di masjid pada hari Jum’at. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَ ئَالِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub lalu berangkat (menuju shalat Jum’at), seakan-akan dia bersedekah seekor unta. Barang siapa berangkat pada waktu yang kedua, seakan-akan dia bersedekah seekor sapi. Barangsiapa datang pada waktu yang ketiga, seakan-akan dia bersedekah seekor domba. Barang siapa datang pada waktu yang keempat, seakan-akan dia bersedekah seekor ayam. Barang siapa datang pada waktu kelima, seakan-akan dia bersedekah sebutir telur. Jika imam telah keluar, para malaikat pun hadir untuk mendengar zikir.” (HR. al-Bukhari, hlm. 841) Adapun berjalan dengan cepat atau berlari, dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau, إِذَا أُقِيمَتِ الصَّ ةَالُ فَ تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ، عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا “Jika telah ditegakkan shalat, janganlah kalian mendatanginya dengan berlari, datangilah dengan berjalan. Hendaklah kalian menjaga ketenangan. Apa yang kalian dapatkan, shalatlah! Apa yang kalian tertinggal, sempurnakanlah!” (Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Ibnu Juraij radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya kepada Atha’ tentang firman Allah Subhanahu wata’ala, فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ “Bersegeralah menuju zikrullah.” Beliau menjawab, “Pergi dengan berjalan.” (Riwayat Abdurrazzaq dalam Mushannaf, no. 5347) Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, as-sa’yu yang disebut dalam kitabullah adalah beramal dan berbuat.” (al-Muwaththa, 1/106) Para ulama berbeda pendapat tentang makna “zikrullah” dalam ayat ini. Ada yang berkata bahwa maknanya adalah shalat. Ada pula yang mengatakan, maknanya adalah khutbah dan nasihat, dan ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair rahimahullah. Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata, “Yang sahih, semua itu adalah wajib, dan awalnya adalah khutbah. Inilah yang menjadi pendapat para ulama kami, selain Ibnul Majisyun yang berpendapat sunnah. Dalil yang menunjukkan wajibnya; bahwa bersegera menuju zikrullah mengharamkan jual beli. Kalaulah bukan karena wajibnya, tentu jual beli tidak akan diharamkan. Sebab, sesuatu yang mustahab tidak bisa mengharamkan sesuatu yang hukumnya mubah.”(Tafsir al-Qurthubi, 20/474) وَذَرُواالْبَيْعَ “Tinggalkan jual beli!” As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tinggalkanlah jual beli jika telah dikumandangkan azan dan bersegeralah menuju shalat.” (Taisir al-Karim ar-Rahman) Disebutkan “jual beli” pada ayat di atas karena mayoritas kesibukan orang pasar adalah berjual beli. Akan tetapi, ayat ini mencakup segala jenis kesibukan yang menghalangi seseorang menuju zikrullah. Al-Allamah asy-Syaukani rahimahullah menerangkan, “Tinggalkan muamalah jual beli, dan segala bentuk muamalah diikutkan pula hukumnya.” (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 5/302) Ibnul Arabi rahimahullah berkata, “Alasan jual beli dilarang adalah karena menyibukkan (dari bersegera menuju shalat Jum’at, -pen.). Maka dari itu, setiap perkara yang menyibukkan dari pelaksanaan Jum’at, yaitu seluruh jenis akad, diharamkan secara syariat dan dibatalkan akadnya sebagai bentuk hukuman.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/475) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, para ulama sepakat tentang diharamkannya jual beli setelah dikumandangkan azan kedua.” (Tafsir Ibnu Katsir, 13/563) Yang dimaksud azan kedua yaitu azan yang menunjukkan masuknya waktu Jum’at, yaitu saat khatib telah duduk di atas mimbar. Adapun azan pertama adalah azan yang dilakukan pada zaman Utsman radhiyallahu ‘anhu, dilakukan sebelum masuk waktunya. Sahkah jual beli setelah Dikumandangkan Azan yang Menunjukkan Masuknya Waktu? Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hokum sahnya jual beli saat azan Jum’at yang menunjukkan masuknya waktu telah dikumandangkan. Perbedaan ini lahir dari sebuah kaidah yang menjadi perselisihan pula dalam penerapannya, yaitu, النَّهْيُ يَقْتَضِي الْفَسَادَ “Larangan menunjukkan rusaknya sebuah amalan.” Menurut penelitian, jika ada larangan dalam sebuah amalan, ada beberapa keadaan : 1. Larangan tersebut kembali kepada ibadah itu sendiri atau kepada syaratnya, maka amalan tersebut hukumnya batil dan tidak sah. Di antara contoh masalah ini adalah larangan shalat pada waktu terlarang, shalat membelakangi kiblat, shalat dalam keadaan berhadats, shalat tanpa thuma’ninah, berpuasa pada waktu terlarang seperti hari raya, atau menikah tanpa wali. Ibadah-ibadah tersebut hukumnya batil dan tidak sah. 2. Larangan yang dilakukan tersebut tidak bersentuhan langsung dengan inti ibadah atau syarat dan rukunnya, maka ibadah yang dikerjakannya sah namun dia melakukan perbuatan dosa. Di antara contoh hal ini adalah berwudhu menggunakan bejana emas dan perak, atau shalat memakai serban dari kain sutra, padahal memakai bejana emas dan perak serta mengenakan sutra bagi pria itu terlarang. Ibadahnya sah, namun dia melakukan perbuatan dosa. Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ini adalah mazhab ulama dari dahulu hingga sekarang.” (Lihat Syarah Qawa’id al-Manzhumah al-Fiqhiyah, karya al-Allamah as-Sa’di, hlm. 54; Syarah Qawa’id al-Manzhumah al-Fiqhiyah as-Sa’diyah, karya asy-Syaikh Sa’d asy-Syitsri, hlm. 110; Syarah al-Ushul min Ilmil Ushul, Ibnu Utsaimin, hlm. 135-136) Ketika kaidah ini diterapkan pada hukum jual beli saat azan Jum’at yang menunjukkan masuknya waktu telah dikumandangkan, ternyata larangan ini kembali kepada inti jual beli itu sendiri. Dengan demikian, jual beli tersebut hukumnya batil dan tidak sah. Al-Qurthubi rahimahullah menerangkan, “Yang sahih, jual beli itu rusak dan tidak sah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Setiap amalan yang tidak berdasarkan aturan kami maka ia tertolak.’ Wallahua’lam.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/475) Hanya saja, dikecualikan dalam hal ini adalah jual beli yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at, seperti wanita dan musafir, maka hukum jual belinya sah. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Orang yang tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at tidak dilarang melakukan jual beli.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/474) Wallahu a’lam bish-shawab. Sumber : http://asysyariah.com

”Bersegera Menuju Zikrullah “

”Bersegera Menuju Zikrullah “ (Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal) يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ اِنْكُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ۝ فَإِذَاقُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْفِى الْأَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللهِ واذْكُرُوْا اللهَ كَثِيْرً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ۝ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan banyak-banyak mengingat Allah supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah : 9-10) Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat يَوْمِ الْجُمُعَةِ Kata “jumu’ah” dibaca oleh mayoritas ahli qira’ah dengan huruf mim yang didhammah. Abdullah bin Zubair, al-A’masy, dan yang lainnya membacanya dengan huruf mim yang disukun (الجُمْعَة). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia berkata, “Al-Qur’an diturunkan dengan bacaan tatsqil (yang diberatkan) dan tafkhim (ditebalkan), maka bacalah ,الجُمُعَة (yaitu dengan mim yang didhammah).” (Tafsir al-Qurthubi, 460/20) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Hari Jum’at disebut Jum’at karena ia berasal dari kata jam’u, yaitu berkumpul. Sebab, kaum muslimin berkumpul pada hari itu setiap pekan sekali di tempat-tempat ibadah yang besar. Pada hari itu disempurnakan penciptaan makhluk, karena ia adalah hari keenam dari enam hari saat Allah Subhanahu wata’ala menciptakan langit dan bumi. Pada hari itu Adam ‘alaihis salam diciptakan. Pada hari itu pula ia dimasukkan ke dalam surga, serta pada hari itu dia dikeluarkan. Pada hari itu hari kiamat terjadi, dan pada hari itu terdapat waktu yang tidaklah bertepatan dengan seorang hamba mukmin yang memohon kebaikan kepada Allah Subhanahu wata’ala kecuali Allah Subhanahu wata’ala pasti mengabulkannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang sahih.” (Tafsir Ibnu Katsir, 10/558) Tafsir Ayat يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآ “Hai orang-orang yang beriman.” Allah Subhanahu wata’ala mengarahkan firman-Nya kepada kaum mukminin, maka sepantasnya setiap muslim menyimak apa yang akan difirmankan-Nya. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala berfirman untuk kaum mukminin secara khusus tentang hari Jum’at, tanpa menyebut orang-orang kafir, sebagai bentuk kemuliaan dan penghormatan terhadap mereka.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Jika Engkau mendengar Allah Subhanahu wata’ala berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman’, pasanglah pendengaranmu. Sebab, padanya terkandung kebaikan yang engkau diperintahkan melakukannya atau keburukan yang engkau dilarang darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/255) Panggilan untuk kaum mukminin dalam ayat ini terkhusus bagi para mukallaf yang terkena kewajiban untuk melaksanakan shalat Jum’at, berdasarkan ijma’ para ulama. (Tafsir al-Qurthubi) Orang yang tidak terkena kewajiban, tidak termasuk dalam keumuman ayat ini. Diriwayatkan dari sahabat Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوِامْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ “Jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat golongan: budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang sakit.” (HR. Abu Dawud no. 1067 dengan sanad yang sahih) Demikian pula halnya dengan musafir karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan safar bersama para sahabatnya, namun tidak diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan shalat Jum’at bersama sahabatnya dalam perjalanan safar. Bahkan, bertepatan dengan hari Jum’at di Arafah pada saat haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat zhuhur dan ashar secara jamak, namun tidak melaksanakan shalat Jum’at. إِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ “Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at.” Ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud panggilan di dalam ayat ini adalah azan di hari Jum’at. Ibnul Arabi rahimahullah berkata, “Sebutan ‘pada hari Jum’at’ memberi faedah tersebut. Sebab, panggilan azan yang khusus pada hari itu adalah panggilan untuk shalat tersebut (shalat Jum’at, -pen.). Adapun shalat lainnya bersifat umum pada seluruh hari. Kalaulah yang dimaksud oleh ayat ini bukan panggilan azan Jum’at, maka pengkhususan sebutan Jum’at dan penyandaran hari tersebut kepadanya menjadi tidak bermakna dan tidak berfaedah.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463) Penyebutan “dipanggil untuk shalat” menunjukkan bahwa kewajiban Jum’at terkhusus bagi yang mendengar panggilan azan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْجُمُعَةُ عَلَى كُلِّ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ “Jum’at itu wajib bagi setiap yang mendengarkan panggilan azan.” (HR. Abu Dawud no. 1056, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini diperselisihkan tentang marfu’ atau mauquf-nya dari ucapan Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma. Namun, al-Albani menyatakan bahwa riwayat ini hasan secara marfu’ dalam Shahih Abi Dawud) Para fuqaha berselisih tentang jarak seorang muslim yang terkena kewajiban shalat Jum’at. Ada yang berpendapat enam mil, ada pula yang berpendapat empat mil, ada lagi yang mengatakan tiga mil. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Ukuran seseorang mendengar azan adalah jika seorang muazin suaranya lantang, dalam kondisi hening, dan angin bertiup tenang, muazin berdiri di pagar batas kampung.” Al-Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah berkata, “Wajib shalat Jum’at bagi yang mendengar panggilan azan.” (Tafsir al-Qurthubi : 20/469) Azan yang dimaksud di dalam ayat ini adalah azan yang menunjukkan masuknya waktu shalat, bukan azan tambahan yang dilakukan oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Yang dimaksud azan di sini adalah azan ketika imam duduk di atas mimbar pada hari Jum’at, sebab tidak ada azan lain pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selain itu.” (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 5/301) فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ “Bersegeralah menuju zikrullah.” Bersegera yang dimaksud di sini diterangkan oleh al-Allamah as-Sa’di rahimahullah, “Yang dimaksud as-sa’yu (bersegera) di sini adalah bersegera menuju shalat Jum’at dan menjadikannya sebagai hal yang penting dan yang paling diperhatikan, bukan melangkah dengan cepat menuju shalat yang telah dilarang.” (Taisir al-Karim ar-Rahman) Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan umatnya untuk bersegera sedini mungkin berada di masjid pada hari Jum’at. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَ ئَالِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub lalu berangkat (menuju shalat Jum’at), seakan-akan dia bersedekah seekor unta. Barang siapa berangkat pada waktu yang kedua, seakan-akan dia bersedekah seekor sapi. Barangsiapa datang pada waktu yang ketiga, seakan-akan dia bersedekah seekor domba. Barang siapa datang pada waktu yang keempat, seakan-akan dia bersedekah seekor ayam. Barang siapa datang pada waktu kelima, seakan-akan dia bersedekah sebutir telur. Jika imam telah keluar, para malaikat pun hadir untuk mendengar zikir.” (HR. al-Bukhari, hlm. 841) Adapun berjalan dengan cepat atau berlari, dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau, إِذَا أُقِيمَتِ الصَّ ةَالُ فَ تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ، عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا “Jika telah ditegakkan shalat, janganlah kalian mendatanginya dengan berlari, datangilah dengan berjalan. Hendaklah kalian menjaga ketenangan. Apa yang kalian dapatkan, shalatlah! Apa yang kalian tertinggal, sempurnakanlah!” (Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Ibnu Juraij radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya kepada Atha’ tentang firman Allah Subhanahu wata’ala, فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ “Bersegeralah menuju zikrullah.” Beliau menjawab, “Pergi dengan berjalan.” (Riwayat Abdurrazzaq dalam Mushannaf, no. 5347) Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, as-sa’yu yang disebut dalam kitabullah adalah beramal dan berbuat.” (al-Muwaththa, 1/106) Para ulama berbeda pendapat tentang makna “zikrullah” dalam ayat ini. Ada yang berkata bahwa maknanya adalah shalat. Ada pula yang mengatakan, maknanya adalah khutbah dan nasihat, dan ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair rahimahullah. Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata, “Yang sahih, semua itu adalah wajib, dan awalnya adalah khutbah. Inilah yang menjadi pendapat para ulama kami, selain Ibnul Majisyun yang berpendapat sunnah. Dalil yang menunjukkan wajibnya; bahwa bersegera menuju zikrullah mengharamkan jual beli. Kalaulah bukan karena wajibnya, tentu jual beli tidak akan diharamkan. Sebab, sesuatu yang mustahab tidak bisa mengharamkan sesuatu yang hukumnya mubah.”(Tafsir al-Qurthubi, 20/474) وَذَرُواالْبَيْعَ “Tinggalkan jual beli!” As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tinggalkanlah jual beli jika telah dikumandangkan azan dan bersegeralah menuju shalat.” (Taisir al-Karim ar-Rahman) Disebutkan “jual beli” pada ayat di atas karena mayoritas kesibukan orang pasar adalah berjual beli. Akan tetapi, ayat ini mencakup segala jenis kesibukan yang menghalangi seseorang menuju zikrullah. Al-Allamah asy-Syaukani rahimahullah menerangkan, “Tinggalkan muamalah jual beli, dan segala bentuk muamalah diikutkan pula hukumnya.” (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 5/302) Ibnul Arabi rahimahullah berkata, “Alasan jual beli dilarang adalah karena menyibukkan (dari bersegera menuju shalat Jum’at, -pen.). Maka dari itu, setiap perkara yang menyibukkan dari pelaksanaan Jum’at, yaitu seluruh jenis akad, diharamkan secara syariat dan dibatalkan akadnya sebagai bentuk hukuman.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/475) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, para ulama sepakat tentang diharamkannya jual beli setelah dikumandangkan azan kedua.” (Tafsir Ibnu Katsir, 13/563) Yang dimaksud azan kedua yaitu azan yang menunjukkan masuknya waktu Jum’at, yaitu saat khatib telah duduk di atas mimbar. Adapun azan pertama adalah azan yang dilakukan pada zaman Utsman radhiyallahu ‘anhu, dilakukan sebelum masuk waktunya. Sahkah jual beli setelah Dikumandangkan Azan yang Menunjukkan Masuknya Waktu? Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hokum sahnya jual beli saat azan Jum’at yang menunjukkan masuknya waktu telah dikumandangkan. Perbedaan ini lahir dari sebuah kaidah yang menjadi perselisihan pula dalam penerapannya, yaitu, النَّهْيُ يَقْتَضِي الْفَسَادَ “Larangan menunjukkan rusaknya sebuah amalan.” Menurut penelitian, jika ada larangan dalam sebuah amalan, ada beberapa keadaan : 1. Larangan tersebut kembali kepada ibadah itu sendiri atau kepada syaratnya, maka amalan tersebut hukumnya batil dan tidak sah. Di antara contoh masalah ini adalah larangan shalat pada waktu terlarang, shalat membelakangi kiblat, shalat dalam keadaan berhadats, shalat tanpa thuma’ninah, berpuasa pada waktu terlarang seperti hari raya, atau menikah tanpa wali. Ibadah-ibadah tersebut hukumnya batil dan tidak sah. 2. Larangan yang dilakukan tersebut tidak bersentuhan langsung dengan inti ibadah atau syarat dan rukunnya, maka ibadah yang dikerjakannya sah namun dia melakukan perbuatan dosa. Di antara contoh hal ini adalah berwudhu menggunakan bejana emas dan perak, atau shalat memakai serban dari kain sutra, padahal memakai bejana emas dan perak serta mengenakan sutra bagi pria itu terlarang. Ibadahnya sah, namun dia melakukan perbuatan dosa. Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ini adalah mazhab ulama dari dahulu hingga sekarang.” (Lihat Syarah Qawa’id al-Manzhumah al-Fiqhiyah, karya al-Allamah as-Sa’di, hlm. 54; Syarah Qawa’id al-Manzhumah al-Fiqhiyah as-Sa’diyah, karya asy-Syaikh Sa’d asy-Syitsri, hlm. 110; Syarah al-Ushul min Ilmil Ushul, Ibnu Utsaimin, hlm. 135-136) Ketika kaidah ini diterapkan pada hukum jual beli saat azan Jum’at yang menunjukkan masuknya waktu telah dikumandangkan, ternyata larangan ini kembali kepada inti jual beli itu sendiri. Dengan demikian, jual beli tersebut hukumnya batil dan tidak sah. Al-Qurthubi rahimahullah menerangkan, “Yang sahih, jual beli itu rusak dan tidak sah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Setiap amalan yang tidak berdasarkan aturan kami maka ia tertolak.’ Wallahua’lam.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/475) Hanya saja, dikecualikan dalam hal ini adalah jual beli yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at, seperti wanita dan musafir, maka hukum jual belinya sah. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Orang yang tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at tidak dilarang melakukan jual beli.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/474) Wallahu a’lam bish-shawab. Sumber : http://asysyariah.com