Senin, 26 November 2012

Apa lagi yang menghalangimu untuk berhijab Wahai Saudariku?

Apa lagi yang menghalangimu untuk berhijab Wahai Saudariku? Hijab Itu Adalah Ketaatan Kepada Allah Dan Rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 36) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kaum wanita untuk menggunakan hijab sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluan-nya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S An-Nur: 31) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah.” (Q.S. Al-Ahzab: 33) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yanga artinya): “Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 59) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Wanita itu aurat” maksudnya adalah bahwa ia harus menutupi tubuhnya. Hijab Itu ‘Iffah (Kemuliaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kewajiban menggunakan hijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan diri dari maksiat). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Q.S. Al-Ahzab: 59) Itu karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan jelek (dosa), “karena itu mereka tidak diganggu”. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka. Dan pada firman Allah “karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa fitnah dan kejahatan bagi mereka. Hijab Itu Kesucian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53) Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati hijab sebagai kesucian bagi hati orang-orang mu’min, laki-laki maupun perempuan. Karena mata bila tidak melihat maka hatipun tidak berhasrat. Pada saat seperti ini, maka hati yang tidak melihat akan lebih suci. Ketiadaan fitnah pada saat itu lebih nampak, karena hijab itu menghancurkan keinginan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Q.S. Al-Ahzab: 32) Hijab Itu Pelindung Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya Allah itu Malu dan Melindungi serta Menyukai rasa malu dan perlindungan” Sabda beliau yang lain (yang artinya): “Siapa saja di antara wanita yang melepaskan pakaiannya di selain rumahnya, maka Allah Azza wa Jalla telah mengoyak perlindungan rumah itu dari padanya.” Jadi balasannya setimpal dengan perbuatannya. Hijab Itu Taqwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman(yang artinya): “Hai anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.” (Q.S. Al-A’raaf: 26) Hijab Itu Iman Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berfirman kecuali kepada wanita-wanita beriman (yang artinya):“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman.” (Q.S. An-Nur: 31). Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman (yang artinya): “Dan istri-istri orang beriman.” (Q.S. Al-Ahzab: 59) Dan ketika wanita-wanita dari Bani Tamim menemui Ummul Mu’minin, Aisyah radhiyallahu anha dengan pakaian tipis, beliau berkata: “Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.” Hijab Itu Haya’ (Rasa Malu) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” Sabda beliau yang lain (yang artinya):“Malu itu adalah bagian dari iman dan iman itu di surga.” Sabda Rasul yang lain (yang artinya): “Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.” Hijab Itu Perasaan Cemburu Hijab itu selaras dengan perasaan cemburu yang merupakan fitrah seorang laki-laki sempurna yang tidak senang dengan pandangan-pandangan khianat yang tertuju kepada istri dan anak wanitanya. Berapa banyak peperangan terjadi pada masa Jahiliyah dan masa Islam akibat cemburu atas seorang wanita dan untuk menjaga kehormatannya. Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa wanita-wanita kalian berdesak-desakan dengan laki-laki kafir orang ‘ajam (non Arab) di pasar-pasar, tidakkah kalian merasa cemburu? Sesungguhnya tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak memiliki perasaan cemburu.” Beberapa Syarat Hijab Yang Harus Terpenuhi: 1. Menutupi seluruh anggota tubuh wanita -berdasarkan pendapat yang paling kuat. 2. Hijab itu sendiri pada dasarnya bukan perhiasan. 3. Tebal dan tidak tipis atau trasparan. 4. Longgar dan tidak sempit atau ketat. 5. Tidak memakai wangi-wangian. 6. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir. 7. Tidak menyerupai pakaian laki-laki. 8. Tidak bermaksud memamerkannya kepada orang-orang. Jangan Berhias Terlalu Berlebihan(Tabarruj) Bila anda memperhatikan syarat-syarat tersebut di atas akan nampak bagi anda bahwa banyak di antara wanita-wanita sekarang ini yang menamakan diri sebagai wanita berjilbab, padahal pada hakekatnya mereka belum berjilbab. Mereka tidak menamakan jilbab dengan nama yang sebenarnya. Mereka menamakan Tabarruj sebagai hijab dan menamakan maksiat sebagai ketaatan. Musuh-musuh kebangkitan Islam berusaha dengan sekuat tenaga menggelincirkan wanita itu, lalu Allah menggagalkan tipu daya mereka dan meneguhkan orang-orang Mu’min di atas ketaatan kepada Tuhannya. Mereka memanfaatkan wanita itu dengan cara-cara kotor untuk memalingkannya dari jalan Tuhan dengan memproduksi jilbab dalam berbagai bentuk dan menamakannya sebagai “jalan tengah” yang dengan itu ia akan mendapatkan ridha Tuhannya -sebagaimana pengakuan mereka- dan pada saat yang sama ia dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan tetap menjaga kecantikannya. Kami Dengar Dan Kami Taat Seorang muslim yang jujur akan menerima perintah Tuhannya dan segera menerjemahkannya dalam amal nyata, karena cinta dan perhomatannya terhadap Islam, bangga dengan syariat-Nya, mendengar dan taat kepada sunnah nabi-Nya dan tidak peduli dengan keadaan orang-orang sesat yang berpaling dari kenyataan yang sebenarnya, serta lalai akan tempat kembali yang ia nantikan. Allah menafikan keimanan orang yang berpaling dari ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya:“Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.” (Q.S. An-Nur: 47-48) Firman Allah yang lain (yang artinya): “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Q.S. An-Nur: 51-52) Dari Shofiyah binti Syaibah berkata: “Ketika kami bersama Aisyah radhiyallahu anha, beliau berkata: “Saya teringat akan wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka.” Aisyah berkata: “Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan, dan demi Allah, saya tidak melihat wanita yang lebih percaya kepada kitab Allah dan lebih meyakini ayat-ayat-Nya melebihi wanita-wanita Anshor. Ketika turun kepada mereka ayat: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (Q.S. An-Nur: 31) Maka para suami segera mendatangi istri-istri mereka dan membacakan apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Mereka membacakan ayat itu kepada istri, anak wanita, saudara wanita dan kaum kerabatnya. Dan tidak seorangpun di antara wanita itu kecuali segera berdiri mengambil kain gorden (tirai) dan menutupi kepala dan wajahnya, karena percaya dan iman kepada apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya. Sehingga mereka (berjalan) di belakang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan kain penutup seakan-akan di atas kepalanya terdapat burung gagak.” Dinukil dari Kitab “Al Hijab” Departemen Agama Arab Saudi Penebit: Darul Qosim P.O. Box 6373 Riyadh 11442

Kejahilan Sebab Kesesatan, Kesengsaraan, Ketakutan dan Kesedihan

Kejahilan Sebab Kesesatan, Kesengsaraan, Ketakutan dan Kesedihan Al-Hafizh Al-Hakamy rahimahullah berkata: Kebodohan itu sebab kesesatan makhluk secara keseluruan Dan sebab semua kesengsaraan dan kezhaliman mereka Dan Ilmu itu sebab petunjuk mereka bersama kebahagiaan mereka Maka tiada kesesatan dan kesengsaraan bagi orang berilmu Dan ketakutan itu akibat dari kebodohan dan kesedihan panjang juga karenanya Dan dari orang berilmu dua hal itu terhilangkan, maka berpegang teguhlah Asy-Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hifizhahullah berkata dalam “Syarh Manzhumah Al-Mimiyah” (47-50): Ucapan beliau: “Kebodohan itu sebab kesesatan makhluk secara keseluruan” Ini adalah perkara yang jelas dan nyata. Maka sumber setiap kesesatan yang terdapat pada setiap manusia adalah bodoh tentang Allah Ta’ala, agama-Nya, ancaman-Nya, hukuman-Nya, dan tentang surga dan neraka. Sebagaimana Allah Ta’ala firmankan, إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوَءَ بِجَهَالَةٍ “Sesunggunya taubat di sisi Allah adalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejelekan lantaran kejahilan.” (An-Nisa’: 17) Qatadah rahimahullah berkata: “Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepakat bahwa semua perkara yang Allah Ta’ala didurhakai dengannya adalah kejahilan (kebodohan).” Hal ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam “Madarij As-Salikin” (1/470). Kemudian beliau berkata: “Dan tidaknya adanya perhatian terhadap ilmu disebut kebodohan, entah karena dia tidak memanfaatkan ilmu itu sehingga diposisikan dalam posisi kebodohan, atau entah karena kebodohannya terhadap jeleknya perbuatan jahatnya akan akibat perbuatannya.” Ucapan beliau: “Dan sebab semua kesengsaraan dan kezhaliman mereka” Artinya kebodohan itu sebab kesengsaraan dan kezhaliman semua makhluk, dan juga asas setiap bencana dan kejelekan. Ucapan beliau: “Dan Ilmu itu sebab petunjuk mereka bersama kebahagiaan mereka” Sebab teraihnya petunjuk dan sebab teraihnya kebahagiaan adalah ilmu. Ucapan beliau: “Maka tiada kesesatan dan kesengsaraan bagi orang berilmu” Orang yang memiliki ilmu tentang Allah Ta’ala dan tentang kitab-Nya akan terhilangkan dari mereka kesesatan dan kesengsaraan. Dan terhilangkannya kesesatan itu mengisyaratkan terdapatnya petunjuk, dan terhilangkannya kesengsaraan mengisyaratkan terdapatnya kebahagiaan. Sebab adanya petunjuk dan kebahagiaan adalah ilmu. Sebagaimana Allah Ta’ala firmankan, فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى “Maka siapa yang mengikuti petunjuk (ilmu) maka tidak akan sesat tidak pula sengsara.” (Thaha: 123). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Maka Allah Ta’ala menafikan dari pengikut petunjuka itu dua perkara: Kesesatan dan kesengsaraan. Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata: “Allah Ta’ala menjamin orang yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isinya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan sengsara di akhirat.” Kemudian dia membaca ayat, فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى “Maka siapa yang mengikuti petunjuk (ilmu) maka tidak akan sesat tidak pula sengsara.” (Thaha: 123). Dan ayat ini menafikan yang namanya kesesatan dan kesengsaraan dari semua pengikut petunjuk. Maka ayat ini menuntut bahwa orang tersebut tidak akan sesat di dunia dan tidak pula sengsara, tidak sesat di akhirat dan tidak pula sengsara. Sesungguhnya tingkatan itu ada empat: Petunjuk dan kesengsaraan di dunia, dan petunjuk dan kesengsaraan di akhirat. Akan tetapi Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan tingkatan yang paling menonjol pada setiap tempatnya.” (Miftah Daris Sa’adah: 1/34-35). Ucapan beliau: “orang berilmu” Yaitu orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat yang bersandar pada kitabullah dan sunnah Nabin-Nya. Ucapan beliau: ” Dan ketakutan itu akibat dari kebodohan dan kesedihan panjang juga karenanya” Yaitu terjadinya ketakutan dan kesedihan itu disebabkan karena kejahilan/kebodohan. Yang dibuahkan kejahilan pada orang yang jahil dan dampak dari adanya kejahilan pada manusia adalah munculnya ketakutan dan kesedihan yang berkepanjangan. Kata ketakutan dan kesedihan jika disebut dalam satu rangkaian maka kesedihan itu terkait dengan apa yang telah lewat dan ketakutan terkait dengan sesuatu yang akan datang. Orang yang jahil selalu dalam kesedihan terhadap perkara yang telah lewat, karena yng telah lewat itu adalah hari-hari dan tahun-tahun yang bertumpuk pada kejahilan dan kesesatan. Dan hal itu juga demikian adanya dalam ketakutan pada yang akan datang. Dua hal ini (ketakutan dan kesedihan) ternafikan (terhilangkan) dari orang yang berilmu. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa nash ayat, diantaranya firman Allah Ta’ala, قُلْنَا اهْبِطُواْ مِنْهَا جَمِيعاً فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ “Kami katakan: “Turunlah kalian darinya semuanya, maka jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, siapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka tiada ketakutan pada mereka dan tiada pula mereka bersedih”.” (Al-Baqarah: 38). Dan yang mengandung penetapan makna ini juga adalah firman Allah Ta’ala, بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ “Tidaklah demikian, bahkan siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada ketakutan pada mereka dan tidak pula mereka bersedih.” (Al-Baqarah: 112). Dan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلاَّ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ “Dan tidaklah Kami mengutus para Rasul kecuali dalaam rangka memberi kabaar gembira dan mengingatkan. Maka barangsiapa yang beriman dan melakukan perbaikan maka tiada ketakutan padanya dan tiada pula mereka bersedih.” (Al-An’am: 48). Dan Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا “Sesungguhnya orang yang berkata: “Rabb kami adalah Allah” kemudian mereka istiqamah akan turun kepada mereka malaikat (berkata): “Janganlah kalian takut dan janganlah kalian bersedih”.” (Fushilat: 30). Dan Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ “Sesungguhnya orang yang kerkata: “Rabb kami adalah Allah” kemudian mereka istiqamah, maka tiada ketukutan pada mereka dan tiada pula mereka bersedih.” (Al-Ahqaf: 13). Ucapan beliau: “maka berpegang teguhlah” Yaitu berpegang teguhlah dengan ilmu, peganglah dengan kokoh dan jagalah tetap di atasnya, maka engkau akan selamat dari konsekuensi kejahilan dan akibat buruknya. Dan engkau akan memperolah buah dari ilmu dan hasil baik darinya. Diterjamahkaan oleh ‘Umar Al-Indunisy Darul Hadits – Ma’bar, Yaman Sumber : http://thalibmakbar.wordpress.com

KEMBALI KEPADA ULAMA YANG MEMILIKI ILMU YANG KOKOH MERUPAKAN PRINSIP SALAFY YANG AGUNG

KEMBALI KEPADA ULAMA YANG MEMILIKI ILMU YANG KOKOH MERUPAKAN PRINSIP SALAFY YANG AGUNG Allah Ta’ala berfirman: وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya mengetahuinya dari mereka . Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja . (QS.An-Nisaa:83) Berkata As’Sa’di rahimahullah: “Dalam ayat ini terdapat dalil berupa satu kaedah adab yaitu jika terjadi satu pembahasan dalam satu perkara , sepantasnya diserahkan kepada orang yang memiliki keahlian dalam perkara tersebut, jangan mendahului mereka, sebab hal itu lebih mendekati kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga terdapat larangan dari sikap terburu-buru untuk menyebarkan berita tentang sesuatu pada saat dia mendengarkannya, dan ia diperintahkan untuk memperhatikannya sebelum dia mengucapkan dan memandangnya, apakah ini merupakan kemaslahatan sehingga seseorang boleh melakukannya ataukah dia harus menahan diri darinya?” (Taisir al-kariim ar-rahman: 190) Ada sebagian manusia yang merendahkan ilmu dan para ulama sehingga dia tidak mengetahui kadar ilmu dan hak para ulama, dia menyangka bahwa ilmu adalah memperbanyak ucapan, menghiasi ucapannya dengan berbagai kisah, syair2, dan memperbanyak pembahasan nasehat dan masalah hati. Diantara manusia ada yang menyangka bahwa ulama adalah tokoh-tokoh yang menyibukkan diri dalam berbagai kejadian, lalu membahasnya dengan apa yang mereka sebut “fiqhul waqi’” untuk membuat perlawanan kepada para penguasa dengan tanpa bimbingan dan ilmu. Diantara manusia ada yang menganggap bahwa ilmu hanyalah ada di dalam kitab-kitab, dia tidak memperhatikan hakekat bahwa ilmu adalah penukilan dan pemahaman,dan pemahaman tersebut dinilai berdasarkan apa yang difahami oleh generasi awal dari kalangan para sahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Sehingga diapun meninggalkan kesibukan menuntut ilmu dan duduk di halaqah ilmu dan para ulama.Dia tidak mengetahui bahwa diantara ilmu ada beberapa pintu yang dia tidak akan meraihnya kecuali dengan berhadapan langsung dengan para ulama dan mengambilnya dari mereka.” Sifat seorang alim adalah yang terpenuhi beberapa perkara berikut: 1-berilmu tentang al-kitab dan as-sunnah 2- mengikuti apa yang terdapat dalam al-kitab dan as-sunnah 3- mengikat pemahaman terhadap al-kitab dan as-sunnah dengan pemahaman salafus saleh 4- komitmen diatas ketaatan dan jauh dari perbuatan kefasikan, kemaksiatan dan dosa. 5- jauh dari perbuata bid’ah, kesesatan, dan kebodohan, dan memperingatkan darinya. 6- mengembalikan perkara yang mutasyabih (samar) kepada yang muhkam (jelas dan gamblang) dan tidak mengikuti mutasyabih. 7- tunduk kepada perintah Allah 8- mereka memiliki keahlian dalam istinbat ( mengeluarkan faedah dari dalil) dan pemahaman yang baik.” (Lihat: mu’malatul ‘Ulama: 11-28, karya Muhammad Bazemul) Berkata Ibnu Sahman dalam “minhaj ahlil ittiba’:24: العجب كل العجب ممن يصغي ويأخذ بأقوال أناس ليسوا بعلماء ولا قرؤوا على أحد من المشايخ فيحسنون الظن بهم فيما يقولونه وينقلونه ويسيئون الظن بهم بمشايخ أهل الإسلام وعلماءهم الذين هم أعلم منهم بكلام أهل العلم وليس لهم غرض في الناس إلا هدايتهم وإرشادهم إلى الحق الذي كان عليه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وأصحابه وسلف الأمة وأئمتها أما هؤلاء المتعالمون الجهال فكثير منهم خصوصا من لم يتخرج على العلماء منهم وإن دعوا الناس إلى الحق ف‘نما يدعون إلى أنفسهم ليصرفوا وجوه الناس إليهم طلبا للجاه والشرف والترؤس على الناس فإذا سئلوا أفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا “Sungguh mengherankan orang yang menyimak dan mengambil pendapat sebagian orang yang mereka bukanlah ulama, dan tidak pernah membaca kepada seseorang dari para syaikh , lalu dia berbaik sangka kepadanya terhadap apa yang mereka katakan dan yang mereka nukilkan, lalu mereka berburuk sangka kepada para syaikh kaum muslimin dan ulamanya yang mereka lebih mengerti tentang ucapan para ulama, dan mereka tidak punya tujuan tertentu selain membimbing manusia dan mengarahkan mereka kepada kebenaran yang telah dijalan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya, dan para pendahulu umat ini dan para imamnya. Adapun mereka yang sok menjadi alim padahal mereka jahil, kebanyakan mereka -lebih terkhusus lagi yang tidak pernah belajar kepada para ulama – jika mereka mengajak kepada kebenaran, pada hakekatnya mereka hanyalah mengajak kepada diri mereka sendiri untuk memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya karena mengharapkan pangkat, kedudukan, kepemimpinan manusia, sehingga tatkala mereka ditanya,maka mereka berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (Dari kitab: Shiyanatus salafi min waswasati Ali Al-Halabi:18- 19) http://www.salafybpp.com

ADAB-ADAB SEORANG THOLIB TERHADAP DIRINYA

ADAB-ADAB SEORANG THOLIB TERHADAP DIRINYA “Membersihkan hati dari kedengkian, dendam dan hasad serta jeleknya keyakinan atau akhlak agar dengan itu dapat menerima ilmu dan menghafalnya dengan baik.” “Memiliki niat yang baik dalam tholabul ilmi dengan bertujuan meraih keridhoan Alloh Ta’ala dan mengamalkanya serta menghidupkan sunnah, menerangi hatinya dan mengisi batinnya.” “Bersegera untuk mencapai ilmu di waktu muda, jangan terpengaruh dengan tipuan orang-orang yang mengulur-ngulur (waktunya) karena setiap waktu yang telah lewat dari umur tidak ada penggantinya.“ “Merasa cukup dengan makanan yang didapat dan pakaian yang dimiliki meski telah usang. Kesabaran atas kesulitan hidup akan meraih keluasaan ilmu.” “Membagi waktu malamnya dan siangnya, serta memanfaatkan sisa umurnya, sebab umur yang tersisa itu tiada taranya. Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur (menjelang subuh), dan untuk mempelajari sesuatu adalah pagi- pagi, adapun untuk menulis adalah pertengahan siang sedang untuk menela’ah dan mengulang pelajaraan adalah malam hari.” “Mengurangi waktu tidur selama tidak membahayakan badan dan pikirannya, (hendaknya) waktu tidur tidak lebih dari delapan jam sehari dan semalam.” “Diantara sebab terbesar yang dapat membantu agar (selalu) sibuk dengan ilmu dan tidak bosan ialah makan dengan kadar yang ringan dari yang halal, karena banyak makan dapat mendorong untuk banyak minum kemudian menyebabkan banyak tidur dan kebodohan.” “Menumbuhkan sikap waro’ dalam segenap urusannya dan berusaha agar makanannya, minumannya, pakaiannya dan tempatnya (senantiasa) halal.” “Seorang tholabul ilmi sepatutnya tidak bergaul kecuali dengan orang yang dapat memberinya faedah atau dapat mengambil faedah darinya.” “Menjauhi perkara yang sia-sia dan main-main serta majlis- majlis yang dipenuhi dengan tertawa dan hal yang tiada guna. Tidak mengapa untuk menghibur jiwa, hati dan pandangannya dengan bertamasya ke suatu tempat, tidak mengapa pula menyegarkan kaki dan berolah raga badan.” Semoga bermanfaat.. http://adhwaus-salaf.or.id/

Sejenak Menghisab Diri

Sejenak Menghisab Diri Setiap tubuh manusia di dalamnya terdapat segumpal darah yang terletak di dalam dadanya. Hati itulah kebanyakan dari manusia menyebutnya. Hati merupakan tempat penglihatan Allah atas hambaNya. Hati adalah tempatnya niat yang dengannya diterima atau ditolaknya suatu amalan dhohir. Hati adalah tempat yang dengannya mengenal Alloh, mencintaiNya, takut, berharap dan bertawakkal kepadaNya. Sehingga Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan berkenaan dengan segumpal darah yang ada pada setiap tubuh manusia tersebut dengan sabdanya : ألا وَإنَّ في الجسدِ مُضْغَة إذا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّه وَإذا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلَّهُ ألا وَهيَ القَلْبُ Dan ketahuilah sesungguhnya pada tubuh manusia itu terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh anggota badannya, dan jika ia rusak rusaklah seluruh anggota tubuhnya, ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati.Hadits Riwayat Bukhory dan Muslim dari sahabat An-Nu’man bin Basyir –radziallahu’anhuma- Ibnul Qoyyim –Rahimahullah- menyebutkan : Sesuatu yang paling mulia pada tubuh manusia adalah hatinya, Hati adalah yang mengenal Alloh Ta’aala yang senantiasa berusaha tertuju kepadaNya dan yang senantiasa berusaha untuk mencintaiNya, Hati adalah tempatnya iman dan pengetahuan, ia yang diajak berbicara dan yang diutus kepadanya para Rasul, yang dikhususkan dengan pemberian yang paling utama yaitu keimanan dan akal.Adapun seluruh anggota badan hanyalah mengikuti hati dan melayani hati tersebut….- sampai akhir ucapan beliau – Kegalauan, rasa gundah gulana dan yang kemudian berakibat menjadikan kerasnya hati bak kerasnya batu atau bahkan lebih keras dari batu , adalah disebabkan karena ketertipuan dengan berbagai perhiasan dunia dan pernak-pernik dari fitnah dunia. Memberikan kebanyakan dari waktunya untuk mencari dunia dan bersenang-senang terhadap perkara dunia yang telah dicapainya. Dan sedikitnya sikap untuk menghadiri halaqoh ilmu dan merasa cukup dengan apa yang ia ketahui dari urusan agamanya. Belum lagi, dari dunia luar mengancam berbagai hal-hal yang lebih akan memalingkan lagi, yaitu hal-hal yang secara hukum syari’ah mewajibkan untuk menjauhinya. Dulunya sebagian rumah-rumah kaum muslimin dengan kesadarannya sehingga selamat dari perkara yang melalaikan, dengan dikeluarkannya dari rumah tersebut suatu benda berupa televisi dan yang semisalnya. Akan tetapi suatu musibah yang menimpa di zaman ini, bahwa benda dari dunia luar tersebut bukan lagi masuk ke rumah-rumah kaum muslimin akan tetapi sekarang telah masuk ke saku-saku baju anak-anak kaum muslimin. Para orang tua, para bapak, para ibu dan segenap kaum muslimin di hadapan kita semua terdapat tantangan baru, kelanjutan episode yang telah lalu. Kalau kisah episode yang telah lalu ada orang tua yang mengatakan kepada anaknya ketika bermain di tempat kakek-neneknya : Nak, di tempat simbah dilarang nonton televisi ya ! Awas nanti saya tanya kepada mbah… atau ungkapan semisalnya. Adapun episode sekarang dan mendatang bagaimana para orang tua akan menasihati anak-anak mereka. Jawabannya adalah kembali kepada para orang tua tersebut yang sadar dan yang memiliki kepedulian atas pendidikan dan akhlak anak-anak mereka masing-masing. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan dalam sabdanya : كُلُّ مَولودٍ يولَدُ عَلى فطرةٍ فأبواهُ يُهوِّدانه أو يُنَصِّرانِهِ أو يُمجِّسانِهِ Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang kemudian menjadikan anak-anak mereka itu apakah sebagai seorang Yahudi, Nasrani atau seorang Majusi. Peran wanita shalihah apakah kedudukannya sebagai dirinya sendiri atau kedudukannya sebagai seorang isteri atau kedudukannya sebagai seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar terhadap perilaku dan akhlak generasi anak-anak kaum muslimin. Wanita shalihah sebagai dirinya sendiri ia akan memulai dari dirinya untuk memerangi jiwanya berupaya menjalankan setiap perintah dan berupaya menjauhi setiap larangan Allah dan RasulNya. Senantiasa ia memohon kepada Alloh Ta’aala dengan panjatan doa sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah shallahu’alaihi Wa Sallam dalam setiap khutbah hajah beliau : وَنَعُوذ باللهِ مِنْ شُرورِ أنفُسِنا وَمِنِ سَيِّاتِ أعْمالنا Dan kami berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Seorang wanita shalihah akan senantiasa menghisab jiwanya dan menyelisihi dari setiap seruan kejelekan dari jiwanya. ‘Umar bin al-Khaththab berkata : Hisablah jiwa-jiwa kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah jiwa-jiwa kalian sebelum ditegakkan timbangan kepada kalian, sungguh yang demikian itu lebih ringan untuk menghadapi penghisaban di hari esok (kiamat), dan timbanglah jiwa-jiwa kalian untuk menghadapi hari dihadapkan seluruh amalan (hari kiamat) nanti.Firman Allah Ta’aala : يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabb-mu) tidak ada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah Ta’aala). (Al-Haaqah : 18 ). Perkara yang sangat pantas menghiasi diri seorang wanita shalihah adalah tidak lalai dari menghisab jiwanya dan senantiasa menghisab jiwanya apakah pada setiap gerak-gerik tindakannya, setiap langkah kakinya, dan bahkan di saat diamnya. Firman Allah Ta’aala : وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan ia menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.(An-Naazi’aat : 40-41). Wanita shalihah senantiasa berupaya melakukan sebab-sebab yang akan melunakkan hatinya, dan sebesar-besar sebab perkara untuk melunakkan hati adalah senantiasa membaca Al-Qur’an dan mendengarkannya, firman Allah Ta’aala : إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. (Qaaf : 37). Dan Firman Allah Ta’aala : فَذَكِّرْ بِالْقُرْآنِ مَن يَخَافُ وَعِيدِ Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur’an orang yang takut kepada ancaman-Ku.(Qaaf : 45) Dan wanita shalihah adalah seorang yang cermat di dalam memilih sahabat dekat , terlebih di dalam menimba ilmu agama ini dari siapa ia mengambilnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : المَرْءُ مَعَ دِينِ خَليلِه Seseorang itu bersama agama teman dekatnya. Firman Allah Ta’aala : وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh. Lalu Alloh menjadikan mereka lupa kepada diri-diri mereka sendiri, mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.(Al-Hasyr : 19). Sehingga demikian pula seorang wanita shalihah adalah menghindari dan menjauhkan diri dari berteman kepada orang-orang yang berlaku kejelekan dan para pelaku kemaksiatan, karena sesungguhnya seseorang itu adalah siapa yang menjadi teman dekatnya, dan di dalam mengenali seeorang janganlah bertanya kepada seseorang tersebut akan tetapi bertanyalah tentang siapa teman dekat seseorang yang ingin kalian kenal tersebut. Fenomena berteman secara acak, telah disuguhkan pada jejaring social yang bernama Facebook dan yang semisalnya, akankah wanita muslimah yang masih dipenuhi rasa malu untuk nimbrung di dalamnya? Terlebih kedudukan sebagai wanita shalihah. Masih banyak sarana untuk mendapatkan ilmu agama ini dengan perkara yang lebih selamat. Tidaklah semua perkara yang mubah mesti harus digunakan, apalagi perkara yang mubah tersebut jelas membawa kepada kemudharatan agamanya. Na’uudzu billahi min kulli syarrin. http://www.salafy.or.id

Senin, 22 Oktober 2012

Hukum Wanita Mengendarai Mobil

Oleh: Ustadz Askary Hafizhahullaah Permata Muslimah ummuammar88 Kami orang perantauan yang tentunya jauh dari kerabat, ana/kami harus mengantar anak-anak ke ma’had untuk menuntut ilmu setiap hari. Suami tidak bisa antar karena harus pergi pagi dan pulang sore kecuali hari libur. Di sisi lain ana mendengar bahwa wanita haram untuk membawa/menyupir mobil apalagi motor. Apakah supir yang mengantar sedangkan anak-anak kami perempuan. Atau jalan kaki sementara rumah kami jauh atau harus pindah dan tinggal di ma’had (ma’had ibnul qoyyim Balikpapan) sedangkan harga tanah di dekat ma’had sudah melambung tinggi bersaing dengan harga di Jakarta. Allahul musta’an. Tolong ustadz beri jalan keluar dan mohon dijelaskan di mana letak keharamannya ummahat menyupir. Jazaakallaahu khairan. Jawab : Ma’aasyiral ikhwah Rahimakumullaah ada beberapa qawaaid yang penting untuk kita ketahui dalam menjawab permasalahan ini: Pertama, bahwa agama ini datang untuk mendatangkan kemaslahatan, bukan untuk menimbulkan kerusakan. Dan ini merupakan qaidah yang muttafaq alaiha. Agama dan syari’at ini datang untuk memberi kemaslahatan bukan untuk menimbulkan kerusakan dan mafsadah. Kata Al Allaamah As Sa’di Rahimahullaah الدِّيْنُ مَبْنِيٌّ عَلَى الْمَصَالِح فِي جَلبِهَا وَالدَّرْءِ لِلقَبَائِح agama itu dibangun di atas mashaalih/kemaslahatan. Oleh karena itu, tidak satupun dari syari’at yang dibawa oleh Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wasallam melainkan pasti ada kemaslahatannya. Apakah maslahat itu murni maslahat atau maslahatnya lebih besar daripada mafsadahnya/kerusakannya. Kemudian yang kedua, berkenaan tentang seorang wanita, asal hukum seorang wanita adalah tinggal di rumah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ “Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)..(1) Dan nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ wanita itu aurat(2). Ketiga, bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengikat wanita itu harus tinggal di rumah selama-lamanya. Dalam artian tidak ada dispensasi untuk keluar… Tidak demikian!! Oleh karena itu Allah Subhanahu wa ta’ala setelah menyebutkan perintah tinggal di rumah untuk para wanita وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ Allah melanjutkan وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُْ ولَ’ “jangan kalian bertabarruj seperti tabarrujnya wanita-wanita jahiliyyah dahulu”. Dalam artian di saat kalian keluar dari rumah kalian, ini isyarat dari Allah Subhanahu wa ta’ala menunjukkan bolehnya keluar namun jaga adab. Jangan tabarruj, jangan bersolek, jangan membuka aurat, jangan mendatangkan fitnah, jangan menggerak-gerakkan tubuh untuk memperdengarkan perhiasan yang dia kenakan, jangan dia keluar dengan memakai parfum dan yang semisalnya merupakan bentuk tabarruj yang dilarang di dalam syari’at Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, dalam hadits ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha, kata Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam: قَدْ أَذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِهالِحاجاتِكُنَّ “Allah telah memberikan izin kepada kalian wahai para wanita untuk keluar dari rumah kalian karena kalian memiliki haajah/kebutuhan.” (HR. Al-Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170). Dalam riwayat lain, إِنَّ‎ ‎اللّهَ‎ ‎قَدْ‎ ‎جَعَلَ‎ ‎لَكُنَّ‎ ‎الرُّخْصَحُ‎ ‎أَنْ‎ ‎تَخْرُجْنَ لِهَوَا …… bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan untuk kalian Rukhshah/keringanan disebabkan karena kalian pun memiliki kebutuhan pada saat keluar dari rumah-rumah kalian. Inilah prinsip-prinsip yang penting harus diketahui bahwa islam datang untuk mendatangkan maslahat bukan untuk membawa dan menimbulkan kerusakan. Asal hukum wanita tinggal di rumah, kemudian diperbolehkan keluar dari rumah apabila ada haajah. Tidak menjadikan orang dikit-dikit keluar rumah, sedikit-sedikit safar, sedikit-sedikit bepergian. Kemudian yang berikutnya, termasuk diantara perkara yang tidak diperbolehkan bagi seorang wanita adalah safar tanpa mahram. لاَ ‎تُسَافِرُ‎ ‎مَرْأةِ‎ ‎إِلاَّ مَعَ‎ ‎ذِي مَحْرَمٍ seorang wanita tidak diperbolehkan safar kecuali bersama mahram. Apabila kita telah memahami hal-hal yang seperti ini, kita kembali kepada inti pembahasan. apa hukumnya wanita menyupir mobil/motor? Ini termasuk perkara yang mawaazil, permasalahan kontemporer yang tentunya belum ada di zaman Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Yang disebut mobil, motor… Jadi untuk mendapatkan suatu dalil tentang hukum wanita menyupir mobil itu tidak ada,,, sama sekali tidak ada….. Atau membawa motor. Karena kendaraan mereka ketika itu bukanlah mobil/motor. Oleh karena itu, penting untuk kita pahami bahwa memang para ulama lebih khusus lagi para ulama di Arab Saudi Hafizhahumullah wa Rahimahumullaah mereka secara umum mengharamkan seorang wanita menyetir mobil. Mungkin tidak dibahas menyetir motor karena memang di Arab Saudi sangat kurang yang namanya motor. Sehingga tidak masuk ke dalam pembahasan. Beda dengan negeri kita, motor mungkin lebih banyak dari mobilnya. Ma’aasyiral ikhwah Rahimakumullaah, para ulama ketika mereka mengharamkan seorang wanita menyetir mobil itu bukan karena asal hukum menyetir itu haram. Jadi permasalahan bukan kembali kepada hukum menyetirnya, namun dampak negatifnya. Keburukannya yang menyebabkan para ulama mengharamkan. Dibangun di atas kaidah “maa aghda ila muharram fa huwa muharram”, apa yang mengantarkan kepada suatu yang haram maka itu juga diharamkan. Al wasiilah ilal haram, sarana untuk terjatuh kepada perkara yang diharamkan. Dan juga berdasarkan qaaidah “dar-’url mafaasid muqaddar ‘ala jalbil mashaalih. Menolak satu kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengharapkan/mendatangkan suatu maslahat. Bagi siapa yang membaca fatwa ulama syeikh bin baz, syeikh Utsaimin dan yang lainnya itu akan mendapati bahwa mereka mengharamkan bukan karena masalah menyetirnya namun dampak negatif. Hilangnya rasa malu pada wanita, disebabkan karena kebiasaan menyetir mobil, dikit-dikit keluar…dikit-dikit keluar. Akhirnya jadi tukang keluar rumah. Sehingga dia tidak betah dengan rumahnya. Tidak ada lagi istilah “baiti jannati” rumahku adalah surgaku. Sehingga menimbulkan sekian banyak mafsadah. Di rumah akhirnya sampai tidak terurus, mungkin anaknya tidak terurus atau yang semisalnya. Di luar rumah juga senangnya keluyuran kesana kemari. Karena dia sudah bisa nyetir, gak ada urusan dengan suami. Suami gak ada, gak ada masalah. Pergi keluar sendirian. Akhirnya menimbulkan ikhtilath yang semakin merebak. Jalan ke mall-mall dan seterusnya. Berjalan ke sana kemari tanpa ada haajah/kebutuhan. Dan dikhawatirkan juga mereka akan safar ke sana kemari. Terlebih lagi kondisi di Arab Saudi, subhanallaah safar antara daerah ke daerah lain tanpa terasa karena jalan yang bagus. Hingga seseorang bisa menyetir dengan kecepatan tanpa terasa tiba di daerah lain. Safar tanpa terasa… Nah karena mafsadah-mafsadah inilah sehingga para ulama mengharamkan. Dan perlu kita mengetahui bahwa hukum syar’i itu terbagi menjadi dua: 1. Hukum yang tidak bisa berubah/tsaabit meskipun disertai dengan perubahan zaman (perubahan waktu), perubahan tempat hukumnya tetap “hukum”. Seperti shalat 5 waktu, tidak ada istilah bahwa 2000 kemudian shalat akan menjadi 4 kali shalat sehari semalam misalnya, tidak ada… Lima kali shalat semenjak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umat ini sampai seterusnya hingga hari kiamat, tetap wajib. Puasa di bulan ramadhan tetap wajib, gak ada perubahan. 2. Ada hukum-hukum yang terjadi perubahan disebabkan karena perubahan zaman dan perubahan tempat. Misalnya masalah haddus safar/batasan safar. Berapa batasannya? Terjadi perselisihan di kalangan para ulama bahwa yang shahih tidak ada batasan tertentu sekian kilo ini adalah safar. Namun ini semua dikembalikan kepada urf/kebiasaan sebuah negeri. Apabila di negeri tersebut berjalan di suatu daerah menuju daerah lain ini teranggap sebagai “safar” maka itulah safar. Dan apabila berjalan di suatu tempat menuju ke tempat yang lain tidak teranggap safar maka itu bukan safar meskipun jauh jaraknya. Dan apa yang menjadi kebiasaan bagi masyarakat maka menjadi safar meskipun dekat jaraknya. Jadi berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Oleh karena itu, Ma’aasyiral ikhwah Rahimakumullah sekarang kita lihat kondisi kita di Indonesia. Dengan kondisi yang subhanallaah… Wanita mengumbar aurat ke sana kemari. Di Arab Saudi wanita tahaajjibat, mereka berhijab (menutup wajah-wajah mereka). Dengan meyetir mobil mereka akan terbiasa untuk membuka wajah. Apalagi kalau dihentikan ada polisi misalnya, lihat simnya mana?? Dilihat simnya benner ga ini orangnya. Jangan-jangan bukan,,,, Sehingga dikhawatirkan hal-hal yang seperti ini. Nah, ma’aasyiral ikhwah Rahimakumullah, sehingga kita lihat kondisi wanita di negeri ini apabila tetap menjaga kemaluannya, menjaga auratnya, memelihara kehormatannya, dan tetap berada di batasan-batasan yang disyariatkn dalam keadaan dia berhijab. Dan tentunya lebih utama & itu pendapat yang shahih InsyaaAllaah ta’ala kewajiban wanita untuk menutup wajah berdasarkan hadits-hadit yang datang dari nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kalau dia menjaga ini… Dan subhanallaah dalam keadaan tidak ada yang bisa mengantarnya keluar. Kalau misalnya dia punya mahram dan itulah yang lebih utama. Apabila dia punya suami maka suamilah yang lebih utama menyetir. Dia punya anak laki-laki yang mengantarnya ke sana kemari, yang menyetir. Tapi pembicaraan kita dalam kondisi seorang wanita seperti yang disebutkan dalam pertanyaan ini. Apalagi jika wanita sendirian, gak punya anak, janda. Tentu pada saat dia menyetir sendiri, itu lebih ringan daripada dia keluar untuk mencari angkot. Telah kita ketahui sekarang subhaanallaah, naik angkot bagi para wanita sangat berbahaya. Tidak jarang seorang wanita diculik, diperkosa, kemudian dibunuh wal ‘iyaadzubillaah. Dan terkadang pula yang namanya angkot supirnya ya laki-laki ketika seorang wanita/akhwat naik angkot mungkin saja dia sendirian di situ. Akhirnya dia berduaan dengan supir dan ini sangat berbahaya bagi wanita tersebut. Jika dia turun, apakah dia turun untuk mencari angkot yang lainnya akhirnya dia bayar lagi, turun kemudian menunggu lagi yang lain…kemudian dia akan mengeluarkan uang lagi. Subhaanallaah masyaqqah (kesulitan). Belum lagi dia akan menampakkan dirinya. Berbeda kalau misalnya dia menyetir di dalam mobilnya dan InsyaaAllaah ta’ala dia merasa aman dengan fitnah. Kalaulah itu dianggap kemudaratan irtikaabu ahabbu dararain, melakukan sesuatu yg kemudaratannya lebih kecil daripada kemudaratan yang lebih besar. Demikian pula seorang wanita ketika mengendarai motor, hendaknya dia menjaga hijab, hati-hati dari tersingkap hijab pakaiannya. Jaga dengan penuh kehormatan itupun perhatikan keluar dalam keadaan haajah. Kalau dia punya suami, hendaknya dia bersama suaminya. Jangan dia memudahkan berjalan ke sana kemari. Adapun hal-hal yang tidak penting, seorang akhwat kadang-kadang menggampangkan, Subhanallaah. Ada acara walimahan naik motor ke sana. Padahal memungkinkan dia punya mahram, bersama dengan mahramnya lebih baik, suaminya, anaknya. Jangan bermudah-mudahan keluar dengan membawa mobil sendirian. Namun ketika dalam kondisi haajah, ada kebutuhan dan dia merasa aman dari fitnah dan mengharuskan dia misalnya harus mengantar anaknya dalam keadaan dia tidak punya yang lain, suaminya misalnya. Maka dia menjaga kehormatannya maka InsyaaAllaah ta’ala tidak mengapa. Namun sekali lagi jangan memudah-mudahkan permasalahan ini. Wallaahu ta’ala a’lamu bish shawaab. Catatan kaki: 1) Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا Artinya: “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (Al Azhab : 33) 2) Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ “Wanita itu aurat, maka bila ia keluar rumah, setan terus memandanginya (untuk menghias-hiasinya dalam pandangan lelaki sehingga terjadilah fitnah).” (Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3109, dan Al-Irwa’ no. 273. Dishahihkan pula oleh Al-Imam Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36 Ditranskrip dari tanya jawab tal’lim Ustadz Askari Hafizhahullaah.

Haramkah Wanita Memperdengarkan Suaranya?

Haramkah Wanita Memperdengarkan Suaranya? Apakah suara wanita haram sehingga ia tidak boleh berbicara dengan pemilik warung/kios di pasar guna membeli kebutuhannya, walaupun tanpa membaguskan dan melembutkan suaranya? Begitu pula, dengan rasa malu ia mengajak bicara tukang jahit saat ia hendak menjahitkan pakaiannya? Jawab: Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله berkata, “Ucapan wanita tidaklah haram dan bukan aurat. Akan tetapi, bila si wanita melunakkan suaranya dan melembutkannya,serta berucap dengan gaya bicara yang bisa membuat orang lain tergoda, itu baru haram. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “Maka janganlah kalian tunduk dalam ucapan hingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit.” (Al-Ahzab: 32) Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengatakan, “Maka janganlah kalian berbicara dengan para lelaki.” Tetapi, Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan, “Maka janganlah kalian tunduk dalam ucapan.” Tunduk dalam ucapan lebih khusus daripada berbicara secara mutlak1. Dengan demikian, tidak mengapa seorang wanita berucap kepada lelaki bila tidak menimbulkan fitnah. Dahulu ada wanita mendatangi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengajak bicara beliau, sementara orang-orang mendengar ucapan si wanita dan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pun menjawab ucapannya. Hal itu tidaklah dianggap sebagai kemungkaran. Hanya saja, tidak boleh berduaan saat berbincang dengan seorang wanita, melainkan harus ditemani mahram si wanita dan tidak menimbulkan fitnah. Karena itulah, seorang lelaki tidak diperkenankan menikmati suara wanita, sama saja baik ia menikmatinya sebagai kesenangan yang biasa (karena kemerduan suaranya, misalnya, pen.) maupun karena kesenangan syahwat. Wallahul muwaffiq.” (Fatawa Manaril Islam, 3/835—836, dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 688) Sumber: http://asysyariah.com/sakinah/fatawa-al-marah-al-muslimah/846-haramkah-wanita-memperdengarkan-suaranya-fatawa-al-marah-al-muslimah-edisi-61.html

Hijab – Tolok ukur menilai kepribadian muslimah

Keutamaan Hijab · Hijab itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: æóãóÇ ßóÇäó áãõÄúãöäò æóáÇó ãõÄúãöäóÉò ÅÐÇó ÞóÖóì Çááåõ æóÑóÓõæáõåõ ÃãúÑðÇ Ãäú íóßõæäó áåõãõ ÇáÎöíóÑóÉõ ãöäú ÃãúÑöåöãú æóãóäú íóÚúÕö Çááåó æóÑóÓõæáóåõ ÝóÞóÏú Öóáøó ÖóáÇóáÇð ãõÈöíäðÇ “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 36) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kaum wanita untuk menggunakan hijab sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: æóÞõáú áöáúãõÄúãöäóÇÊö íóÛúÖõÖúäó ãöäú ÃÈúÕóÇÑöåöäøó æóíóÍúÝóÙúäó ÝõÑõæÌóåõäøó æóáÇó íõÈúÏöíäó ÒöíäóÊóåõäøó ÅáÇøó ãóÇ ÙóåóÑó ãöäúåóÇ “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluan-nya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S An-Nur: 31) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: æóÞóÑúäó Ýöí ÈõíõæÊößõäøó æóáÇó ÊóÈóÑøóÌúäó ÊóÈóÑøõÌó ÇáÌóÇåöáöíøóÉö ÇáÃõæáóì “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah.” (Q.S. Al-Ahzab: 33) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: æóÅÐóÇ ÓóÃóáúÊõãõæåõäøó ãóÊóÇÚðÇ ÝóÇÓúÃóáõæåõäøó ãöäú æóÑóÇÁö ÍöÌóÇÈò Ðóáößõãú ÃØúåóÑõ áöÞõáõæÈößõãú æóÞõáõæÈöåöäøó “Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: íóÇ ÃíøõåóÇ ÇáäøóÈöíøõ Þõáú áÃÒúæóÇÌößó æóÈóäóÇÊößó æóäöÓóÇÁö ÇáãõÄúãöäöíäó íõÏúäöíäó Úóáóíúåöäøó ãöäú ÌóáÇóÈöíÈöåöäøó “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 59) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Wanita itu aurat” maksudnya adalah bahwa ia harus menutupi tubuhnya. · Hijab itu ‘iffah (kemuliaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kewajiban menggunakan hijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan diri dari maksiat). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: íÇó ÃóíøõåóÇ ÇáäøóÈöíøõ Þõáú áÃÒúæóÇÌößó æóÈóäóÇÊößó æóäöÓóÇÁö ÇáãõÄúãöäöíäó íõÏúäöíäó Úóáóíúåöäøó ãöäú ÌóáÇóÈöíÈöåöäøó Ðóáößó ÃÏúäóì Ãäú íõÚúÑóÝúäó ÝóáÇó íõÄúÐóíúäó “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Q.S. Al-Ahzab: 59) Itu karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan jelek (dosa), “karena itu mereka tidak diganggu”. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka. Dan pada firman Allah “karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa fitnah dan kejahatan bagi mereka. · Hijab itu kesucian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: æóÅÐóÇ ÓóÃóáúÊõãõæåõäøó ãóÊóÇÚðÇ ÝóÇÓúÃóáõæåõäøó ãöäú æóÑóÇÁö ÍöÌóÇÈò Ðóáößõãú ÃØúåóÑõ áöÞõáõæÈößõãú æóÞõáõæÈöåöäøó “Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53) Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati hijab sebagai kesucian bagi hati orang-orang mu’min, laki-laki maupun perempuan. Karena mata bila tidak melihat maka hatipun tidak berhasrat. Pada saat seperti ini, maka hati yang tidak melihat akan lebih suci. Ketiadaan fitnah pada saat itu lebih nampak, karena hijab itu menghancurkan keinginan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ÝóáÇó ÊóÎúÖóÚúäó ÈöÇáúÞóæúáö ÝóíóØúãóÚó ÇáøóÐöí Ýöí ÞóáúÈöåö ãóÑóÖñ “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Q.S. Al-Ahzab: 32) · Hijab itu pelindung Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalambersabda: (Åäøó Çááåó Íóíöíøñ ÓóÊöíÑñ íõÍöÈøõ ÇáÍóíóÇÁó æóÇáÓøöÊúÑó) “Sesungguhnya Allah itu Malu dan Melindungi serta Menyukai rasa malu dan perlindungan” Sabda beliau yang lain: (( ÃíøóãóÇ ÇöãúÑóÃóÉò äóÒóÚóÊú ËöíóÇÈóåóÇ Ýí ÛóíúÑö ÈóíúÊöåóÇ ÎóÑóÞó Çááåõ ÚóÒøó æóÌóáøó ÚóäúåóÇ ÓöÊúÑóåõ)) “Siapa saja di antara wanita yang melepaskan pakaiannya di selain rumahnya, maka Allah Azza wa Jalla telah mengoyak perlindungan rumah itu dari padanya.” Jadi balasannya setimpal dengan perbuatannya. · Hijab itu taqwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: íÇó Èóäöí ÂÏóãó ÞóÏú ÃäúÒóáúäóÇ Úóáóíúßõãú áöÈóÇÓðÇ íõæóÇÑöí ÓóæúÁóÇÊößõãú æóÑöíÔðÇ æóáöÈóÇÓõ ÇáÊøóÞúæóì Ðóáößó ÎóíúÑñ “Hai anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.” (Q.S. Al-A’raaf: 26) · Hijab itu iman Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berfirman kecuali kepada wanita-wanita beriman: “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman.” (Q.S. An-Nur: 31). Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Dan istri-istri orang beriman.” (Q.S. Al-Ahzab: 59) Dan ketika wanita-wanita dari Bani Tamim menemui Ummul Mu’minin, Aisyah ra dengan pakaian tipis, beliau berkata: “Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.” · Hijab itu haya’ (rasa malu) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: ((Åäøó áößõáøö Ïöíäò ÎõáõÞðÇ ¡ æóÅäøó ÎõáõÞó ÇáÅÓúáÇóãö ÇáÍóíóÇÁõ)) “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” Sabda beliau yang lain: “Malu itu adalah bagian dari iman dan iman itu di surga.” Sabda Rasul yang lain: ((ÇáÍóíóÇÁõ æóÇáÅíãóÇäõ ÞõÑöäóÇ ÌóãöíÚðÇ ¡ ÝóÅäú ÑõÝöÚó ÃÍóÏõåõãóÇ ÑõÝöÚó ÇáÂÎóÑõ)) “Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.” · Hijab itu ghirah (perasaan cemburu) Hijab itu selaras dengan perasaan cemburu yang merupakan fitrah seorang laki-laki sempurna yang tidak senang dengan pandangan-pandangan khianat yang tertuju kepada istri dan anak wanitanya. Berapa banyak peperangan terjadi pada masa Jahiliyah dan masa Islam akibat cemburu atas seorang wanita dan untuk menjaga kehormatannya. Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa wanita-wanita kalian berdesak-desakan dengan laki-laki kafir orang ‘ajam (non Arab) di pasar-pasar, tidakkah kalian merasa cemburu? Sesungguhnya tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak memiliki perasaan cemburu.” Beberapa syarat hijab yang harus terpenuhi: 1. Menutupi seluruh anggota tubuh wanita -berdasarkan pendapat yang paling rajih / terang 2. Hijab itu sendiri pada dasarnya bukan perhiasan. 3. Tebal dan tidak tipis atau trasparan. 4. Longgar dan tidak sempit atau ketat. 5. Tidak memakai wangi-wangian. 6. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir. 7. Tidak menyerupai pakaian laki-laki. 8. Tidak bermaksud memamerkannya kepada orang-orang. Jangan berhias terlalu berlebihan Bila anda memperhatikan syarat-syarat tersebut di atas akan nampak bagi anda bahwa banyak di antara wanita-wanita sekarang ini yang menamakan diri sebagai wanita berjilbab, padahal pada hakekatnya mereka belum berjilbab. Mereka tidak menamakan jilbab dengan nama yang sebenarnya. Mereka menamakan Tabarruj sebagai hijab dan menamakan maksiat sebagai ketaatan. Musuh-musuh kebangkitan Islam berusaha dengan sekuat tenaga menggelincirkan wanita itu, lalu Allah menggagalkan tipu daya mereka dan meneguhkan orang-orang Mu’min di atas ketaatan kepada Tuhannya. Mereka memanfaatkan wanita itu dengan cara-cara kotor untuk memalingkannya dari jalan Tuhan dengan memproduksi jilbab dalam berbagai bentuk dan menamakannya sebagai “jalan tengah” yang dengan itu ia akan mendapatkan ridha Tuhannya -sebagaimana pengakuan mereka- dan pada saat yang sama ia dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan tetap menjaga kecantikannya. Kami dengar dan kami taat Seorang muslim yang jujur akan menerima perintah Tuhannya dan segera menerjemahkannya dalam amal nyata, karena cinta dan perhomatannya terhadap Islam, bangga dengan syariat-Nya, mendengar dan taat kepada sunnah nabi-Nya dan tidak peduli dengan keadaan orang-orang sesat yang berpaling dari kenyataan yang sebenarnya, serta lalai akan tempat kembali yang ia nantikan. Allah menafikan keimanan orang yang berpaling dari ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya: æóíóÞõæáõæäó ÂãóäøóÇ ÈöÇááåö æóÈöÇáÑøóÓõæáö æóÃóØóÚúäóÇ Ëõãøó íóÊóæóáøóì ÝóÑúíÞñ ãöäúåõãú ãöäú ÈóÚúÏö Ðóáößó æóãóÇ ÃõæáóÆößó ÈöÇáãõÄúãöäöíäó (47) æóÅÐóÇ ÏõÚõæÇ Åáóì Çááåö æóÑóÓõæáöåö áöíóÍúßõãó Èóíúäóåõãú ÅÐóÇ ÝóÑöíÞñ ãöäúåõãú ãõÚúÑöÖõæäó (48) “Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.” (Q.S. An-Nur: 47-48) Firman Allah yang lain: ÅäøóãóÇ ßÇóäó Þóæúáó ÇáãõÄúãöäöíäó ÅÐóÇ ÏõÚõæÇ Åáóì Çááåö æóÑóÓõæáöåö áöíóÍúßõãó Èóíúäóåõãú Ãäú íóÞõæáõæÇ ÓóãöÚúäóÇ æóÃØóÚúäóÇ æóÃõæáóÆößó åõãõ ÇáãõÝúáöÍõæäó (51) æóãóäú íõØöÚö Çááåó æóÑóÓõæáóåõ æóíóÎúÔó Çááåó æóíóÊøóÞöåö ÝóÃõæáóÆößó åõãõ ÇáÝóÇÆöÒõæäó (52) “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Q.S. An-Nur: 51-52) Dari Shofiyah binti Syaibah berkata: “Ketika kami bersama Aisyah ra, beliau berkata: “Saya teringat akan wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka.” Aisyah berkata: “Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan, dan demi Allah, saya tidak melihat wanita yang lebih percaya kepada kitab Allah dan lebih meyakini ayat-ayat-Nya melebihi wanita-wanita Anshor. Ketika turun kepada mereka ayat: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (Q.S. An-Nur: 31) Maka para suami segera mendatangi istri-istri mereka dan membacakan apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Mereka membacakan ayat itu kepada istri, anak wanita, saudara wanita dan kaum kerabatnya. Dan tidak seorangpun di antara wanita itu kecuali segera berdiri mengambil kain gorden (tirai) dan menutupi kepala dan wajahnya, karena percaya dan iman kepada apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya. Sehingga mereka (berjalan) di belakang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalamdengan kain penutup seakan-akan di atas kepalanya terdapat burung gagak.” (Dinukil dari kitab : ÇáÍÌÇÈ Al Hijab. Penebit: Darul Qosim ÏÇÑ ÇáÞÇÓã ááäÔÑ æÇáÊæÒíÚ P.O. Box 6373 Riyadh 11442)

Koreksi Sholat Kita : Shalatnya Wanita di Masjid

Koreksi Sholat Kita : Shalatnya Wanita di Masjid October 24, 2005 Hadirnya Wanita Dalam Shalat Berjamaah di Masjid Sejak zaman Nubuwwah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, diantara shahabiyah ada yang ikut menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu tidak wajib bagi mereka. (Lihat kembali Salafy edisi IX/Rabiul Akhir 1417/1996 rubrik Ahkam yang membahas tentang hukum shalat berjamaah bagi wanita dan lihat pula edisi XVI/Dzulhijjah 1417/1997 rubrik Kajian Kali Ini). Ada beberapa dalil dari sunnah yang shahihah yang menunjukkan keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Tiga diantaranya kami sebutkan berikut ini : Hadits dari Aisyah radliyallahu ‘anha, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya hingga Umar memanggil beliau (dengan berkata) : “Telah tertidur para wanita dan anak-anak.” Maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata : “Tidak ada seorang pun selain kalian dari penduduk bumi yang menanti shalat ini.” (HR. Bukhari dalam kitab Mawaqit Ash Shalah 564 dan Muslim kitab Al Masajid 2/282) Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits di atas berkata : “Ucapan Umar (Telah tertidur para wanita dan anak-anak) yakni diantara mereka yang menanti didirikannya shalat berjamaah di masjid.” Dalam hadits lain, Aisyah radliyallahu ‘anha mengabarkan : “Mereka wanita-wanita Mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka hingga mereka (selesai) menunaikan shalat tanpa ada seorangpun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (HR. Bukhari 578) Hadits dari Abi Qatadah Al Anshari radliyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku berdiri untuk menunaikan shalat dan berkeinginan untuk memanjangkan shalat itu. Lalu aku mendengar tangisan bayi maka akupun memendekkan shalatku karena khawatir (tidak suka) memberatkan ibunya.” (HR. Bukhari 868, Abu Daud 789, Nasa’i 2/94-95 dan Ibnu Majah 991) Izin Bagi Wanita Untuk Keluar ke Masjid Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid (lihat rubrik Ahkam, Salafy edisi IX). Namun tidak berarti wanita dilarang dan harus dicegah bila ingin hadir berjamaah di masjid, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila wanita (istri) salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya.” (HR. Bukhari 2/347 dalam Fathul Bari, Muslim 442, dan Nasa’i 2/42) Salim bin Abdullah bin Umar menceritakan bahwasanya Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian melarang istri-istri kalian dari masjid bila mereka meminta izin untuk mendatanginya.” (HR. Bukhari dan Muslim 442 dan hadits yang disebutkan disini menurut lafadh Muslim) Salim berkata : Bilal bin Abdullah bin Umar lalu berkomentar: “Demi Allah, kami benar-benar akan melarang mereka.” (Mendengar ucapan seperti itu, -pent.) Abdullah bin Umar memandang Bilal kemudian mencelanya dengan celaan yang buruk yang aku sama sekali belum pernah mendengar celaannya seperti itu terhadap Bilal. Dan Abdullah berkata : “Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu engkau menimpali dengan ucapanmu, ‘demi Allah, kami benar-benar akan melarang mereka!’” Beberapa Perkataan Ulama Dalam Permasalahan Ini Berkata Imam Nawawi rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : "Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah" Dan yang semisalnya dari hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa wanita tidak dilarang mendatangi masjid akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan oleh ulama yang diambil dari hadits-hadits yang ada. Seperti wanita itu tidak memakai wangi-wangian, tidak berhias, tidak mengenakan gelang kaki yang bisa terdengar suaranya, tidak mengenakan pakaian mewah, tidak bercampur-baur dengan laki-laki, dan wanita itu bukan remaja putri (pemudi) yang dengannya dapat menimbulkan fitnah serta tidak ada perkara yang dikhawatirkan kerusakannya di jalan yang akan dilewati dan semisalnya. ] (Syarhu Muslim 2/83) Musthafa Al Adawi hafidhahullah memberi komentar terhadap ucapan Imam Nawawi di atas : [Terhadap ucapan Imam Nawawi rahimahullah tentang pelarangan remaja putri (pemudi untuk hadir di masjid) perlu dilihat kembali. Kami belum mendapatkan dalil yang jelas yang melarang pemudi atau membedakan antara pemudi dan yang selainnya untuk pergi ke masjid. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ juz 1 halaman 278) Imam Nawawi juga berkata dalam Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/199 : [ Larangan dalam hadits : "Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah." Hal ini merupakan larangan tanzih/makruh (bukan larangan yang menunjukkan tahrim/haram, pent.) karena hak suami agar istri tetap tinggal di rumah wajib dipenuhi. Maka janganlah si istri meninggalkannya untuk mengerjakan amalan yang tidak wajib. ] Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla-nya menyatakan : “Tidak halal bagi wall wanita dan tidak juga bagi majikan budak wanita untuk melarang keduanya menghadiri shalat berjamaah di masjid jika diketahui bahwa mereka memang hendak shalat. Dan tidak halal bagi mereka (kaum wanita) untuk keluar dalam keadaan memakai wangi-wangian dan mengenakan pakaian yang indah (mewah). Bila si wanita melakukan hal demikian maka hendaklah dicegah.” (Al Muhalla 2/170) Al Baihaqi rahimahullah menyebutkan dalam Sunan-nya (3/133) bahwa perintah untuk tidak melarang wanita merupakan perintah yang sunnah dan bersifat bimbingan, bukan perintah yang menunjukkan fardlu dan wajib. Musthafa Al Adawi berkata : “Bila tidak dijumpai adanya sebab yang dapat menghalangi keluarnya wanita menuju ke masjid maka wajib bagi suami untuk mengizinkannya karena adanya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mencegahnya. Wallahu a’lam.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/279) Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini Al Atsari hafidhahullah dalam kitabnya, Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 72-74) setelah membawakan hadits yang artinya : “Bila istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya.” Syaikh menyatakan : [ Dalam hadits ini menunjukkan bahwa keluarnya istri harus dengan izin suami. Seandainya si suami menahan istrinya (untuk keluar) maka si suami tidak berdosa menurut pendapat yang terpilih dari pendapat-pendapat para Ahli Tahqiq dan telah berkata Al Baihaqi : "Dengan inilah mayoritas ulama berpendapat." Adapun hadits yang berbunyi : "Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah" Perintah disini (yakni perintah untuk tidak melarang wanita ke masjid, pent.) tidaklah menunjukkan wajib. Karena seandainya wajib, maka tidak ada maknanya meminta izin. Wallahu a'lam. ] Pendapat Aisyah radliyallahu ‘anha dan Bimbingannya Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan ucapan Aisyah radliyallahu ‘anha : “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat menemui apa yang diada-adakan oleh para wanita (saat ini) niscaya beliau akan melarang mereka sebagaimana dilarangnya wanita-wanita Bani Israil.” (HR. Bukhari hadits 869 dan dikeluarkan juga oleh Muslim 445) Dalam riwayat Muslim disebutkan : Salah seorang rawi bertanya kepada Amrah binti Abdirrahman (murid Aisyah yang meriwayatkan hadits ini darinya) : “Apakah para wanita Bani Israil dilarang ke masjid?” Amrah menjawab : “Ya, adapun hal-hal baru yang diperbuat para wanita Bani Israil diantaranya memakai wangi-wangian, berhias, tabarruj, ikhtilath, dan kerusakan-kerusakan lainnya.” Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (2/350) : “Shalatnya wanita di rumahnya lebih utama baginya karena terjamin aman dari fitnah. Dan yang menguatkan hal ini setelah munculnya perbuatan tabarruj dan pamer perhiasan yang dilakukan oleh para wanita. Terlebih lagi Aisyah radliyallahu ‘anha telah berkata dengan apa yang dia katakan. Sebagian orang berpegang dengan ucapan Aisyah ini untuk melarang wanita (ke masjid) secara mutlak dan pendapat ini perlu ditinjau kembali.” Beliau berkata lagi : “Aisyah mengaitkan larangan dengan syarat, yang ia menganggap bila Nabi sempat melihat (perbuatan para wanita itu) niscaya beliau akan melarangnya. Dengan demikian, dikatakan kepada orang yang berpendapat wanita dilarang secara mutlak (ke masjid) bahwa Nabi tidak sempat melihat (perbuatan para wanita itu) dan beliau tidak melarang, hingga hukum (kebolehan wanita ke masjid dan larangan untuk mencegah mereka, pent.) terus berlaku … .” Berkata Musthafa Al Adawi setelah membawakan riwayat Aisyah di atas : [ Ini merupakan pendapat Aisyah radliyallahu 'anha berkenaan dengan keluarnya wanita ke masjid ... . Beliau berpendapat (perlunya) larangan karena sebab yang disebutkan. Pendapat ini memiliki arti bila ada fitnah dan adanya kekhawatiran terhadap kaum pria dan wanita dari fitnah itu. Akan tetapi kita kembali dan kita katakan : Pendapat ini tempatnya bila fitnah terwujud nyata. Adapun melarang mereka karena (menganggap) semata-mata ke masjid itu adalah fitnah maka ini pendapat yang lemah. Allah Ta'ala telah berfirman : مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ "Dan tidaklah Tuhanmu lupa." (QS. Maryam : 64) مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ "Tidaklah Kami luputkan sesuatu pun di dalam Kitab ini." (QS. Al An'am : 38) Dan layak untuk kami (Musthafa Al Adawi) nukilkan disini ucapan Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari 2/350. Beliau menyatakan : " … dan juga Allah subhanahu wa ta'ala telah mengetahui apa yang akan mereka (para wanita) perbuat. Namun Allah tidak mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk melarang mereka (mendatangi masjid). Seandainya apa yang mereka perbuat mengharuskan untuk melarang mereka dari masjid, niscaya melarang mereka dari selain masjid seperti mendatangi pasar-pasar adalah lebih utama. Dan juga perbuatan yang diada-adakan itu hanya dilakukan oleh sebagian wanita, tidak seluruhnya. Maka pengkhususan larangan (penunjukkan larangan) ditujukan kepada wanita yang berbuat. Yang lebih utama adalah menilik perkara yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, lalu menghindarinya berdasarkan isyarat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melarang memakai wangi-wangian dan berhias." (Lihat Jami' Ahkamin Nisa' 1/280) ] Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla (3/ 134) menyebutkan enam sisi bantahan terhadap orang yang berhujjah dengan ucapan Aisyah radliyallahu ‘anha ini untuk melarang wanita ke masjid secara mutlak. Dua sisi diantaranya kami sebutkan secara ringkas di bawah ini : Sisi pertama : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempat melihat apa yang diperbuat para wanita, maka beliau tidak melarang mereka ke masjid. Apabila beliau sendiri tidak melarang mereka (ke masjid) maka berarti melarang mereka adalah bid’ah dan kesalahan. Ini sama dengan firman Allah Ta’ala : يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَن يَأْتِ مِنكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْ “Wahai istri-istri Nabi, siapa diantara kalian yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata niscaya akan dilipatgandakan siksaan padanya dua kali lipat … .” (QS. Al Ahzab : 30) Maka mereka sama sekali tidak mengerjakan perbuatan keji yang nyata sehingga tidak dilipatgandakan adzab bagi mereka, walhamdulillah. Dan juga seperti firman Allah Ta’ala : وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْض “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’raf : 96) Maka mereka tidak beriman sehingga tidak dibukakan barakah bagi mereka. Sisi Kedua : Aisyah radliyallahu ‘anha tidak berpendapat melarang para wanita karena sebab itu dan ia tidak berkata : “Laranglah mereka karena apa yang mereka perbuat.” Akan tetapi Aisyah mengabarkan : “Andai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup niscaya beliau melarang mereka … .” Kami katakan : Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka, kami pun melarang mereka. Dan bila beliau tidak melarang maka kami pun tidak melarang mereka. Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Wanita dibolehkan menghadiri shalat berjamaah di masjid namun harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat seperti tidak memakai wangi-wangian sebagaimana dikabarkan oleh Zainab Ats Tsaqafiyah, istri Abdullah bin Mas’ud radliallahu anhuma. la berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami : “Bila salah seorang dari kalian (para wanita) ingin menghadiri shalat di masjid maka janganlah ia menyentuh wewangian.” (HR. Muslim 4/163, Ibnu Khuzaimah 1680, dan Al Baihaqi 3/439) Demikian juga hadits Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian maka janganlah ia menghadiri shalat lsya yang akhir bersama kami.” (HR. Muslim 4/162, Abu Daud 4175, dan Nasa’i 8/154) Musthafa Al Adawi berkata : [ Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah memiliki pendapat yang ganjil dimana ia berkata dalam Al Muhalla 4/78 : "Tidak halal bagi seorang wanita menghadiri shalat di masjid dalam keadaan memakai wangi-wangian. Jika ia melakukannya maka batallah shalatnya." Ini merupakan pendapat yang ganjil dari beliau rahimahullah. Yang benar, --wallahu a'lam-- wanita yang melakukan perbuatan demikian (memakai wewangian ketika keluar menuju masjid) berarti telah berbuat dosa, akan tetapi dosanya tersendiri dari shalatnya dan tidak ada hubungan antara dosa itu dengan batalnya shalat. Allahu a'lam. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/288) Al Qadli ‘Iyadl rahimahullah menyebutkan syarat dari ulama berkenaan dengan keluarnya wanita, diantaranya tidak mengenakan perhiasan, tidak memakai wewangian, dan tidak berdesak-desakan dengan laki-laki. Kata Al Qadli : “Termasuk dalam makna wewangian adalah menampakkan perhiasan dan keindahannya. Jika ada sesuatu dari perbuatan demikian maka wajib melarang mereka karena takut fitnah.” Berkata Syaikh Abdullah Al Bassam dalam kitabnya, Taudlihul Ahkam (2/283) : [Terhitung wangi-wangian adalah sesuatu yang semakna dengannya berupa gerakan-gerakan yang dapat mengundang syahwat seperti pakaian yang indah, perhiasan, dan dandanan. Karena aroma si wanita, perhiasan, bentuknya, dan penonjolan kecantikannya merupakan fitnah baginya dan fitnah bagi laki-laki. Bila si wanita melakukan hal demikian atau melakukan sebagiannya, haram baginya untuk keluar berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu (telah disebutkan di atas, pent.) dan hadits dalam Shahihain dari Aisyah radliyallahu 'anhuma, ia berkata: "Seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat apa yang dilakukan para wanita sebagaimana yang kita lihat niscaya beliau akan melarang mereka ke masjid." ] Dituntunkan kepara para wanita yang hadir dalam shalat berjamaah di masjid untuk bersegera kembali ke rumah setelah menunaikan shalat. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radliyallahu ‘anha : “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat shubuh ketika hari masih gelap. Maka para wanita Mukminah berpaling (meninggalkan masjid) dalam keadaan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian mereka tidak mengenali sebagian lainnya.” (HR. Bukhari 872) Musthafa Al Adawi berkata setelah membawakan hadits di atas: [ Imam Bukhari membuat satu bab untuk hadits ini dalam kitab Shahih-nya dan diberi judul : Bab Bersegeranya Wanita Meninggalkan Masjid Setelah Shalat Shubuh dan Sebentarnya Mereka Berdiam di Masjid. Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan : "Dikhususkan waktu shubuh karena mengakhirkan keluar dari masjid (berdiam lama di masjid, pent.) berakibat suasana sekitar sudah terang. Maka sepantasnya wanita bersegera keluar. Berbeda dengan Isya, karena suasana akan semakin gelap hingga tidak bermudlarat untuk berdiam lebih lama di masjid (tentunya dengan catatan aman dari fitnah dan tidak ada gangguan yang membahayakan si wanita di jalanan seperti zaman sekarang ini, wallahu a'lam, pent.)." ] Aku (Mustafa Al Adawi) katakan : “Ucapan Al Hafidh ini diikuti oleh hadits berikutnya (hadits Ummu Salamah yang akan disebutkan setelah ini, pent.). Maka tidak ada maknanya untuk mengkhususkan waktu shubuh daripada waktu lainnya dalam hal bersegeranya wanita keluar dari masjid. Yang benar, para wanita bergegas meninggalkan masjid setelah menunaikan semua shalat hingga memungkinkan mereka untuk pergi sebelum bercampur-baur dengan laki-laki.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/285) Hindun bintu Al Harits berkata bahwa Ummu Salamah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– menceritakan padanya tentang para wanita di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila mereka telah mengucapkan salam dari shalat fardlu, mereka berdiri meninggalkan masjid sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para pria yang ikut shalat tetap tinggal selama waktu yang dikehendaki Allah. Maka apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, para pria pun ikut berdiri.” (HR. Bukhari 866) Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah juga, ia berkata : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah selesai salam (dari shalat) beliau tinggal sejenak di tempatnya (sebelum berdiri meninggalkan masjid, pent.).” (HR. Bukhari 849) Berkata seorang perawi hadits di atas : “Kami berpendapat, wallahu a’lam, beliau berbuat demikian agar ada kesempatan bagi para wanita untuk meninggalkan masjid.” Imam Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar 2/315 berkata : “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya imam untuk memperhatikan keadaan makmum dan bersikap hati-hati dengan menjauhi apa yang dapat mengantarkan kepada perkara yang dilarang … .” Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : “Jika pria dan wanita hadir bersama imam (dalam shalat berjamaah) maka disunnahkan bagi sang imam dan jamaah pria agar tetap tinggal di tempat (selesai menunaikan shalat) sekadar imam berpendapat bahwa jamaah wanita telah meninggalkan masjid … .” (Al Mughni 2/560) Musthafa Al Adawi berpendapat : “Bila di masjid itu ada pintu khusus bagi wanita dan mereka terhijab dari kaum pria dan kaum pria tidak melihat mereka maka tidak ada larangan –wallahu a’lam– bagi mereka untuk tetap tinggal di tempat shalat agar mereka dapat bertasbih, bertahmid, bertakbir, dan bertahlil dengan dzikir-dzikir tertentu setelah shalat karena para Malaikat bershalawat untuk orang yang shalat selama ia tetap di tempat shalatnya dalam keadaan berdzikir pada Allah dan selama ia belum berhadats sebagaimana hal ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/286-287) Sebaik-Baik Shaf Wanita Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang pertama dan sejelek-jelek shaf pria adalah yang paling akhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya yang paling depan.” (HR. Muslim nomor 440, Nasa’i 2/93, Abu Daud 678, Tirmidzi 224 dan ia berkata : “Hadits hasan shahih.” Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini nomor 1000) Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini, diantaranya : Berkata Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarhu Muslim (halaman 1194) : “Adapun shaf pria maka secara umum selamanya yang terbaik adalah shaf yang pertama dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf wanita maka yang dimaksudkan dalam hadits adalah shaf-shaf wanita yang shalat bersama kaum pria. Sedangkan bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dan tidak bersama kaum pria maka mereka sama dengan pria, yakni sebaik-baik shaf mereka adalah yang paling depan dan seburuk-buruknya adalah yang paling akhir. Yang dimaksud dengan jelek-nya shaf bagi pria dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya serta paling jauh dari tuntutan syar’i. Sedangkan shaf yang paling baik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi jamaah wanita yang hadir bersama jamaah pria dikatakan memiliki keutamaan karena jauhnya para wanita itu dari bercampur (ikhtilath) dengan pria, dari melihat pria, dan tergantungnya hati tatkala melihat gerakan kaum pria, serta mendengar ucapan (pembicaraan mereka), dan semisalnya. Dan celaan bagi shaf yang terdepan bagi jamaah wanita (yang hadir bersama pria) adalah sebaliknya dari alasan di atas, wallahu a’lam.” Beliau rahimahullah berkata juga dalam Al Majmu’ 4/301 : “Telah kami sebutkan tentang disunnahkannya memilih shaf pertama kemudian sesudahnya (shaf kedua) kemudian sesudahnya sampai shaf yang akhir. Hukum ini berlaku terus-menerus bagi shaf pria dalam segala keadaan dan juga bagi shaf wanita yang jamaahnya khusus wanita, terpisah dari jamaah pria. Adapun jika kaum wanita shalat bersama pria dalam satu jamaah dan tidak ada pemisah/penghalang diantara keduanya, maka shaf wanita yang paling utama adalah yang paling akhir berdasarkan hadits Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu (telah disebutkan di atas, pent.).” Berkata Imam Syaukani rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : " ... dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir." Dikatakan paling baik karena berdiri pada shaf tersebut menyebabkan jauhnya dari bercampur dengan pria, berbeda dengan berdiri di shaf pertama dari shaf-shaf jamaah wanita karena mengandung (kemungkinan) bercampur dengan pria dan tergantungnya hati dengan mereka (para pria) disebabkan melihat mereka dan mendengar ucapan mereka. Karena inilah, shaf pertama dinyatakan paling jelek (bagi wanita). (Nailul Authar 3/184) ] Dalam Subulus Salam 2/30 (Maktabah Dahlan), Imam Shan’ani rahimahullah berkata : “Shaf yang paling akhir dikatakan shaf yang terbaik bagi wanita. Alasannya karena dalam keadaan demikian mereka berada jauh dari pria, dari melihat, dan mendengar omongan mereka. Hanya saja alasan ini tidak sempurna kecuali bila shalat mereka dilakukan bersama kaum pria. Adapun bila mereka shalat dan imam mereka juga wanita (jamaah khusus wanita, pent.) maka shaf-shaf mereka hukumnya seperti shaf-shaf pria yaitu yang paling utama adalah shaf pertama.” Musthafa Al Adawi berkata setelah menyebutkan hadits Abi Hurairah di atas : [ Ketentuan ini berlaku bila kaum wanita bergabung bersama kaum pria dalam shalat berjamaah dimana mereka berada di belakang shaf-shaf. Adapun bila jamaahnya khusus wanita atau bersama kaum pria dalam melaksanakan shalat akan tetapi mereka tidak dapat terlihat oleh pria, maka shaf yang paling baik adalah yang paling depan berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Seandainya mereka tahu keutamaan shaf yang terdepan niscaya mereka akan berundi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari 721) ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/353-354) Bolehnya Wanita Shalat Sunnah di Masjid Sebagaimana wanita dibolehkan untuk shalat berjamaah di masjid, dibolehkan pula baginya untuk melakukan shalat sunnah di masjid selama aman dari fitnah dan terpenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Hal ini berdalil dengan riwayat Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu. Anas berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, tiba-tiba beliau mendapatkan seutas tali terbentang diantara dua tiang (masjid). Maka beliau bersabda : “Tali apa ini?” Para shahabat menjawab : “Tali ini milik Zainab. Bila ia merasa lemah (dari melaksanakan shalat sunnah, pent.) ia bergantung dengan tali ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jangan, putuskan tali ini! Hendaklah salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan ia bersemangat maka kalau ia lemah hendaklah ia duduk.” (HR. Bukhari hadits 1150, dikeluarkan juga oleh Muslim, Abu Daud 1312, Nasa’i, dan Ibnu Majah 1371) Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/37 : “Hadits ini menunjukkan upaya menghilangkan kemungkaran dengan tangan dan lisan dan menunjukkan bolehnya para wanita menunaikan shalat nafilah (sunnah) di masjid.” Penutup Sebelum seorang wanita melangkah ke masjid, ia harus melihat syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam agama ini agar ia tidak jatuh dalam pelanggaran dan perbuatan dosa. Dan ia hendaknya tidak melupakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Humaid ketika Ummu Humaid berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat bersamamu.” Nabi menjawab : “Sungguh aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih-baik daripada shalatmu di masjidku ini.” (HR. Ibnu Khuzaimah 1689, Ahmad 6/371, Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab. Kata Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini : “Isnadnya hasan dengan syawahid.” Lihat Al Insyirah halaman 74) Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan : “Bersamaan dengan dibolehkannya wanita keluar ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di rumahnya lebih utama daripada hadirnya ia dalam shalat berjamaah (di masjid).” (Al Insyirah halaman 73) Wallahu A’lam Bish Shawwab. (Dikutip dari tulisan Ummu Ishaq, judul asli Shalatnya Wanita di Masjid, dari majalah Salafy MUSLIMAH XXXII/1420/1999/Kajian Kita, url sumber http://www.geocities.com/dmgto/muslimah201/wanitamasjid.htm)

Keluar Rumah Tanpa Sepengetahuan Suami

Tanya: Apakah dibolehkan bagi seorang wanita keluar ke pasar untuk membeli kebutuhan-kebutuhannya dan kebutuhan putrinya tanpa sepengetahuan suaminya? Jawab: Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menjawab: “Yang wajib bagi seorang wanita adalah ia tidak keluar dari rumahnya menuju pasar atau tempat lainnya kecuali dengan izin suaminya. Bila memang memungkinkan kebutuhannya dibelikan oleh suaminya atau laki-laki lainnya dari kalangan mahramnya atau selain mereka, itu lebih baik bagi si wanita daripada harus keluar sendiri dari rumahnya. Bila memang terpaksa keluar rumah tanpa izin suaminya, dia wajib menjaga dirinya dari perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan dengan memakai hijab yang sempurna menutupi wajahnya dan selainnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ “Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33) Dan firman-Nya: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan kepada wanita-wanitanya orang-orang yang beriman: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka di atas tubuh mereka…’.” (Al-Ahzab: 59) Jilbab adalah pakaian luar yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan tubuhnya yang dipakai di atas tsiyab (pakaian yang sudah dikenakan di atas tubuhnya). Demikian pula firman-Nya: فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ “Dan apabila kalian meminta sesuatu keperluan kepada mereka maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 557) Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=526

Surat An-Nisa`, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah? Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6) Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita. 1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1) Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566) Dalam hadits shahih disebutkan: “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299) 2. Dijaganya hak perempuan yatim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3) Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat: وَيَسْتَفْتُونَكَ “Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127) Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain: وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ “Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127) Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444) Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ ۖ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127) Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447) 3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3) Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan: وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.” Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317) Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam. 4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4) 5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7) Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579) Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63) Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat: يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ “Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11) Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160) 6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini: وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173) 7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19) Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ÝóÅöäú ßóÑöåúÊõãõæåõäøó (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.” Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173) Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58) 8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا “Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21) 9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23) Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16) Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23) Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16) Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. 1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha. 2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=617