Sabtu, 16 Juni 2012

Haruskah Menyebutkan Kebaikan Ahlul Bid'ah

Haruskah Menyebutkan Kebaikan Ahlul Bid'ah 07:02 | Aqidah, Hizbiyah, Manhaj, Rudud (Bantahan) www.muhammad-assewed.blogspot.com HARUSKAH MENYEBUTKAN KEBAIKAN AHLUL BID'AH ( Bantahan Terhadap Syubhat ke-5 ) Di antara syubhat yang dilontarkan oleh para mudzabdzabin1) adalah ucapan mereka: “Kita tidak boleh melupakan ja-sa-jasa dan kebaikan ahlul bid’ah”, “Keti-ka kita mengkritik ahlul bid’ah, kita ha-rus pula menyebutkan kebaikan mereka”, atau “Bagaimana pun mereka juga mem-punyai kebaikan” dan kalimat-kalimat lain yang semakna. Sebaliknya para ulama yang tidak menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah dituduh dzalim dan tidak adil. Mereka berupaya untuk meruntuh-kan kaidah jarh (kritikan dan celaan) para ulama terhadap ahlul bid’ah, dengan menganggap bahwa perselisihan yang terjadi di kalangan kelompok-kelompok sempalan ahlul bid’ah adalah permasa-lahan keaneka-ragaman yang saling me-lengkapi, bukan pertentangan. Kemudian mereka memberikan syarat bagi siapa saja yang hendak mengkritik ahlul bid’ah dan menerangkan kesesatan yang ada pa-danya untuk menyebutkan pula kebai-kan-kebaikannya. Barangsiapa yang tidak melakukannya berarti dia tergolong seba-gai orang yang zalim dan berlebihan alias keterlaluan --menurut anggapan batil mereka--. Mereka mencari-cari dalil untuk mendukung kebid’ahan mereka dengan ucapan yang samar, berbias atau muta-syabihat agar dapat dijadikan sebagai fitnah dan dicari-cari ta’wilnya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ahmad bin Abdurrahman as-Shuwayyan, Hisyam bin Ismail as-Shini, Salman al-Audah, Zaid az-Zaid, Aqil bin Muhammad al-Muq-thiri, Abdurrahman Abdul Khaliq dan yang lainnya. Demikian pula yang dilakukan oleh para muqallid mereka yang ada di Indonesia yang didukung oleh yayasan-yayasan tertentu seperti ash-Shafwa, Ihyaut Turats, al-Haramain dan lain-lain. Upaya mereka itu bertujuan untuk menghilangkan sekat pemisah antara ah-lus sunnah dan ahlul bid’ah, untuk kemu-dian menggabungkan mereka dalam satu partai atau kelompok besar(hizbiyyah) yang hanya mementingkan kwantitas dan tidak mementingkan kwalitas. Sungguh suatu upaya yang mustahil menggabungkan dua kelompok yang ber-lawanan. Yang satu mengatakan “Ikutilah sunnah jauhilah bid’ah”, sedangkan yang lain mengatakan: “Kerjakanlah kebid’ah-an dan tinggalkanlah sunnah”. Jangan dianggap kecil ucapan-ucap-an mereka! Dengan syubhat mereka ini akan gugur prinsip-prinsip ahlus sunnah seperti: amar ma’ruf nahi mungkar, kai-dah jarh wa ta’dil dalam ilmu hadits dan akan menjatuhkan para ulama ahlul ha-dits dengan tuduhan dzalim. Yang pada akhirnya akan menumbuh-suburkan kebid’ahan dan mematikan sunnah. Mereka menganggap bahwa menye-butkan kebaikan ahlul bid’ah ketika mengkritiknya adalah “keadilan” (inshaf). Guna mendukung kebid’ahan me-reka ini, mereka bawakan ayat dan hadits tentang kewajiban berbuat adil. Di antara ayat yang sering mereka dengungkan adalah firman Allah: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. المائدة: 8 Hai orang-orang yang beriman hendak-lah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong ka-lian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (al-Maidah: 8) Dengan ayat ini mereka berpendapat bahwa kita harus berbuat adil sekalipun terhadap musuh-musuh kita yaitu de-ngan menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, jangan hanya menyebutkan keje-lekannya saja. Sungguh ini adalah pemahaman yang sangat batil akan makna keadilan. Karena sesungguhnya makna keadilan menurut para ulama salaf sejak shahabat sampai hari ini adalah menghukumi sese-orang dengan hak dan kebenaran atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maka jika seorang ulama mengkritik atau menjarh seseorang yang sesat (ahlul bid’ah) yang memang sepantasnya untuk di jarh dengan bukti-bukti yang benar dan dalil yang jelas. Kemudian memperingatkan manusia dari bahaya kesesatannya maka itu adalah keadilan dan bukan kedzaliman. Kecuali jika ia menuduh dengan bukti-bukti yang dusta dan saksi-saksi palsu atau menjarh orang yang tidak layak untuk di-jarh dari kalangan ulama ahlus sunnah yang jujur dan terpercaya (tsiqah), maka itulah yang dinamakan kedzaliman. Sama sekali tidak berkaitan dengan masalah penyebutan kebaikannya atau pun tidak. Di samping itu, menyebutkan kebaikan ketika kita memperingatkan manu-sia dari penyimpangan seseorang sung-guh sangat bertentangan dengan hikmah dan tujuan peringatan itu sendiri. Apa-kah pantas kita katakan: “Hati-hati dari orang khawarij ini, tetapi dia memiliki kebaikan-kebaikan”?, “Hati-hatilah dari kesesatan orang syi’ah ini, namun dia adalah orang yang baik, ahli ibadah, dermawan dan lain-lain”?!. Mereka juga memakai dalil-dalil yang dipaksakan, di antaranya ucapan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Hurairah ketika beliau menerangkan siapa orang yang mencuri harta baitul maal dan mengajar-kan ayat kursi: أَمَا إِنَّهُ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوْبٌ. (رواه البخاري Ketahuilah sesungguhnya dia telah ber-kata benar kepadamu padahal dia pen-dusta. (HR. Bukhari) Ucapan ini dianggap oleh para mu-dzabdzabin tadi sebagai dalil harusnya menyebutkan kebaikan walaupun itu adalah setan sang pendusta. Untuk menjawab syubhat tentang hadits Abu Hurairah tersebut, maka kita bantah dari beberapa sisi: Pertama: Di dalam hadits dijelas-kan bahwa tatkala Abu Hurairah meng-kabarkan kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tentang kisah di atas, maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memberitakan kepadanya dengan mengatakan: أَمَا إِنَّهُ كَذَبَكَ وَسَيَعُوْدُ “Ketahuilah bahwa sesungguhnya dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali (mengulangi perbuatannya)”. Maka setan pun kembali melakukan pencurian, dan Abu Hurairah kembali menangkapnya. Kemudian beliau meng-kabarkannya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tentang hal itu, maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam pun ber-sabda untuk kedua kalinya: “Ketahuilah bahwa dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali (mengulangi perbu-atannya)”. (HR. Bukhari) Dari kejadian ini dapat kita lihat bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan apa yang diistilahkan oleh mereka --para ah-lul bid’ah-- dengan muwazanah (keseim-bangan) antara penyebutan kejelekan setan dan kebaikan-kebaikannya pada dua peringatan pertama beliau. Dan beliau juga tidak memerintahkan kepada Abu Hurairah atau yang lainnya dari kalangan sahabat untuk melakukan hal itu walaupun sedikit, demi memberikan pendidikan muwazanah (balance). Kedua: Ucapan beliau shalallahu 'alaihi wa sallam pada keja-dian ketiga: “Ketahuilah, sesungguhnya dia telah berkata benar namun dia adalah seorang pendusta”, tidak menunjukkan adanya sedikitpun sikap muwazanah antara kebaikan dan kejelekan amalan setan. Sesungguhnya yang ada hanyalah menerima kebenaran dan kejujuran dari siapa saja. Menyatakan yang hak adalah hak dan yang batil adalah batil, dari siapa pun sumbernya. Apakah dia seorang Ya-hudi, Nashrani, penyembah berhala, sosi-alis, atau setan yang pendusta lagi ter-kutuk sekalipun. Di sini menunjukkan pemuliaan ter-hadap kebenaran dan kejujuran serta pe-nerimaannya, walaupun datang dari jalan sumber yang jelek. Terlebih lagi apabila kita tidak mendapatkan jalan menuju ke-benaran tersebut, kecuali dari jalannya. Ini jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir, ahlul bid’ah, penentang kebenaran, kaum hizbiyyin harakiyyin (dan para mudzab-dzabin sendiri, pent), dimana mereka adalah orang-orang yang menolak kebe-naran dan kejujuran, walaupun datang-nya dari orang-orang yang jujur lagi adil. Bahkan walaupun datangnya dari para nabi dan rasul, sekalipun sebagaimana yang terjadi pada orang-orang kafir. (Li-hat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, DR. Rabi’ bin Hadi al Madkhali hal. 70-71) Alasan lainnya adalah apa yang me-reka nukilkan dari para ulama ahlus sun-nah ketika menuliskan biografi para tokoh-tokoh ahlul bid’ah. Mereka menu-liskannya secara lengkap: ilmunya, jasa-jasanya, dan sekaligus penyimpangan dan kesesatannya. Mereka anggap sikap para ulama ini adalah mendukung prinsip muwazanah (keseimbangan) mereka. Di antara yang paling banyak mereka nukil adalah ucap-an imam adz-Dzahabi dalam as-Siyar. Kita bantah alasan mereka ini dengan beberapa kalimat: Pertama, kita katakan sungguh sangat berbeda antara seorang ulama yang menulis biografi seseorang dan seorang ulama yang sedang memperingatkan umat dari bahaya penyimpangan sese-orang. Entah apakah mereka tidak me-ngerti atau berpura-pura tidak mengerti. Sebagai contoh lihat apa yang dila-kukan oleh imam ad-Dzahabi sendiri sebagaimana yang ternukil dalam kitab beliau “as-Siyar” yang berisi biografi dan kitab beliau “al-Kaasyif” yang merupa-kan kritikan. Kita dapati di dalam as-Siyar, beliau menyebutkan kebaikan dan kejelekan orang yang diterangkan biogra-finya secara lengkap, karena memang sedang membahasan biografi. Lain hal-nya yang terdapat dalam kitab beliau al-Kaasyif, beliau tidak menyebutkan se-orang perawi melainkan kritikan (jarh). Oleh karena itulah berkata Rafi’ bin Asyras rahimahullah: “Adalah dikatakan termasuk dari hukuman bagi pendusta ialah untuk tidak diterima kejujurannya. Dan aku katakan: “Termasuk dari balas-an bagi orang yang fasik dan ahlu bid’ah ialah untuk tidak disebutkan kebaikan-kebaikannya”. (Lihat Syarah ‘Ilal at Tirmidzi, Ibnu Rajab 1/353 dan Irsyadul Bariyyah, Hasan bin Qasim hal.198-201) Kedua, betapa banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih yang menceritakan tentang kejelekan Yahudi, Nashrani, kaum musyrikin, mu-nafiqin dan orang-orang sesat dengan tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Apakah mereka menganggap semua itu sebagai kedzaliman?! Ketiga, para ulama tidak ada yang mewajibkan untuk menyebutkan kebaik-an ketika mengkritik seseorang. Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Ab-dullah bin Baaz ketika ditanya apakah perlu menyebutkan kebaikan ahlul bid-’ah: “Tidak! tidak mesti menyebutkan kebaikan mereka. Jika engkau membaca buku-buku ahlus sunnah, engkau akan dapati yang demikian, karena tujuan me-reka adalah memperingatkan…” (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 7) Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad keti-ka ditanya dengan pertanyaan yang sa-ma, beliau menjawab: “Tidak perlu eng-kau mengumpulkan kebaikan dan me-nyebutkannya”. (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 19) Demikian pula Syaikh al-Albani keti-ka ditanya dengan pertanyaan yang sa-ma, beliau berkata: “Itu merupakan prinsip bid’ah, apakah ketika seorang ulama hadits berbicara tentang orang yang shalih atau alim dan faqih bahwa dia lemah hafalannya, apakah mesti dia mengatakan setelah itu: dia adalah orang shalih, faqih, menjadi rujukan dalam mengambil hukum-hukum fiqih … dan seterusnya?! Allahu Akbar”. (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 19). Wallahu a'lam. Ustadz Muhammad Umar as-Sewed & Muh. Sholehuddin

Tidak Ada Masalah Sepele Dalam Agama Ini

Tidak Ada Masalah Sepele Dlm Agama Ini 13:03 | Hizbiyah, Manhaj, Nasehat, Rudud (Bantahan) www.muhammad-assewed.blogspot.com TIDAK ADA MASALAH SEPELE DALAM AGAMA INI ( Bantahan Terhadap Syubhat 1) Dalam masalah penerapan sunnah sering dilontarkan syubhat-syubhat dari ahlul bid’ah yang menyebabkan umat enggan dan tidak bersemangat untuk mengamalkannya. Di antaranya syubhat-syubhat yang dipropagandakan oleh para politikus yang berbaju da’i. Mereka selalu meremehkan masalah fiqih dan hukum-hukum syari’at dan menganggapnya sebagai perkara remeh dan sepele. Mereka menganggap pelajaran-pelajaran seperti tauhid uluhiyah, fiqih syari’ah dan lain-lainnya sebagai kulit (qusyur) dan bukan inti (lubab) dari ajaran agama ini. Atau mereka menganggapnya sebagai furu’ (cabang) dan bukan perkara ushul (pokok). Perhatikan perkataan Abdurrahman Abdul Khaliq ketika mengkampanyekan pentingnya mengenali situasi politik (shifatul ashr) dalam kasetnya sebagai berikut: “Sayang sekali pada hari ini kita memiliki syaikh-syaikh para ulama yang hanya mengerti qusyur (kulit Islam) yang sudah lewat masanya…..” Para ulama yang tidak mengetahui shifatul ashr dianggap sebagai orang-orang yang jumud dan hanya mengerti qusyur atau kulit Islam saja. Ini meru-pakan bentuk pelecehan dan meremeh-kan syariat Allah Azza wa Jalla yang dibawa oleh para ulama tersebut. Di tempat lain ia menyatakan bahwa para ulama dikatakan sebagai mumi yang badannya hidup di zaman kita, sedangkan akal dan pikiran mereka ada di masa lalu. Atau dengan istilah dia yang lain ‘cetakan lama’, ‘ulama haid dan nifas’, dan seterusnya. Ucapan-ucapan ini sama dengan ucapan seluruh ahlul bid’ah sejak dahulu, apakah dari kalangan mu’tazilah ataupun yang lainnya. Seperti apa yang diucapkan oleh ‘Amr bin Ubaid: “Ilmunya imam Syafi’i tidak keluar dari celana dalam perempuan”. Atau istilah-istilah lain yang lebih mengerikan dari ini. Semua perkataan itu bertujuan sama, yaitu merendahkan ilmu-ilmu fiqih seperti hukum haid, nifas, thaharah, mandi junub, dan segala hukum-hukum yang berkaitan dengan fiqih. Mereka menganggap bahwa perkara itu sangat rendah yang seharusnya kita lebih mementingkan perkara yang lebih besar, yaitu wawasan politik, mengenal situasi politik (shifatul ‘ashr), atau menurut istilah Ikhwanul Muslimin tsaqafah islamiyah, atau fiqhul waqi’ menurut istilah sururiyyin, dan sistem kepartaian dan demokrasi serta berbagai macam perkara yang mereka anggap bisa meme-nangkan mereka dalam percaturan poli-tik dan mencapai puncak kekuasaan yang mereka inginkan. Para ulama membantah syubhat mereka ini dari beberapa sisi: 1. Jika pembagian tersebut bertujuan ha-nya untuk mementingkan yang ushul dan meremehkan yang furu’, maka ini adalah pembagian yang batil. Kita katakan kepada mereka: ”Tidak ada dalam agama ini perkara yang remeh” seperti dikatakan oleh Imam Malik. Pada suatu saat Imam Malik pernah di-tanya dengan satu pertanyaan, kemudian beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Mendengar jawaban ini si penanya terhe-ran-heran dan berkata: “Sesungguhnya ini adalah masalah yang sepele, dan aku bertanya tentang hal ini semata-mata karena ingin memberi tahu kepada sang amir (penguasa)”. Melihat hal ini, Imam Malik marah seraya berkata: “Kau kata-kan ini masalah sepele dan remeh? Tidak ada dalam agama ini perkara yang re-meh! Tidaklah kau mendengar ucapan Allah Azza wa Jalla: إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً. المزمل: 5 Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. (al-Muzammil: 5) Oleh karena itu seluruh ilmu agama ini semuanya berat, khususnya karena akan dipertanyakan pada hari kiamat (Tarti-bul Madariq, Qadli ‘Iyadl 1/184; Lihat Dlarurarul Ihtimam bis Sunnatin Nabawiyyah, hal. 118) Perhatikanlah ucapan Imam Malik di atas, bahwasanya perkara agama ini semuanya penting dan berat karena akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Ucapan itu cukup sebagai bantahan terhadap syubhat dari ahlul bid’ah yang membagi-bagi agama ini menjadi Qusyur wa Lubab (kulit dan inti), kemudian mereka meremehkan perkara yang mereka anggap qusyur. Demi-kian pula sebagian yang lain yang mem-bagi agama ini menjadi Ushul wal Furu’ (Pokok dan Cabang), dan menganggap remeh masalah furu’ dengan kalimat-kalimat yang banyak diucapkan seperti: “Inikan masalah furu’, kenapa harus di-ajarkan?” atau kalimat: “Janganlah ka-lian disibukkan dengan masalah furu’” dan lain-lainnya. Ahlul bid’ah selalu sinis terhadap ahlus sunnah yang senantiasa mengkaji, mempelajari, menulis masalah-masalah fiqih seperti gerakan-gerakan shalat atau masalah-masalah fiqih lainnya dan men-cemoohkan mereka dengan kalimat-kali-mat di atas. 2. Pembagian ini merupakan pembagian bid’ah yang tidak ada asalnya. Dalam hal ini kita dengarkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahima-hullah: “Adapun pembagian agama ini dengan istilah masalah ushul dan furu’ adalah pembagian yang tidak ada dasar-nya (tidak ada asalnya). Pembagian itu tidak berasal dari para shahabat, para tabi’in maupun yang mengikuti mereka dengan ihsan, dan tidak pula dari para imam kaum muslimin. Istilah ini se-sungguhnya diambil dari kaum mu’ta-zilah dan yang sejenis dengan mereka dari ahlul bid’ah. Kemudian istilah ter-sebut dipakai oleh sebagian ahlu fiqih da-lam kitab-kitab mereka, padahal pemba-gian ini sangat kontradiktif”. (Masail Maridiniyah, hal. 788; Lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Bar-jas, hal. 111) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika membicarakan pembagian agama menjadi ushul dan furu’: “Semua pem-bagian yang tidak dapat dibuktikan de-ngan al-Qur’an dan as-Sunnah serta prin-sip-prinsip syariat, hal itu adalah pem-bagian yang batil dan harus dibuang. Ka-rena pembagian seperti ini adalah salah satu dari dasar-dasar kesesatan umat”. (Mukhtashar ash-Shawaiqul Mursalah, 2/415) 3. Tidak ada definisi yang disepakati oleh mereka sendiri, manakah yang dimak-sud ushul dan mana yang dianggap furu’. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah diatas, pembagian ini sangat kontradiktif. Ketika kita tanyakan kepada mereka apakah yang kalian anggap se-bagai ushul ternyata mereka sendiri berselisih pendapat. Sebagian mereka menganggap masalah keyakinan (aqidah) sebagai ushul dan masalah amaliyah (ibadah) sebagai furu’. Kalau demikian apakah mereka menganggap bahwa shalat sebagai furu’, padahal seluruh umat Islam mengerti bahwa shalat adalah merupakan salah satu prinsip pokok ajaran Islam? Sebagian yang lain mengatakan bah-wa yang merupakan ushul adalah perkara-perkara yang meyakinkan (muta-watir), sedangkan yang tidak mutawatir dianggap sebagai perkara furu’ yang meragukan. Ini pun terbantah karena masalah keyakinan itu berkaitan dengan ilmu, sehingga berbeda-beda pada tiap orang. Bagi para ulama yang mengerti ilmu hadits, mereka sangat yakin terha-dap seluruh hadits shahih, apakah ia mutawatir ataupun tidak. Sebagian yang lain menyatakan bah-wa perkara ushul adalah perkara-perkara yang wajib, sedangkan perkara-perkara yang tidak wajib dianggap furu’. Kalau begitu apakah boleh kita meremehkan perkara yang tidak wajib? Sebagian lagi menyatakan bahwa yang merupakan perkara ushul adalah masalah yang disepakati oleh para ulama, sedangkan masalah furu’ adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Bahkan sebagian lainnya menyatakan bahwa seluruh perkara, baik aqidah, iba-dah, maupun hukum adalah furu’, sedangkan intinya adalah bersikap baik terhadap sesama manusia (akhlaq kema-nusiaan). Ada pula yang menyatakan seperti apa yang banyak diucapkan akhir-akhir ini bahwa masalah yang merupakan po-kok agama ini adalah berjuang mencapai kekuasaan melalui sistem demokrasi, wa-laupun harus mengorbankan prinsip aqi-dah, ibadah dan akhlaq, karena mereka anggap sebagai furu’. Akhirnya setiap aliran sesat yang ingin membuang atau meremehkan suatu masalah akan mengatakan masalah itu adalah furu’. 4. Jika pembagian ini dilakukan bertu-juan untuk meremehkan perkara-per-kara yang mereka anggap sebagai fu-ru’, maka ini adalah sebesar-besar kebatilan, karena Allah memerintah-kan kita untuk memeluk agama ini secara keseluruhan. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاً تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. البقرة: 208 Hai orang-orang yang beriman, masuk-lah kalian ke dalam Islam secara keselu-ruhan, dan janganlah kalian turut lang-kah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah: 208) Menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu berkata: “As-Silmi adalah Islam, sedang-kan Kaaffah maknanya adalah keselu-ruhan”. Berkata Mujahid: “Amalkanlah seluruh amalan dan seluruh kebaikan”. Juga berkata Ibnu Katsir: “Allah meme-rintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan yang membenarkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam agar mengambil seluruh syariat-syariat Islam, mengamalkan selu-ruh perintah-perintahnya dan mening-galkan seluruh yang dilarangnya”. Demikianlah para ulama menafsir-kan ayat di atas, yakni ambillah dari sya-riat Islam ini secara keseluruhan. Jangan memilih-milih atau mengambil sebagian dan meremehkan sebagian lainnya. Para ulama tidak membedakan mana yang ushul dan mana yang furu’. Mereka tidak pula membedakan mana yang Qusyur dan mana yang Lubab. Kita wajib meng-ambilnya secara keseluruhan sebagai agama Allah yang mulia dan kita wajib menghormatinya. Jika hal itu perkara wajib, maka kita harus mengamalkannya. Dan jika hal itu adalah perkara yang mustahab, maka kita dianjurkan untuk mengamalkannya. Kalaupun kita tidak mengamalkannya (karena bukan wajib), kita tetap tidak boleh merendahkannya dan menganggapnya sebagai perkara yang sepele dengan menyebutkan sebagai perkara furu’, qusyur, juziyyat dan isti-lah-istilah yang lainnya. 4. Kerasnya para shahabat kepada orang-orang yang meremehkan sunnah, walaupun pada perkara-perkara yang dianggap furu’. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ketika beliau berkata bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ. (متفق عليه “Janganlah kamu cegah perempuan-perempuan kalian (untuk) mendatangi masjid.” (HR. Bukhari Muslim) Kemudian berkatalah anaknya: “Demi Allah, aku akan melarang mereka ke masjid”. Mendengar ucapan tersebut Ib-nu Umar marah dan memaki anaknya dengan caci makian yang tidak pernah diucapkan sebelumnya, seraya berkata: “Saya katakan ‘Rasulullah berkata’, ke-mudian kamu mengatakan: “Demi Allah akan saya larang?!” Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar bah-wasanya ia berkata: “Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ائْذِنُوْا النِّسَاءَ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسَاجِدَ Izinkanlah oleh kalian wanita-wanita pergi ke masjid”. Maka berkatalah anaknya: “Kalau begitu mereka akan mengambilnya sebagai per-mainan”. Maka Ibnu Umar pun memukul dadanya seraya berkata: “Aku sampaikan kepadamu dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, kamudian kamu mengatakan: “Tidak?!!”” Berkata Imam Nawawi (mengomen-tari riwayat di atas): “Padanya ada dalil untuk menghukum orang yang menen-tang sunnah dan yang membantah de-ngan akal pikirannya”.Wallahu a’lam. Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Dakwah Salaf, Dakwah Tauhid

Dakwah Salaf, Dakwah Tauhid 07:12 | Aqidah, Manhaj, Nasehat www.muhammad-assewed.blogspot.com DAKWAH SALAF DAKWAH TAUHID Sesungguhnya istilah salaf atau dak-wah salaf bukanlah istilah baru. Istilah ini sudah dikenal sejak masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang telah disinggung pada edisi perdana Risalah Dakwah ini. Yaitu ucapan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam kepada Fathimah: فَاتَّقِى اللهَ وَاصْبِرِيْ فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ. (رواه مسلم، فضائل فاطمة 2/245حديث 98 Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu. (HR. Muslim) Para shahabatpun sering menggunakan istilah salaf untuk menyebutkan tentang mereka-mereka yang sudah mendahuluinya. Seperti ucapan Anas bin Malik -seorang sha-habat yang paling akhir meninggal. Tatkala beliau melihat kerusakan-kerusakan kaum muslimin ketika itu, beliau berkata: “Kalau saja ada seseorang dari kalangan salaf yang pertama dibangkitkan hari ini, maka dia tidak akan mengenali Islam sekarang sedikitpun kecuali shalat ini”. (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, juz 1 hal 34) Demikian pula para ulama sepeninggal beliau. Mereka pun sering menyebut istilah salaf untuk menerangkan bahwa jalan yang benar adalah jalan salaf, yakni jalannya para shahabat. Berkata Maimun bin Mahram meri-wayatkan dari ayahnya: “Kalau saja ada sese-orang dari kalangan salaf dibangkitkan di antara kalian niscaya dia tidak mengenali keislaman kecuali kiblat ini (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, juz 1 hal 34). Oleh karena itu istilah salaf dikenal oleh para ulama untuk menunjukkan generasi per-tama dan utama dari umat ini seperti yang pernah diucapkan oleh Imam Bukhari, Ibnu Hajar al-Atsqalani dan selainnya. Simaklah apa yang dinasehatkan oleh Abu Amr al-Auza’i: “Sabarkanlah dirimu di atas jalan sunnah. Berhentilah kamu di mana kaum itu berhenti. Ucapkanlah apa yang mereka ucap-kan. Tinggalkanlah apa yang telah mereka tinggalkan dan jalanilah jalan salafmu yang shalih.” Beliau juga berkata: “Wajib bagi kali-an untuk berpegang dengan jejak-jejak salaf walaupun manusia menolakmu. Dan hati-hatilah kalian dari pendapat-pendapat ma-nusia walaupun mereka mengindahkan uca-pannya untukmu.” Dan masih banyak ucapan ulama yang lainnya. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam telah berpesan kepada kita untuk tetap berpegang dengan sunnahnya dan sunnah para shahabatnya: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. (أخرجه الترمذي وحسنه الشيخ الألباني Wajib atas kalian berpegang dengan sun-nahku dan sunnahnya para khulafaur Rasyi-din yang diberi petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. (HR. Tirmidzi dan diha-sankan oleh Al-Albani) Dengan demikian dakwah salaf adalah dakwah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Sedangkan dakwah beliau adalah dakwah yang menyeru manusia kepada tauhid serta tegak di atas sunnah Nabi-Nya. Dengan sendi-rinya dakwah ini tidak memberikan tempat bagi kemusyrikan dan kebid’ahan. Allah Azza wa Jalla berfirman: قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوْا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. يوسف: 108 Katakanlah (Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku me-ngajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukan-lah termasuk orang-orang yang musyrik. (Yusuf: 108) Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bah-wa Allah ta’ala telah memerintahkan nabi-Nya untuk menyatakan inilah dakwah dan jalan yang aku menyeru dan berpijak di atas-nya, yaitu menyeru manusia untuk ber-tauhid, dan beribadah hanya kepada-Nya semata, yang berujung pada ketaatan kepadaNya dan tidak bermaksiat kepadaNya. Aku dan orang-orang yag mengikutiku me-nyeru hanya kepada Allah dengan hujjah yang dibimbing di atas ilmu dan keyakinan. Berkata imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy: “Dalam ayat ini terdapat beberapa faedah yang dapat kita ambil di antaranya: 1. Adanya peringatan untuk mengikhlaskan diri dalam beramal, karena kebanyakan da’i walaupun (seakan-akan) dia mendakwah-kan pada kebenaran, akan tetapi pada hake-katnya ia mendakwahkan kepada dirinya sendiri. 2. Memiliki بَصِيْرَةٍ “ilmu” adalah kewajiban bagi seorang da’i. 3. Termasuk dari bukti kebenaran tauhid ada-lah adanya pensucian bagi Allah ta’ala dari sifat-sifat tercela. 4. Termasuk dari bukti kejelekan syirik ialah bahwa syirik itu merupakan celaan bagi Allah ta’ala. 5. Seorang muslim tidak termasuk dari kaum musyrikin manakala ia tidak bergabung dengan kaum musyrikin walaupun tidak berbuat syirik. Inilah perbedaan dakwah salaf dengan dakwah-dakwah lainnya yang memiliki kecen-derungan mengesampingkan tauhid dengan berbagai macam alasan. Sebagian di antaranya menganggap tau-hid dan sunnah merupakan ilmu masa’il yang akan membikin ikhtilaf (perselisihan) dan perpecahan umat. Mereka hanya mau berbi-cara tentang ilmu fadhail (tentang keuta-maan-keutamaan ibadah). Sebagian lagi mencela dakwah tauhid ini dengan alasan menyeru umat kepada tauhid hanya buang-buang waktu saja, tidak mema-hami fenomena yang sedang terjadi. Bukan-kah musuh-musuh Islam kini telah siap untuk menerkam umat dari segenap penjuru dan dari segala bidang? Semua alasan yang diusung untuk me-nolak dakwah tauhid menjadi cukup bagi kita untuk menilai dakwah model apa yang mere-ka kehendaki. Semua tidak bergeser dari ke-pentingan politik dan duniawi semata. Mengapa mereka menjadi heran tatkala didahulukannya permasalahan tauhid dalam dakwah salaf? Bukankah hak Allah ta’ala un-tuk di-Esa-kan dalam segala peribadatan kepada-Nya adalah lebih utama dan lebih berhak untuk didahulukan?! Perhatikan wasiat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam kepada Mu’ad bin Jabbal tatkala beliau mengutusnya ke negeri Yaman: إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. (رواه البخاري ومسلم Wahai Mu’adz, sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab. Jika engkau telah datang kepada me-reka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disem-bah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (HR. Bukhari Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka hendaklah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka ialah عِبَادَةِ الله “beribadah kepada Allah (semata)”. Dan dalam riwayat lainnya disebutkan: أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ “agar mengesakan Allah” Mengapa para juru dakwah sekarang justru meremehkan hak Allah ini?! Bukankah hak Allah lebih utama untuk didahulukan? Bukankah dakwah tauhid merupakan kunci dakwahnya para rasul sebagaimana yang te-lah Allah abadikan dalam banyak ayat-Nya?. Kita bisa perhatikan bagaimana nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya, nabi Hud kepada kaum ‘Ad, nabi Shalih kepada kaum Tsamud, demikian pula nabi Syuaib berdak-wah kepada kaum Madyan. Mereka –seluruh-nya- mendakwahkan tauhid dengan menga-takan kepada kaumnya: يَا قَوْمِ اعْبُدُوا للهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِهِ Wahai kaumku, beribadahlah (hanya) ke-pada Allah yang mana tidak ada satu dzat pun yang berhak diibadahi kecuali Dia. Demikian halnya pada diri Nabi Ibrahin –kekasih Allah, bapaknya para nabi dan seka-ligus sebagai imam bagi orang-orang yang bertauhid-. Beliau mengkhawatirkan kesyi-rikan akan menimpa pada dirinya dan ketu-runannya, sehingga beliau beliau berdoa ke-pada Allah dengan menyatakan: رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ رَبِّ إِنَّهُنَّ أَ ضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَاسِ... ابراهيم: 35-36 Wahai rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Me-kah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Wahai rabb-ku, sesungguh-nya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia (Ibrahim: 35-36) Jika nabi Ibrahim mengkhawatirkan di-rinya dan keturunannya dari tertimpa ke-musyrikan, maka siapakah orangnya yang bisa menjamin dirinya terlepas dari bahaya kesyirikan? Dan siapakah orangnya yang me-rasa lebih baik wasiatnya daripada wasiatnya para nabi yang telah disampaikan kepada kaumnya? Demikianlah mereka –para nabi- dalam berdakwah! Meskipun mereka menghadapi budaya yang beraneka ragam dan problem yang bermacam-macam, akan tetapi dakwah mereka yang utama adalah dakwah kepada tauhid. Walaupun problem yang mereka hadapi adalah masalah perekonomian –sebagaimana yang terjadi pada kaum Madyan- ataupun problemnya adalah masalah politik, sosial, akhlaq dan lain-lain. Mereka tetap memulai-nya dengan mendakwahkan tauhid kepada kaumnya. Yang demikian itu karena perbaikan tauhid dalam masalah agama ini adalah seperti memperbaiki jantung pada badan manu-sia. Tidak akan bermanfaat mengobati anggo-ta badan, jika jantungnya telah berhenti berdetak. Demikian pula tidak akan diterima amalan ibadah apapun jika tauhid telah rusak dengan perbuatan syirik-syirik besar. Allah Azza wa Jalla berfirman: لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ الزمر: 65 Jika kamu mempersekutukan (rabb-mu), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (az-Zumar: 65) Dalam sebuah hadits riwayat Nu’man bin Basyir radhiallahu 'anhu , Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: أَلاَ إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. (رواه البخاري ومسلم Ketahuilah bahwasanya dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika baik segumpal daging itu, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan jika rusak segumpal daging segumpal da-ging tersebut, maka rusak pula seluruh tu-buhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. (HR. Bukhari Muslim) Hadits ini merupakan hujjah, bahwa perba-ikan hati dalam arti perbaikan aqidah dan keyakinan memiliki prioritas utama. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang ingin meninggikan ba-ngunan, maka hendaklah ia memantapkan fondasinya, menguatkan dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya bangunan itu sesuai dengan kuat-nya fondasi dan kemantapannya. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 13) Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang bijaksana akan lebih memperha-tikan perbaikan fondasinya. Sedangkan orang-orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi fon-dasinya, sehingga tidak berapa lama lagi ba-ngunan itu akan runtuh”. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 14) Allah Azza Wa Jalla berfirman: أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِى نَارِ جَهَنَّمَ... التوبة: 109 Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunan-nya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? (at-Taubah: 109) Ayat ini berkenaan dengan perbuatan kaum munafiqin ketika membangun masjid dalam keadaan hati mereka tidak memiliki aqidah dan keimanan yang benar. Apa yang dikerja-kannya merupakan pekerjaan sia-sia. Adapun yang membangun di atas fondasi tauhid dan ketaqwaan, maka bangunannya akan kokoh. Tauhid bagaikan akar pada sebuah pohon. Jika akar itu menghunjam ke bumi de-ngan mantap, maka pohon itu akan tegak berdiri menjulang ke langit. Berkata Ibnul Qayyim: “Tahun adalah ibarat sebuah pohon, bulan adalah cabang-cabangnya, hari adalah ranting-rantingnya, saat demi saat adalah daun-daunya dan nafas merupakan buahnya. Barangsiapa yang me-makai waktunya dalam ketaatan kepada Allah, maka buahnya manis. Dan barangsiapa yang menggunakannya dalam kemaksiatan, maka buahnya pahit dan hasil buahnya kelak akan dipanen pada hari kiamat. Manusia akan mendapatkan manisnya hasil amalannya di dunia atau pahitnya buah yang dia rasakan. Tauhid adalah pohon yang tumbuh dalam hati dan cabangnya adalah amalan, ada pun buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan kenikmatan yang kekal di akhirat. Sedangkan kesyirikan, kekufuran dan riya’ juga merupakan pohon yang tumbuh dalam hati, buahnya di dunia berupa ketakutan, gundah gulana, sempit dada dan kegelapan hati. Sedangkan buahnya di akhirat berupa Zaqum yang tidak mengenyangkan dan tidak pula menghilangkan rasa haus. Buah ini bah-kan akan merobek tenggorokan dan meng-hancurkan seluruh tubuhnya, dan buahnya adlah kekekalan adzab di akhirat. أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى السَّمَآءِ.... وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ اْلأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ. ابراهيم: 24-26 Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya men-julang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin rabb-nya………. Dan perumpamaan kalimat yang buruk (kalimat kufur, syirik) adalah seperti pohon yang buruk,yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (Ibrahim: 24-25). Wallahu a’lam Ustadz Muhammad Umar Assewed

PEMIKIRAN KHAWARIJ YANG MENYEBAR DI ZAMAN INI

PEMIKIRAN KHAWARIJ YANG MENYEBAR DI ZAMAN INI Jumat, 17 Desember 2010 05:58 (Terjemah) : Al-Ustadz Abu Mu 'Awiyah Askari bin Jamal Hafizhahullah www.salafybpp.com Syaikh Saleh Al-Fauzan Hafizhahullah ditanya: "Apakah dijaman ini ada orang yang membawa pemikiran khawarij ?" Beliau menjawab: يا سبحان الله! وهذا الموجود الآن أليس هو فعل الخوارج؟ وهو تكفير المسلمين وأشد من ذلك قتل المسلمين والاعتداء عليهم بالتفجير وهذا هو مذهب الخوارج وهو يتكون من ثلاثة أشياء : أولا: تكفير المسلمين ثانيا: الخروج عن طاعة ولي الأمر ثالثا: استباحة دماء المسلمين هذا هو مذهب الخوارج حتى لو اعتقد بقلبه وما تكلم وما عمل شيئا صار خارجيا في عقيدته ورأيه الذي ما أفصح به "Subhanallah! Ini yang ada sekarang bukankah ini merupakan perbuatan khawarij? Mengafirkan kaum muslimin.Yang lebih parah dari itu adalah membunuh kaum muslimin dan menganiaya mereka dengan pengeboman,ini adalah mazhab khawarij.Pemikirannya terdiri dari tiga hal: Pertama: Mengafirkan Kaum Muslimin Kedua: Keluar dari ketaatan kepada pemerintah Ketiga: Menghalalkan darah kaum muslimin Inilah mazhab khawarij, bahkan meskipun dia hanya meyakininya dalam hati, dia tidak mengucapkannya dan tidak pula melakukannya, hanya dalam keyakinannya dan pemikirannya yang dia tidak menampakkannya." Sumber : (Al-Ijaabaat al-muhimmah fil masyakil al-mulimmah: 7). Keterangan : Jika membandingkan penjelasan ini dengan pemikiran Abu Bakar Ba'asyir dan kelompoknya, maka tiada keraguan untuk menyatakan bahwa merekalah kaum khawarij yang menyebar dijaman ini. Wallahul musta'an. (Abu Mu'awiyah Askari bin Jamal)

KEMBALI KEPADA ULAMA YANG MEMILIKI ILMU YANG KOKOH MERUPAKAN PRINSIP SALAFY YANG AGUNG

KEMBALI KEPADA ULAMA YANG MEMILIKI ILMU YANG KOKOH MERUPAKAN PRINSIP SALAFY YANG AGUNG Senin, 14 Maret 2011 06:06 www.salafybpp.com Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul Hafizhahulloh Allah Ta'ala berfirman: وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya mengetahuinya dari mereka . Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja . (QS.An-Nisaa:83) Berkata As'Sa'di rahimahullah: "Dalam ayat ini terdapat dalil berupa satu kaedah adab yaitu jika terjadi satu pembahasan dalam satu perkara , sepantasnya diserahkan kepada orang yang memiliki keahlian dalam perkara tersebut, jangan mendahului mereka, sebab hal itu lebih mendekati kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga terdapat larangan dari sikap terburu-buru untuk menyebarkan berita tentang sesuatu pada saat dia mendengarkannya, dan ia diperintahkan untuk memperhatikannya sebelum dia mengucapkan dan memandangnya, apakah ini merupakan kemaslahatan sehingga seseorang boleh melakukannya ataukah dia harus menahan diri darinya?" (Taisir al-kariim ar-rahman: 190) Ada sebagian manusia yang merendahkan ilmu dan para ulama sehingga dia tidak mengetahui kadar ilmu dan hak para ulama, dia menyangka bahwa ilmu adalah memperbanyak ucapan, menghiasi ucapannya dengan berbagai kisah, syair2, dan memperbanyak pembahasan nasehat dan masalah hati. Diantara manusia ada yang menyangka bahwa ulama adalah tokoh-tokoh yang menyibukkan diri dalam berbagai kejadian, lalu membahasnya dengan apa yang mereka sebut "fiqhul waqi'" untuk membuat perlawanan kepada para penguasa dengan tanpa bimbingan dan ilmu. Diantara manusia ada yang menganggap bahwa ilmu hanyalah ada di dalam kitab-kitab, dia tidak memperhatikan hakekat bahwa ilmu adalah penukilan dan pemahaman,dan pemahaman tersebut dinilai berdasarkan apa yang difahami oleh generasi awal dari kalangan para sahabat, tabi'in dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Sehingga diapun meninggalkan kesibukan menuntut ilmu dan duduk di halaqah ilmu dan para ulama.Dia tidak mengetahui bahwa diantara ilmu ada beberapa pintu yang dia tidak akan meraihnya kecuali dengan berhadapan langsung dengan para ulama dan mengambilnya dari mereka." Sifat seorang alim adalah yang terpenuhi beberapa perkara berikut: 1-berilmu tentang al-kitab dan as-sunnah 2- mengikuti apa yang terdapat dalam al-kitab dan as-sunnah 3- mengikat pemahaman terhadap al-kitab dan as-sunnah dengan pemahaman salafus saleh 4- komitmen diatas ketaatan dan jauh dari perbuatan kefasikan, kemaksiatan dan dosa. 5- jauh dari perbuata bid'ah, kesesatan, dan kebodohan, dan memperingatkan darinya. 6- mengembalikan perkara yang mutasyabih (samar) kepada yang muhkam (jelas dan gamblang) dan tidak mengikuti mutasyabih. 7- tunduk kepada perintah Allah 8- mereka memiliki keahlian dalam istinbat ( mengeluarkan faedah dari dalil) dan pemahaman yang baik." (Lihat: mu'malatul 'Ulama: 11-28, karya Muhammad Bazemul) Berkata Ibnu Sahman dalam "minhaj ahlil ittiba':24: العجب كل العجب ممن يصغي ويأخذ بأقوال أناس ليسوا بعلماء ولا قرؤوا على أحد من المشايخ فيحسنون الظن بهم فيما يقولونه وينقلونه ويسيئون الظن بهم بمشايخ أهل الإسلام وعلماءهم الذين هم أعلم منهم بكلام أهل العلم وليس لهم غرض في الناس إلا هدايتهم وإرشادهم إلى الحق الذي كان عليه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وأصحابه وسلف الأمة وأئمتها أما هؤلاء المتعالمون الجهال فكثير منهم خصوصا من لم يتخرج على العلماء منهم وإن دعوا الناس إلى الحق ف‘نما يدعون إلى أنفسهم ليصرفوا وجوه الناس إليهم طلبا للجاه والشرف والترؤس على الناس فإذا سئلوا أفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا "Sungguh mengherankan orang yang menyimak dan mengambil pendapat sebagian orang yang mereka bukanlah ulama, dan tidak pernah membaca kepada seseorang dari para syaikh , lalu dia berbaik sangka kepadanya terhadap apa yang mereka katakan dan yang mereka nukilkan, lalu mereka berburuk sangka kepada para syaikh kaum muslimin dan ulamanya yang mereka lebih mengerti tentang ucapan para ulama, dan mereka tidak punya tujuan tertentu selain membimbing manusia dan mengarahkan mereka kepada kebenaran yang telah dijalan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya, dan para pendahulu umat ini dan para imamnya. Adapun mereka yang sok menjadi alim padahal mereka jahil, kebanyakan mereka -lebih terkhusus lagi yang tidak pernah belajar kepada para ulama - jika mereka mengajak kepada kebenaran, pada hakekatnya mereka hanyalah mengajak kepada diri mereka sendiri untuk memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya karena mengharapkan pangkat, kedudukan, kepemimpinan manusia, sehingga tatkala mereka ditanya,maka mereka berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan." (Dari kitab: Shiyanatus salafi min waswasati Ali Al-Halabi:18- 19)

Jumat, 08 Juni 2012

Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah? (Bag. 2)

Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah? (Bag. 2) Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray (Mantan Kader & Da’i Wahdah Islamiyah Makassar) www.almakassari.com -حفظه الله تعالى وغفر له ولوالديه ولجميع المسلمين- Editor : Al-Ustadz Abdul Qodir Muroja’ah : Al-Ustadz Dzulqarnain [Kirimkan Artikel ini Ke Teman Anda] Kedua : Muwazanah (Menyebutkan penyimpangan seseorang bersamaan dengan kebaikannya) Adapun tentang keharusan muwazanah, terkadang dalam ceramah asatidzah WI tidak dengan terang-terangan mengatakan keharusan muwazanah, seperti dengan mengistilahkan tawazun, atau dengan ungkapan Ust. Yusron dalam salah satu kaset ceramahnya, ketika ia menjelaskan firman Allah -Ta’ala- tentang adanya Ahli Kitab yang berkhianat dan ada pula yang amanah. Di situ Ust. Yusron mengatakan, “Ayat ini merupakan dalil, terserah mau dinamakan muwazanah atau apa[1]”. Dalam kaset berjudul Muhasabah, Ust. Yusron mengatakan, “Kalau hanya perkara muwazanah ini yang menjadi sebab permusuhan WI dengan Salafy, maka kami siap meninggalkan muwazanah, tapi tidak dalam prakteknya”. Saya kutip secara makna, silahkan merujuk langsung ke kaset-kaset tersebut. Secara tersirat ia mengharuskan muwazanah dengan istilah apapun. Ini membantah persangkaan sebagian orang bahwa asatidzah WI tidak mengharuskan muwazanah. Ini dikuatkan oleh perkataan Hasan Bugis yang diterjemahkan oleh Ust. Rahmat Abdurrahman, Lc ketika dauroh di Kalimantan dan telah dibantah oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari –jazahullahu khoiron-. Ketiga : Terjun dalam Politik Demokrasi [2] Hal ini terbukti pada pemilu 2004 di TPS dekat kampus STIBA, bahwa PKS mendapat suara yang cukup signifikan, sehingga membuat masyarakat sekitar terheran-heran karena di daerah tersebut hampir tidak ada bendera PKS, karena yang mencoblos adalah para santri STIBA. Diantara bentuk terjunnya mereka dalam politik demokrasi, ada seorang da’i WI menjadi caleg PBB pada Pemilu 2009. Sebagian diantara mereka ada yang menjadi tim sukses dalam sebuah pemilu. Adapun bermajelis dengan para ahli bid’ah dalam seminar dan lainnya, maka perkara ini telah masyhur bagi semua orang. Ini semua merupakan bukti lemah nya manhaj wala’ dan baro’ mereka. Keempat : al-Hizbiyyah Syawahid -nya (buktinya) banyak sekali, diantaranya ungkapan sebagian orang WI, bahwa organisasi mereka adalah organisasi yang paling terbaik di dunia. Mereka juga senantiasa memunculkan nama WI hampir dalam setiap kegiatan mereka, seakan-akan hanya berdakwah menuju organisasi, dan bagaimana cara membesarkannya. Hal ini dengan mudah didapati dalam situs-situs resmi maupun blog-blog pribadi mereka. Dalam salah satu tingkatan dauroh mereka terdapat jadwal materi khusus membahas tentang perjalanan dakwah WI. Demikian pula mereka sangat bangga dengan pujian-pujian tokoh maupun masyarakat kepada WI, diantaranya pujian-pujian beberapa tokoh kepada WI dan buku Sejarah WI terus menerus diiklankan dalam website resmi WI. Pujian-pujian ini membuat mereka lalai dari segala penyimpangan. Mereka telah tertipu dengan pujian-pujian semu yang membuat mereka bangga dengan apa yang mereka miliki. Selain itu, hampir seluruh aktivitas dakwah kader-kader WI, dimana pun mereka berada, senantiasa menonjolkan label WI, sehingga orang-orang awam di kalangan mereka bisa langsung memiliki persepsi memang beda antara WI dan Salafy. WI mengajak kepada organisasi, sedang Salafy mengajak untuk berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah ala pemahaman sahabat. Diantara perkara yang paling berbahaya adalah ketika al-wala’ wal bara’ yang terbangun diantara mereka –sadar atau tidak- bukan lagi di atas manhaj Salaf, tetapi atas dasar organisasi. Mereka lebih bisa bekerja sama dan lebih mencintai orang-orang yang seorganisasi dengan mereka dibanding orang-orang di luar WI[3], meskipun dari sisi ilmu dan iltizam kepada sunnah mungkin lebih baik dari mereka, padahal mestinya, setiap orang yang lebih berilmu dan lebih takwa kepada Allah -Ta’ala-, maka dia yang lebih kita cintai. Sampai pada urusan pernikahan, mereka berusaha bagaimana agar Ikhwan dan Akhwat mereka hanya menikah dengan sesama mereka saja, tidak dari luar kalangan WI, tanpa mengecek dulu apakah orang yang dari luar WI yang hendak menikah dengan kadernya tersebut bermanhaj yang lurus atau tidak, hal ini benar-benar terjadi, hanya karena berhubungan dengan permasalahan pribadi , maka saya tidak menyebutkan nama-nama mereka. Barangkali apa yang saya sebutkan ini hanyalah perbuatan sebagian orang, namun untuk menyebutkan ini hanyalah oknum terlalu sulit, sebab penyimpangan-penyimpangan yang mengarah kepada al-hizbiyyah tersebut begitu marak dan tersebar di kalangan WI. Berikut mutiara nasehat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah tentang al-wala wal bara’ yang syar’i, semoga bisa direnungi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah–rahimahullah- menerangkan, “Hendaklah diketahui bahwa seorang mukmin wajib engkau cintai, meskipun dia berbuat zhalim kepadamu. Orang kafir harus engkau benci, meskipun dia menghadiahkan sesuatu dan berbuat baik kepadamu. Karena sesungguhnya Allah -Ta’ala- mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab agar agama ini seluruhnya hanya diikhlaskan kepada Allah -Ta’ala-, sehingga kecintaan itu kepada wali-wali-Nya dan kebencian kepada musuh-musuh-Nya”. “Apabila terkumpul pada diri seseorang kebaikan dan keburukan, kemaksiatan dan ketaatan, sunnah dan bid’ah, maka ia berhak mendapatkan wala` dan ganjaran sebatas kebaikan yang ada padanya, dan berhak menerima bara` dan hukuman sebatas keburukan atau kejahatan yang ada padanya. Demikianlah apabila terkumpul pada diri seseorang penyebab kemuliaan, dan kehinaan, maka dia mendapatkan sesuai kadar kemuliaan dan kehinaannya.Seperti seorang fakir yang mencuri, harus dipotong tangannya sebagai hukuman, namun dia tetap disantuni dengan menerima bagian dari kas negara untuk mencukupi kebutuhannya. Maka inilah salah satu prinsip pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berbeda dengan Khawarij, Mu’tazilah dan yang mengikuti jalan mereka." [Lihat Majmu’ Fatawa (28/209)] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah–rahimahullah- juga menerangkan, “Tidak boleh ada pembelaan terhadap tokoh tertentu secara umum (totalitas) dan mutlak, kecuali hanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Tidak pula kepada kelompok tertentu, kecuali kepada para Sahabat -radhiyallahu’anhum-. Karena sesungguhnya petunjuk itu senantiasa ada bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di manapun beliau berada, demikian pula para sahabatnya radhiyallahu’anhum”. [Lihat Minhajus Sunnah (5/261)] Demikianlah secuil catatan dari saya, meski belum mencakup keseluruhan penyimpangan yang diingatkan bahayanya oleh asatidzah Salafiyin. Namun harapan saya agar orang-orang WI yang membacanya tidak malah marah setelah mengetahui dalil-dalil syar’i tentang penyimpangan-penyimpangan yang ada (dari penjelasan asatidzah Salafiyin), dan juga tidak mengedepankan emosi ketika membacanya, sehingga berprasangka buruk kepada Penulis. Tetapi hendaklah mereka mengambil pelajaran darinya. Sebab, diantara tanda kecintaan seorang muslim kepada saudaranya adalah menasehatinya, meskipun terkadang rasanya teramat pahit, sebab nasihat itu ibarat obat yang pahit rasanya, tapi faedahnya besar. Maka apabila ada kata-kata yang menusuk dan melukai hati mohon dimaafkan, karena kebenaran itu dari Allah, sedangkan kesalahan itu dari diri pribadi kami dan dari syaithan. Wabillahit taufiq walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin wa shollallahu ala nabiyyina alih wa shohbih ajma’in.. ============ Footnote : ============ [1]Ajiib, padahal bantahan istidlal dengan ayat ini telah dibantah oleh Asy-Syaikh Robi’ dalam kitabnya: Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaa’if. Dengarkan juga ceramah ilmiah tentang bantahan istidlal dalil-dalil muwazanah yang tidak pada tempatnya, oleh al-Ustadz Luqman Jamal, Lc [2] Bantahan demokrasi dan pemilu telah dijelaskan oleh Al-Ustadz Dzulqarnain dalam Nasehat Ilmiyah. Baca juga buku yang sangat bagus karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam berjudul: Tanwiruz Zhulumaat bi Kasyfi Mafaasid wa Syubuhaat al-Intikhabaat. [3] Perkara cinta tempatnya di dalam hati, sehingga bukan maksud saya di sini untuk menilai hati manusia, akan tetapi qarinah-qarinah yang ada menunjukkan demikian. Ketika saya berdialog dengan orang-orang WI, maka sangat terlihat jelas kebencian mereka kepada asatidzah Salafiyin, terutama Al-Ustadz Dzulqarnain –ahabbahullah wa jazahu khoiron-. Jadi, ukuran kebencian dan kecintaan tidak lagi mereka nilai dari ketakwaan orang tersebut. Wallohu A’la wa A’lam, wa Huwal Musta’an

Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah? (Bag. 1)

Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah? (Bag. 1) Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray (Mantan Kader & Da’i Wahdah Islamiyah Makassar) www.almakassari.com -حفظه الله تعالى وغفر له ولوالديه ولجميع المسلمين- Editor : Al-Ustadz Abdul Qodir Muroja’ah : Al-Ustadz Dzulqarnain [Kirimkan Artikel ini Ke Teman Anda] Pembaca yang budiman, kini kami akan menyebutkan beberapa penyimpangan yang saya lihat sendiri selama menjadi santri di STIBA al-Wahdah al-Islamiyah Makassar dalam kurun waktu antara tahun ( +) 2001 – 2005, dan tahun 2005 – 2007 masih ber-intisab ke WI serta sempat mengisi beberapa ta’lim dan dauroh WI di Makassar dan di daerah. Berikut beberapa penyimpangan tersebut: Pertama: Kurangnya Kecemburuan kepada Manhaj yang Haq Perkara inilah yang paling mendorong saya untuk keluar dari WI, sebab keadaan batin saya sangat sulit menerima untuk terus bersama dan berta’awun dalam dakwah bersama orang-orang yang menganggap ringan berteman, bermajelis, menjadikan orang-orang dari kalangan hizbiyyun atau orang yang dikenal memiliki manhaj yang menyimpang dari manhaj Salaf sebagai penceramah dalam acara-acara mereka. Meskipun sebenarnya ini bukan semata-mata permasalahan batin, akan tetapi karena perintah Allah -Ta’ala- untuk menjauhi orang-orang yang menyimpang, bahkan telah menjadi ijma’ Salaf untuk menghindari orang-orang yang dikhawatirkan penyimpangannya. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaithan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)”.(QS. Al-An’am : 68) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah menerangkan, “Dalam ayat ini terkandung nasehat yang agung bagi mereka yang mentolerir duduk bermajelis dengan al-mubtadi’ah, orang-orang yang suka mengubah-ubah perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala, mempermainkan Kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, serta mengembalikan pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Jadi, jika seorang tidak mampu mengingkari atau mengubah kebid’ahan mereka, paling tidak dia harus meninggalkan majelis mereka, dan tentu ini mudah baginya, tidak susah”. Kemudian Al-Imam Asy-Syaukani menjelaskan diantara bahaya duduk bersama orang-orang yang menyimpang, “Terkadang orang-orang yang menyimpang tersebut menjadikan kehadiran seseorang bersama mereka (meskipun orang tersebut bersih dari kebid’ahan yang mereka lakukan) sebagai syubhat, dengannya mereka mengaburkan (permasalahan) atas orang-orang awam. Jadi, dalam kehadirannya (di majelis mereka) terdapat tambahan mudharat dari sekedar mendengarkan kemungkaran”.(Lihat Fathul Qodir, 2/185). Pembaca yang budiman, sekarang kami akan menukilkan beberapa atsar yang menunjukkan sikap para salaf dalam bermajelis dengan ahli bid’ah yang dikutip dari Kitab Lamud Durril Mantsur Minal Qoulil Ma’tsur (hal. 36-37) : “Dua orang dari kalangan pengikut hawa nafsu mendatangi Ibnu Sirin seraya berkata, "Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menyampaikan satu hadits kepadamu?" Beliau menjawab, "Tidak. Keduanya berkata lagi : Kalau begitu kami bacakan satu ayat Al-Qur’an kepadamu?" Beliau menjawab, "Tidak, kalian pergi dari sini atau saya yang pergi". Lalu keduanya pun keluar. Sebagian orang berkata, "Wahai Abu Bakr, mengapa engkau tidak mau mereka membacakan ayat Al-Qur’an kepadamu?" Beliau menjawab, "Sungguh saya khawatir mereka bacakan kepadaku satu ayat lalu mereka selewengkan maknanya sehingga tertanam dalam hatiku”. [HR. Ad Darimy (1/120/no. 397)] Sallam -rahimahullah- berkata, "Seorang pengikut kesesatan berkata kepada Ayyub, “Saya ingin bertanya kepadamu tentang satu kalimat?" Maka Ayyub segera berpaling dan berkata, “Tidak, meski setengah kalimat, meski setengah kalimat" Beliau mengisyaratkan jarinya”. [HR. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah (2/447 no. 402), Al-Lalika'iy dalam Syarh Ushul Al-I'tiqod (1/143/no. 291), Abdullah bin Ahmad dalam As Sunnah (1/138/no. 101), dan Ad Darimy dalam Sunan-nya (1/121 no. 398)] Al Fudlail bin Iyyadhrahimahullah berkata, “Jauhilah olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak hatimu (aqidahmu) dan janganlah engkau duduk bersama pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena sungguh saya khawatir kamu terkena murka Allah”. [HR. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah(2/462-463 no. 451-452), dan Al-Lalika'iy dalam Syarhul Ushul (262)] Mungkin para pembaca bertanya dalam hati, "Apa buktinya bahwa orang-orang WI biasa bermajelis dengan ahli bid’ah?" Menjawab pertanyaan ini kami akan sebutkan beberapa bukti[1] yang saya ingat. Bukti-bukti ini menunjukkan perbedaan jelas antara manhaj Salaf dengan manhaj WI: 1. Pernah diadakan seminar oleh Wahdah Islamiyah bekerja sama dengan MPM Unhas (underbow-nya WI di Unhas) tentang TERORISME. Hadir sebagai pembicara, diantaranya: Ust. Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc, Ust. Kholid Basalamah, Lc dan seorang pembicara dari kalangan tokoh Ikhwanul Muslimin (IM). Selanjutnya kami sebut dengan "Tokoh Ikhwan"[2] Dialog ini bukanlah untuk mengungkap fikrah terorisme yang ada pada IM, bahkan ada beberapa syubhat yang dilontarkan oleh si Tokoh Ikhwan tersebut, dan seakan diamini oleh Ust. Muh. Ikhwan Abdul Jalil, Lc, diantaranya: Si Tokoh Ikhwan mengatakan bahwa muzhoharoh (demonstrasi)[3] bukanlah bid’ah[4], bahkan harus dilakukan demi mendukung ‘suara kebenaran’ di dewan. Pernyataan ini seingat saya tidak ada sedikitpun bantahannya dari Ust. Ikhwan. Malah ia mengomentarinya dengan mengatakan, “Kita sesama Ahlus Sunnah harus saling ifadah dan istifadah”. Pada saat itu jelas sekali yang ia maksudkan dengan sesama Ahlus Sunnah adalah WI dan IM. Di sini saya teringat penukilan salah seorang kader senior WI bahwasannya Ust. Jahada Mangka, Lc juga pernah mengatakan, “Yang paling dekat dengan WI (Wahdah Islamiyah) adalah IM (Ikhwanul Muslimin) ”. Ketika Ust. Ikhwan mengatakan bahwa Ahlus Sunnah tidak akan pernah bersatu dengan Syi’ah sampai mereka bertobat, maka dijawab oleh si Tokoh Ikhwan, “Kalau begitu Syi’ah juga bisa mengatakan, kita tidak akan pernah bersatu dengan Ahlus Sunnah sampai mereka bertobat”. Lalu si Tokoh Ikhwan melanjutkan, “Hendaklah kita duduk satu meja”. Jelas sekali yang dia inginkan penggabungan antara Sunnah dan Syi’ah. Namun sayang sekali syubhatnya ini -seingat saya- tidak dibantah oleh Ust. Ikhwan. Namun yang ingin saya buktikan di sini bukan masalah syubhat-syubhat yang tidak bisa dijawab[5]. Tetapi perbuatan WI menjadikan orang tersebut sebagai pembicara, artinya: orang itu dijadikan sebagai sumber ilmu dalam seminar tersebut. Apalagi tidak ada sedikitpun bantahan dari pihak WI untuk menyingkap fikrah terorisme yang ada pada IM. Pada acara ini juga Ust. Ikhwan memuji Safar al-Hawali sebagai seorang Ulama Ahlus Sunnah dan secara halus menyalahkan pemerintah yang memenjarakannya (Pemerintah Saudi Arabia-ed). Padahal memang ia pantas dipenjara, karena telah melakukan beberapa tindakan yang menimbulkan fitnah antara pemerintah Saudi dengan rakyatnya dalam beberapa tulisan dan ceramahnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh bin Baaz -rahimahullah- dalam suratnya ke Amir Nayif bin Abdil Aziz[6]. Justru Ust. Muh. Ikhwan yang harus disalahkan, karena ia telah membela orang yang salah (yakni, Safar Al-Hawaliy) 2. Pernah diadakan dauroh oleh cabang WI di Ternate yang juga tampak hadir waktu itu Ust. Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc. Dalam undangan yang tersebar terdapat jadwal pemateri, diantaranya seorang “ikhwani” (IM). Orang ini juga dijadwalkan untuk mengisi khutbah Jum’at rutin di salah satu masjid yang diurus oleh WI Ternate. Ketika kami menasehatkan perkara ini[7], maka seorang pengurus dan da’i WI Ternate menjawab dengan logika dan dalil dari hadits yang salah dipahami. Logikanya, dia mengatakan, "Ini sama saja ketika Anda belajar di tempat pendidikan umum yang mana pengajarnya tidak semuanya Salafy".[8] Adapun dalil dari hadits katanya, adalah kisah tentang setan yang mengajarkan ayat kursi kepada Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-. Kata da’i WI ini, "Kebenaran itu diambil dari siapa saja, bahkan dari setan sekali pun".[9] Demikianlah mereka memahami hadits dan ber-istidlal (berdalil) dengannya, tanpa ada contoh sebelumnya dari kalangan Salaf[10]. 3. Pembelaan kepada tokoh-tokoh yang menyimpang. Diantara penyimpangan para da’i Wahdah Islamiyah, mereka memberikan pembelaan kepada para tokoh yang menyimpang Ust. Jahada Mangka, Lc dalam kelas takmili mengatakan bahwa tidak benar klaim adanya penyimpangan Sayyid Quthub dan kitabnya Azh-Zhilal, melainkan hanya salah memahami bahasa Sayyid Quthub yang tinggi. Bahkan Ust. Jahada mengatakan bahwa kebangkitan Islam dimulai dari Mesir[11], dan musuh-musuh Islam sangat takut apabila kebangkitan ini masuk ke Kuwait dan Saudi, sebab di dua negeri tersebut terdapat para ulama dan harta yang melimpah[12] Ust. Bahrun Nida’ juga di kelas takmili pernah mengajarkan kitab Qabasat Min Siroh ar-Rasul-shallallahu’alaihi wa sallam- karya Muhammad Quthub, ketika itu juga Beliau mengutip perkataan Muhammad Quthub, “Andaikata manusia mendekatkan diri kepada Allah dengan mencela Sayyid Quthub, maka aku mendekatkan diri kepada-Nya dengan membelanya”, atau perkataan yang semakna dengan itu.[13] Ust. Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc, pernah mengajarkan kitab Laa Tahzan karya ‘Aidh al-Qorni sambil memuji-muji buku dan penulisnya di kajian Radio Telstar Makassar.[14] Adapun secara umum tokoh-tokoh yang dibela oleh para asatidzah WI, bahkan sebagiannya menjadi idola WI adalah Dr. Yusuf al-Qorodhowi, Salman al-‘Audah, ‘Aidh al-Qorni dan Safar al-Hawali[15] Sampai hari ini, apabila kita melihat situs-situs atau blog-blog pribadi orang-orang WI, maka kita akan dapati mereka mencantumkan sebagai LINK mereka, situs Ar Rahmah.com[16]dan Eramuslim.com.[17] Demi Allah, hal ini tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kecemburuan kepada manhaj yang haq dan terdidik di atas manhaj yang haq, mengingat dalam kedua situs tersebut dengan sangat jelas terdapat banyak sekali penyimpangan bahkan celaan kepada para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ketika ada kebijakan menyamakan ijazah STIBA dengan ijazah negeri, maka banyak para pengajar yang melanjutkan program S2 di UMI maupun di institusi lainnya. Juga ketika ada kebijakan menarik bayaran SPP dari santri, maka banyak dari santri STIBA yang pindah ke STAI swasta. Sudah dimaklumi bahwa para pengajarnya banyak yang berpaham menyimpang, ditambah lagi adanya ikhtilat dalam ruangan kelasnya.[18] Ikut menulis, mengedit dan menyebarluaskan buku-buku yang penuh dengan penyimpangan dan celaan kepada manhaj Salaf, ulama dan da’inya, diantaranya: buku Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, karya Abu Abdirrahman Al Thalibi alias Joko Waskito[19] (seorang kader WI di Bandung), buku Siapa Teroris Siapa Khawarij[20], diedit oleh Ust. Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc, dan buku Beda Salaf Dengan Salafi[21], juga buku-buku al-Qorodhowy, majalah Sabili dan Hidayatullah, dulu dengan mudah didapatkan di toko-toko buku WI.[22] ============== Footnote: ============== [1] Hampir keseluruhan penukilan di sini saya kutip secara makna, sebab kebanyakan asalnya bukanlah dari sebuah buku atau kaset, tetapi didengar langsung oleh telinga [2] Telah dimaklumi bahwa Ikhwanul Muslimin (IM) yang berpusat di Mesir, telah difatwakan oleh para Ulama sebagai kelompok yang menyimpang dari manhaj Salaf, bahkan Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah dengan tegas menyatakan bahwa IM tergolong kepada salah satu dari 72 golongan ahlul bid’ah. [3] Untuk bantahan bid’ahnya demonstrasi ini silahkan dengarkan ceramah Al-Ustadz Dzulqarnain: Nasehat Ilmiyah Tentang Kesesatan Wahdah Islamiyah, juga makalah Al-Austadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc: Bantahan Kepada Ust. Jahada Mangka, Lc. [4] Para Ulama telah menjelaskan bahwa demonstrasi termasuk cara baru dalam dakwah dan mengubah kemungkaran, sedangkan dakwah itu ibadah yang harus mencontoh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam [5] Diantara yang sangat menyakitkan adalah syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh Qasim Mathar dalam salah satu dialog di IAIN Alauddin bersama WI. Hal itu terasa lebih menyakitkan lagi ketika Ust. Ikhwan tidak mampu membantah syubhat-syubhatnya dengan bantahan yang mengenyangkan orang yang lapar dan menghilangkan dahaga orang yang kehausan, wallahul Musta’an. [6] Tentang surat Syaikh bin Baaz ini, lihat kopian naskah aslinya dalam Madarik An-Nazhor (hal. 431) karya Syaikh Abdul Malik bin Ahmad bin Al-Mubarok Romadhoniy Al-Jaza’iriy, cet. Dar Sabil Al-Mu’minin, 1418 H. [7] Pada dauroh tersebut saya belum sepenuhnya keluar dari WI, maka saya pun oleh Panitia Dauroh dijadwalkan sebagai salah satu pemateri dengan judul "Keutamaan Menuntut Ilmu dan Adab-adabnya". Kesempatan ini saya gunakan untuk menasehati panitia dan peserta dauroh bahwa sebagai salah satu adab dan manhaj dalam menuntut ilmu, kita tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang menyimpang manhajnya. Saya nasehatkan waktu itu untuk membatalkan beberapa pemateri yang telah terjadwal, bahkan saya tegaskan bahwa saya telah berdialog langsung dengan sebagian pemateri dan mengetahui dengan pasti penyimpangan manhajnya. Di lain sisi, mereka terlihat musbil (memanjangkan kain dibawah mata kaki-ed). Anehnya, setelah kejadian tersebut, orang-orang WI Ternate mulai menjaga jarak dengan saya. Persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang IM ketika mereka tahu bahwa saya telah keluar dari IM dan bergabung dengan WI. Orang-orang yang dahulu akrab, namun setelah kejadian itu seakan memboikot saya dan tidak berwajah ramah ketika bertemu. Demikian pula mereka meng-ghibah, bahkan melakukan buhtan (kedustaan) tentang saya. Kalaulah tidak berhubungan dengan pribadi saya yang dizhalimi, maka saya akan mengungkapkannya. [8] Jika tidak semuanya salafy, yah tinggalkan. [ed] [9] Ini adalah qiyas batil, sebab membolehkan orang untuk belajar, bermajelis dan berguru kepada setan!!Padahal anda telah mengetahui dan membaca ayat yang menjelaskan larangan bermajelis dengan ahli bid’ah, termasuk setan!!! [ed] [10] Untuk bantahannya secara detail silahkan dengarkan ceramah tentang Bantahan Istidlal Manhaj Muwazanah, oleh Al-Ustadz Luqman Jamal, Lc. [11] Kalau bukan IM kira-kira siapa yang dimaksud? yang pasti bukan Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah, sebab dasar dakwah Anshorus Sunnah dahulu adalah dakwah Salafiyyah yang dipelopori Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang berasal dari Hijaz (Saudi), bukan Mesir!! [12] Apakah sebelum kemunculan Hasan Al-Banna dan IM-nya, para ulama Ahlus Sunnah tertidur sehingga perlu dibangkitkan. Wallohi, itu tidak akan pernah terjadi, sebab Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- telah mengabarkan akan adanya ath-Thoifah al-Manshuroh yang senantiasa zhohir (jaya) di atas kebenaran sampai hari kiamat, dan munculnya para mujaddid. Para Ulama telah menjelaskan bahwasannya diantara mujaddid itu adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahumallah- dan lainnya dari kalangan ulama Ahlus Sunnah, bukan dari kelompok menyimpang IM. Maka renungkanlah, wahai saudaraku!! [13] Seakan Sayyid adalah seorang nabi yang tak pernah salah, sehingga harus dibela dalam segala kondisi. Padahal setiap orang –selain nabi- boleh jadi terjatuh dalam kesalahan. Karenanya, Syaikh Abdullah Ad-Duwaisy, Syaikh bin Baaz, Syaikh Al-Albaniy, Syaikh Al-Utsaimin, Syaikh An-Najmiy, Syaikh Robi’, dan ulama lainnya telah memberikan pengingkaran terhadap kesalahan dan penyimpangan Sayyid Quthub dalam kitab-kitab dan ceramah mereka. [ed] [14] A’idh Al-Qorniy termasuk tokoh hizbiyyah yang kagum kepada para tokoh IM.Dengarkan A’idh Al-Qorni berkata dalam“Kutub fi As-Sahah Al-Islamiyyah”, (hal.66) ketika ia menyebutkan kitab-kitab yang penting di zaman sekarang, “Kitab-kitab Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Abul A’la Al-Maududiy, Abul Hasan An-Nadwiy, kitab Al-Muntholiq wa Ar-Roqo’iq wa Al-Awa’iq karangan Muhammad Ahmad Ar-Rosyid, dan selain mereka…”. Jika Al-Qorni kagum kepada para tokoh IM, maka tak heran jika para ustadz WI juga kagum kepada tokoh-tokoh IM, sebab Al-Qorni adalah teladan mereka. [ed] [15] Penyimpangan-penyimpangan Sayyid Quthub, Dr. Yusuf al-Qorodhowi, Muhammad Quthub, Salman Al-‘Audah, Safar al-Hawali, ‘Aidh Al-Qorni telah banyak dijelaskan oleh para Ulama, untuk tiga yang terakhir silahkan baca sebuah kitab yang ditaqdim oleh Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad, yang berjudul: Madarikun Nazhor fis Siyasah, karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani, atau dengarkan juga ceramah Al-Ustadz Dzulqarnain: Nasehat Ilmiyah tentang Kesesatan Wahdah Islamiyah, dan baca makalah Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc berupa bantahan kepada Ust. Jahada Mangka, Lc. [16] Situs ini banyak menyebarkan fikrah Khawarij. [ed] [17] Ini adalah situs orang-orang IM (Ikhwanul Muslimin). Orang-orang WI juga sering menukil dari situs www.hidayatullah.com . Mereka pernah menukil dari situs ini tentang pelarangan buku-buku Sayyid Quthb oleh pemerintah KSA (Arab Saudi) karena di dalamnya terdapat pemahaman-pemahaman penulisnya yang menyimpang. Orang-orang Hidayatullah (dan para hizbiyyun lainnya) tak setuju dengan pelarangan tersebut, lalu mereka buat sebuat artikel tentang ketidaksetujuan mereka terhadap sikap pemerintah Saudi tersebut. Sikap ini juga diaminkan oleh orang-orang WI dengan menukil (copy-paste) artikel yang berisi sikap Hidayatullah terhadap KSA, lalu dicantumkan oleh WI dalam situs resmi mereka (Artikel tanggal 28 November 2008). Namun ternyata artikel tersebut hanya bertahan beberapa pekan, hingga akhirnya hanya admin web WI saja yang dapat melihat isinya. Artikel ini disembunyikan menjelang kedatangan Dubes Arab Saudi dan juga penandatanganan kerjasama pembukaan cabang Universitas Imam Ibnu Saud di Makassar oleh WI.[ed.] [18] Ini menunjukkan lemahnya manhaj dan aqidah mereka. Nas’alullahal afiyah was salamah. [19] Orang ini mengira bahwa dirinya berilmu; di blog-nya dia mengomentari hampir setiap perkara, bahkan memuji Hizbut Tahrir, IM, Salman Al-‘Audah dan membantah Asy-Syaikh Robi’ dan Asy-Syaikh Bin Baz dalam perkara yang tampak sekali bahwa dia tidak memiliki ilmu tentangnya. Dia hanyalah seorang yang maghrur (tertipu) dengan dirinya; menyangka dirinya berilmu, padahal ia adalah seorang yang jahil tentang manhaj salaf. Lebih parah lagi dia berkata tanpa dasar ilmu dan tanpa ada Salaf sebelumnya –kecuali mungkin orang-orang WI- bahwa para ulama Ahlus Sunnah, seperti As-Syaikh Bin Baz terkadang berfatwa untuk tujuan-tujuan politik tertentu!! Demi Allah, saya tidak pernah menemui seorang yang ber-intisab kepada Sunnah dan Salafiyyah yang mencela ulama Ahlus Sunnah dengan celaan sekotor ini, kecuali pentolan WI Bandung ini. Inilah sesungguhnya Mudda’i as-Salafiyah yang sejati, sekedar mengaku Salafy, tapi manhajnya hizby. Lisannya yang keji juga mengatakan bahwa fatwa Asy-Syaikh Bin Baz untuk memenjarakan Salman Al-‘Audah karena tekanan penguasa dan kental nuansa politiknya, bahkan dia seakan-akan menggambarkan bahwa Salman Al-‘Audah ditahan hanya karena persoalan parabola, sampai dia mengatakan “Betapa dilematiknya Syaikh Bin Baz, beliau harus menyalahkan seseorang yang bukunya beliau beri kata pengantar sendiri”. Maka saya (Sofyan Chalid) katakan, "Wahai orang yang berakal, belajarlah manhaj yang benar, sehingga engkau tahu kedudukan ulama di mata Ahlus Sunnah; ketahuilah, selama Salman –hadaahullah- masih hidup, maka masih mungkin ia berbuat salah. Lalu tidak bolehkah menyalahkan dia kalau dia berbuat salah, setelah sebelumnya dia dipuji karena berada di atas kebenaran?!". Semoga suatu saat –Insya Allah- kami akan membongkar kejahilan orang WI Bandung ini. Biarlah ia berbuat dan berkata sebebasnya; tiba saatnya, ia akan menuai hasilnya yang pahit. Wallahul Musta’an [20] Buku STSK ini telah dibantah dengan telak oleh Al-Ustadz Luqman Ba’abduh dalam buku Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij, yang juga telah mengandung bantahan kepada buku DSDB. [21] Telah dibantah oleh Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc dengan judul: Beda Salafi Dengan Hizbi [22] Seorang kader binaan WI -tanpa malu dan canggung- telah memasang reklame majalah Sabili (majalah IM) di depan toko bukunya di pertigaan Alauddin-Pettarani (MKS). Majalah yang penuh gambar dan penyimpangan disebarkan oleh seorang "Ahl al-Sunnah". Beginikah Ahl al-Sunnah??! Tidak!!, tidak demikian. Tapi itulah hasil tarbiyah orang-orang yang mengaku Ahl al-Sunnah alias mudda’is salafiyyah!! [ed]

Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah?

Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah? Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray (Mantan Kader & Da’i Wahdah Islamiyah Makassar) www.almakassari.com -حفظه الله تعالى وغفر له ولوالديه ولجميع المسلمين- Editor : Al-Ustadz Abdul Qodir Muroja’ah : Al-Ustadz Dzulqarnain [Kirimkan Artikel ini Ke Teman Anda] Pada risalah ringkas ini -Insya Allah- saya akan menjelaskan latar belakang kenapa saya keluar dari Wahdah Islamiyah (WI) yang berpusat di Makassar. Dengan harapan, semoga yang sedikit ini bisa menjadi nasehat kepada mereka yang masih setia bersama WI secara khusus, dan kepada kaum Muslimin secara umum. Namun risalah yang ringkas ini bukanlah sebuah rincian ilmiah yang disertai dalil-dalil dan penjelasan para ulama tentang penyimpangan-penyimpangan WI. Tetapi hanyalah merupakan pengungkapan bukti-bukti yang dilihat oleh mata kepala dan didengar oleh telinga, baik itu berupa penyimpangan itu sendiri, maupun sekedar syawahid (penguat)nya. Sebab rincian pembahasan ilmiahnya telah sangat jelas dipaparkan oleh beberapa asatidzah (para ustadz). Diantaranya: Nasehat Ilmiah tentang Kesesatan Wahdah Islamiyah, Al-Ustadz Dzulqarnain Bantahan Manhaj Muwazanah, Al-Ustadz Abu Karimah Askari Bantahan Istidlal Manhaj Muwazanah, Al-Ustadz Luqman Jamal, Lc Bantahan kepada Ust. Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc, oleh Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc Bantahan kepada Ust. Jahada Mangka, Lc, oleh Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc Sampai hari ini, saya masih mengira sebagian besar Asatidzah WI belum mendengarkan, atau membaca -secara seksama- penjelasan dari asatidzah Salafiyyin di atas. Karena saya berprasangka baik -Insya Allah-, apabila mereka mencoba memahami dengan baik argumen-argumen ilmiah yang ada dalam nasehat-nasehat tersebut, maka -Insya Allah- mereka akan mengakui kebenarannya[1]. Risalah ringkas ini sekedar mengingatkan beberapa perkara. Pertama, penyimpangan-penyimpangan dalam tubuh WI yang diingatkan oleh asatidzah Salafiyin adalah benar-benar ada. Kedua, para anggota dan simpatisan WI –semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepadaku dan kepada kalian semuanya- hendaklah mendengarkan atau membaca dengan seksama dan penuh kejujuran semua argumen-argumen ilmiah yang ada dalam nasehat-nasehat saudara kalian (asatidzah Salafiyin), yang menginginkan keselamatan kalian –Insya Allah-. Sebelumnya, perlu saya tekankan bahwa ini merupakan nasehat -Insya Allah-; tidak ada yang saya inginkan kecuali perbaikan sesuai yang saya mampu. Sebab diantara syubhat kalangan WI ketika ada orang yang menasehati mereka, mereka akan membantahnya pertama kali dengan menyalahkan cara menasehatinya dan membesar-besarkan perkara ini kepada anggota-anggotanya. Diantara bentuknya: Pertama : Perkataan mereka, "Tidak boleh membeberkan penyimpangan-penyimpangan WI secara terang-terangan, sebab itu artinya ghibah dan membuka aib saudara sendiri". Jawab : Sebagaimana telah dimaklumi dari penjelasan para Ulama, diantaranya al-Imam an-Nawawirahimahullah dalam kitabnya Riyadhus Shalihin[2], bahwa ghibah tidak semuanya terlarang. Ghibah untuk membongkar penyimpangan suatu kaum agar mereka meninggalkan penyimpangan tersebut bukanlah ghibah yang terlarang. Kalau pun mereka tidak meninggalkannya, maka itu menjadi nasehat kepada kaum muslimin agar berhati-hati dengan kaum tersebut serta penyimpangan yang ada pada mereka. Ketika penyimpangan-penyimpangan tersebut telah tersebar luas, bahkan sebagiannya tersebar melalui media internet dan lainnya, maka perlu untuk menyingkap penyimpangan-penyimpangan tersebut juga secara luas agar lebih merata penyampaiannya. Kedua : Perkataan mereka, "Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat antara WI dan Salafy, yang ada hanya beda pendapatan". Jawab: Perkataan ini adalah akhlaq yang tidak terpuji, karena berprasangka buruk dan mengandung tuduhan jelek kepada saudara sesama muslim. Seorang Salafy sejati -Insya Allah- dalam nasehatnya tidaklah menginginkan dunia dari WI dan lainnya, serta tidak pula ingin seperti WI atau melebihi WI dalam hal keduniaan ketika menasehati WI. Insya Allah , saya akan menjelaskan diantara perbedaan WI dengan Salafy, yang menjadi sebab kenapa saya keluar dari WI Ketiga : Perkataan mereka, "Dengan membeberkan kepada publik penyimpangan-penyimpangan yang ada pada WI agar masyarakat menjauhinya, berarti Anda telah berbuat zhalim kepada WI, apalagi Anda pernah menjadi santri di WI".[3] Jawab: Justru sebaliknya, ketika saya menyampaikan nasehat ini dengan terang-terangan kepada publik, maka sungguh -insya Allah- ini menunjukkan kecintaan saya kepada WI, khususnya para asatidzah yang pernah membimbing saya dalam mengenal dasar-dasar kewajiban berpegang teguh dengan agama[4]. Di sini saya ingin membalik dan mengubah logika yang selama ini umumnya diyakini oleh orang-orang WI, yaitu bahwa menyingkap penyimpangan-penyimpangan seseorang adalah kezhaliman terhadapnya. Padahal justru itulah hakekat kecintaan seorang muslim kepada saudaranya, karena seorang muslim tidak akan diam melihat saudaranya terus dalam penyimpangan yang mengakibatkan murka Allah atasnya. Demikian pula, apabila semakin banyak yang mengikuti penyimpangan tersebut, maka semakin besar pula beban dosa yang ditanggungnya. Jadi, mengingatkan penyimpangan dan kesalahannya agar dosanya tidak menumpuk merupakan bentuk kecintaan hakiki seorang muslim kepada muslim lainnya. Dari sini akan nampak kedalaman pemahaman Salaful Ummah. Saat para ulama salaf mengingatkan penyimpangan para ahli bid’ah, mereka memahami dan menyadari bahwa peringatan itu adalah bentuk nushroh (pertolongan)[5], dan mahabbah (kecintaan) mereka kepada orang-orang yang diingatkan dan umat itu sendiri sebagaimana dalam atsar-atsar berikut: Abu Shalih al-Farra’ -rahimahullah- berkata, "Aku menceritakan kepada Yusuf bin Asbath tentang Waki’ bahwasannya beliau terpengaruh sedikit dengan perkara fitnah ini" [6]. Maka dia (Yusuf bin Asbath) berkata, "Dia serupa dengan gurunya –yaitu Shalih bin Hay-". Aku pun berkata kepada Yusuf, "Apakah kamu tidak takut perkataanmu ini merupakan ghibah?" Beliau menjawab, "Kenapa begitu wahai orang dungu, justru saya lebih baik bagi mereka dibanding ibu dan bapak mereka sendiri; saya melarang manusia dari mengamalkan kebid’ahan mereka karena bisa mengakibatkan semakin banyaknya dosa-dosa para pengajak kepada bid’ah tersebut, adapun yang memuji mereka justru lebih membahayakan mereka”. [Lihat At-Tahdzib 2/249 no. 516 sebagaimana dalam Lamud Durril Mantsur Minal Qoulil Ma’tsur, karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan al-Haritsiy, Muraja’ah : As-Syaikh Sholih Al-Fauzan –hafizhahullah-, (hal. 27)] Demikianlah diantara syubhat WI, semoga bisa dipahami jawabannya dengan baik, meskipun hanya ringkas. Lalu mengapa saya keluar dari WI ? Tentu jawabannya sudah bisa diketahui, yaitu karena adanya penyimpangan-penyimpangan dari manhaj Salaf, Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam tubuh WI. Dengan perkara tersebut, teramat sulit untuk mengkategorikan WI sebagai Jam’iyyah Salafiyyah Sunniyyah. Sebab Ahlus Sunnah dikenal dengan prinsip-prinsip mereka sebagaimana pula ahlul bid’ah dikenal karena penyimpangan mereka dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah. Apakah itu berarti saya mengatakan bahwa WI itu ahlul bid’ah ? Jawab : Bukan hak saya mengatakan itu, tetapi hak para ulama ataupun asatidzah yang benar-benar mendalam ilmunya. Kalau begitu haruskah saya keluar dari WI ? Jawab : Karena saya khawatir –meskipun saya tidak memastikannya- jangan sampai WI termasuk dalam 72 golongan ahlul bid’ah yang ke neraka -wal ‘iyadzu billah-, maka saya pun keluar dari WI, sebab mengingat beberapa perkara dan pertimbangan yang kami akan sebutkan. Pertama, adanya penyimpangan-penyimpangan dari manhaj al-Firqotun Najiyah (satu golongan yang selamat ke surga) dalam dakwah WI. Kedua, hampir seluruh –kalau saya tidak salah ingat mungkin seluruhnya- yang menisbatkan diri kepada manhaj Salaf di negeri ini selain WI yang mengenal WI dan pernah saya temui, baik yang membolehkan ta’awun dengan Jam’iyyahIhyaut Turots al-Kuwaitiyyah maupun yang tidak membolehkannya, baik alumni Madinah maupun Yaman dan lainnya, semuanya men-tahdzir dari WI. Sehingga dengan taufik dari Allah -Ta’ala-, pada tahun 2007 saya mulai mempelajari tentang WI dan mempelajari manhaj Salaf dari asatidzah selain dari WI. Akhirnya dengan penuh keyakinan saya memutuskan berlepas diri dari WI. ==================== Footnote : =================== [1] Diantara alasan kenapa saya masih menyangka dengan sangkaan yang kuat bahwa kebanyakan orang-orang WI belum mendengarkan atau membaca dengan seksama nasehat-nasehat Asatidzah Salafiyin adalah karena: 1) belum ada perubahan atau rujuk dari keseluruhan penyimpangan tersebut, kecuali orang-orang yang mendapat hidayah –insya Allah Ta’ala-, 2) masih membantah dengan alasan-alasan yang sebenarnya sudah terbantah, seperti ucapan mereka bahwa Al-Ustadz Dzulqarnain mempermasalahkan tingkatan (tadrij) dalam tarbiyah WI, padahal sudah ada penjelasannya dalam CD Nasehat Ilmiah pada bagian Tanya Jawab, bahwa yang Beliau kritik sebenarnya bukan masalah tingkatannya tetapi dalam mengatur tingkatan tersebut WI mendasarkan pada kadar loyalitas kader kepada WI, dan saya memiliki pengalaman pribadi yang berhubungan dengan ini, contoh lain: WI selalu menggembar-gemborkan bahwa asatidzah Salafiyin takut untuk berdialog dengan WI, padahal ada alasan-alasan syar’i kenapa asatidzah Salafiyin tidak mau melakukan itu dan telah dijelaskan secara detail dalam CD Nasehat Ilmiah pada bagian pembukaan. Contoh lain lagi: mereka masih terus menyebut Salafy di Makassar dengan istilah Manis, padahal dalam CD yang sama pada bagian Tanya Jawab, Al-Ustadz Dzulqarnain juga telah menjelaskan bahwa penyebutan Manis tidak pernah diridhoi oleh pihak Salafy (dan ini juga menyerupai tashnif yang mereka cela). Namun masih ada kejanggalan, apakah memang mereka belum tahu bahwa ucapan-ucapan mereka telah terbantah, ataukah mereka telah tahu namun hanya ingin melakukan talbis, sebab CD dan makalah tentang kritikan terhadap WI dengan mudahnya bisa didapatkan, wallahu a’lam. [2] al-Imam an-Nawawy –rahimahullah- berkata, باب مَا يباح من الغيبة اعْلَمْ أنَّ الغِيبَةَ تُبَاحُ لِغَرَضٍ صَحيحٍ شَرْعِيٍّ لا يُمْكِنُ الوُصُولُ إِلَيْهِ إِلاَّ بِهَا ، وَهُوَ سِتَّةُ أسْبَابٍ : الأَوَّلُ : التَّظَلُّمُ ، فَيَجُوزُ لِلمَظْلُومِ أنْ يَتَظَلَّمَ إِلَى السُّلْطَانِ والقَاضِي وغَيرِهِما مِمَّنْ لَهُ وِلاَيَةٌ ، أَوْ قُدْرَةٌ عَلَى إنْصَافِهِ مِنْ ظَالِمِهِ ، فيقول : ظَلَمَنِي فُلاَنٌ بكذا . الثَّاني : الاسْتِعانَةُ عَلَى تَغْيِيرِ المُنْكَرِ ، وَرَدِّ العَاصِي إِلَى الصَّوابِ ، فيقولُ لِمَنْ يَرْجُو قُدْرَتهُ عَلَى إزالَةِ المُنْكَرِ : فُلانٌ يَعْمَلُ كَذا ، فازْجُرْهُ عَنْهُ ونحو ذَلِكَ ويكونُ مَقْصُودُهُ التَّوَصُّلُ إِلَى إزالَةِ المُنْكَرِ ، فَإنْ لَمْ يَقْصِدْ ذَلِكَ كَانَ حَرَاماً . الثَّالِثُ : الاسْتِفْتَاءُ ، فيقُولُ لِلمُفْتِي : ظَلَمَنِي أَبي أَوْ أخي ، أَوْ زوجي ، أَوْ فُلانٌ بكَذَا فَهَلْ لَهُ ذَلِكَ ؟ وَمَا طَريقي في الخلاصِ مِنْهُ ، وتَحْصيلِ حَقِّي ، وَدَفْعِ الظُّلْمِ ؟ وَنَحْو ذَلِكَ ، فهذا جَائِزٌ لِلْحَاجَةِ ، ولكِنَّ الأحْوطَ والأفضَلَ أنْ يقول : مَا تقولُ في رَجُلٍ أَوْ شَخْصٍ ، أَوْ زَوْجٍ ، كَانَ مِنْ أمْرِهِ كذا ؟ فَإنَّهُ يَحْصُلُ بِهِ الغَرَضُ مِنْ غَيرِ تَعْيينٍ ، وَمَعَ ذَلِكَ ، فالتَّعْيينُ جَائِزٌ كَمَا سَنَذْكُرُهُ في حَدِيثِ هِنْدٍ إنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى . الرَّابعُ : تَحْذِيرُ المُسْلِمينَ مِنَ الشَّرِّ وَنَصِيحَتُهُمْ ، وذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ : مِنْهَا جَرْحُ المَجْرُوحينَ مِنَ الرُّواةِ والشُّهُودِ وذلكَ جَائِزٌ بإجْمَاعِ المُسْلِمينَ ، بَلْ وَاجِبٌ للْحَاجَةِ . ومنها : المُشَاوَرَةُ في مُصاهَرَةِ إنْسانٍ أو مُشاركتِهِ ، أَوْ إيداعِهِ ، أَوْ مُعامَلَتِهِ ، أَوْ غيرِ ذَلِكَ ، أَوْ مُجَاوَرَتِهِ ، ويجبُ عَلَى المُشَاوَرِ أنْ لا يُخْفِيَ حَالَهُ ، بَلْ يَذْكُرُ المَسَاوِئَ الَّتي فِيهِ بِنِيَّةِ النَّصيحَةِ ومنها : إِذَا رأى مُتَفَقِّهاً يَتَرَدَّدُ إِلَى مُبْتَدِعٍ ، أَوْ فَاسِقٍ يَأَخُذُ عَنْهُ العِلْمَ ، وخَافَ أنْ يَتَضَرَّرَ المُتَفَقِّهُ بِذَلِكَ ، فَعَلَيْهِ نَصِيحَتُهُ بِبَيانِ حَالِهِ ، بِشَرْطِ أنْ يَقْصِدَ النَّصِيحَةَ ، وَهَذا مِمَّا يُغلَطُ فِيهِ . وَقَدْ يَحمِلُ المُتَكَلِّمَ بِذلِكَ الحَسَدُ ، وَيُلَبِّسُ الشَّيطانُ عَلَيْهِ ذَلِكَ ، ويُخَيْلُ إِلَيْهِ أنَّهُ نَصِيحَةٌ فَليُتَفَطَّنْ لِذلِكَ. وَمِنها : أنْ يكونَ لَهُ وِلايَةٌ لا يقومُ بِهَا عَلَى وَجْهِها : إمَّا بِأنْ لا يكونَ صَالِحاً لَهَا ، وإما بِأنْ يكونَ فَاسِقاً ، أَوْ مُغَفَّلاً ، وَنَحوَ ذَلِكَ فَيَجِبُ ذِكْرُ ذَلِكَ لِمَنْ لَهُ عَلَيْهِ ولايةٌ عامَّةٌ لِيُزيلَهُ ، وَيُوَلِّيَ مَنْ يُصْلحُ ، أَوْ يَعْلَمَ ذَلِكَ مِنْهُ لِيُعَامِلَهُ بِمُقْتَضَى حالِهِ ، وَلاَ يَغْتَرَّ بِهِ ، وأنْ يَسْعَى في أنْ يَحُثَّهُ عَلَى الاسْتِقَامَةِ أَوْ يَسْتَبْدِلَ بِهِ . الخامِسُ : أنْ يَكُونَ مُجَاهِراً بِفِسْقِهِ أَوْ بِدْعَتِهِ كالمُجَاهِرِ بِشُرْبِ الخَمْرِ ، ومُصَادَرَةِ النَّاسِ ، وأَخْذِ المَكْسِ ، وجِبَايَةِ الأمْوَالِ ظُلْماً ، وَتَوَلِّي الأمُورِ الباطِلَةِ ، فَيَجُوزُ ذِكْرُهُ بِمَا يُجَاهِرُ بِهِ ، وَيَحْرُمُ ذِكْرُهُ بِغَيْرِهِ مِنَ العُيُوبِ ، إِلاَّ أنْ يكونَ لِجَوازِهِ سَبَبٌ آخَرُ مِمَّا ذَكَرْنَاهُ . السَّادِسُ : التعرِيفُ ، فإذا كَانَ الإنْسانُ مَعْرُوفاً بِلَقَبٍ ، كالأعْمَشِ ، والأعرَجِ ، والأَصَمِّ ، والأعْمى ، والأحْوَلِ ، وغَيْرِهِمْ جاز تَعْرِيفُهُمْ بذلِكَ ، وَيَحْرُمُ إطْلاقُهُ عَلَى جِهَةِ التَّنْقِيصِ ، ولو أمكَنَ تَعْريفُهُ بِغَيرِ ذَلِكَ كَانَ أوْلَى ، فهذه ستَّةُ أسبابٍ ذَكَرَهَا العُلَمَاءُ وأكثَرُها مُجْمَعٌ عَلَيْهِ ، وَدَلائِلُهَا مِنَ الأحادِيثِ الصَّحيحَةِ مشهورَةٌ . (dari Al-Maktabah Asy-Syaamilah). [3] Kalimat yang saya tebalkan adalah perkiraan kemungkinan yang akan dikatakan kepada saya setelah mengeluarkan risalah ringkas ini, wallahu A’lam. [4] Walaupun telah kita ketahui bersama bahwa pada sebagian bimbingan itu terdapat penyimpangan. [ed] [5] Sehingga mereka selamat dari kezhalimannya. [ed] [6] Yaitu fitnah Khawarij

Beribadah Hanya kepada Allah

Beribadah Hanya kepada Allah Posted on May 31, 2012 www.mahadassalafy.net Wahai Saudaraku, Beribadahlah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak kepada yang Lain Kalimat Tauhid لاَ إِلهَ إلاَّ الله merupakan kalimat yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul kepada umat mereka. Semenjak rasul pertama hingga rasul terakhir dakwah mereka sama, yaitu mengajak umat beribadah hanya kepada Allah satu-satunya, dan meninggalkan segala peribadahan kepada selain Allah. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” (An-Nahl: 36) Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa dakwah setiap rasul adalah mengajak beribadah kepada Allah saja, dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Inilah makna kalimat tauhid. Jadi dakwah dan agama para rasul adalah satu, yaitu mengesakan (mentauhidkan) Allah dalam ibadah. Perhatikan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepada mereka azab yang pedih”. Nuh berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian, (yaitu) beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku. (Nuh: 1-3) Pada ayat lainnya, dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam diterangkan sebagai berikut: “Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” (Hud: 26) Perhatikan dakwah Nabi Hud ‘alaihis salaam: “Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka, Nabi Hud. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Kalian hanyalah mengada-adakan saja.” (Hud: 50) Perhatikan dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salaam: “Kepada kaum Tsamud (kami utus) saudara mereka, Nabi Shalih. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Dialah yang telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Rabb-ku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Hud: 61) Perhatikan pula dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam: “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (lbrahim ‘alaihis salaam) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (Az-Zukhruf: 26-28) Demikian pula dakwah Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam: “Padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Israil, beribadahlah kalian kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian.” Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat tinggalnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim (musyrik) itu seorang penolong pun. (Al-Maidah: 72) Masih banyak lagi contohnya, semua para rasul tersebut berdakwah kepada satu kalimat yang sama, yaitu beribadah kepada Allah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya dan tinggalkan segala peribadatan kepada selain Allah. Demikian pula dakwah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang Allah terangkan dalam firman-Nya, “Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya beribadah kepada Rabb-ku dan aku tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (Al-Jin: 20) Demikianlah, kalimat tauhid memiliki kedudukan yang sangat penting. Karenanya Allah menciptakan langit dan bumi, karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya, karenanya terdapat garis pemisah antara mukmin dan kafir, karenanya Allah tegakkan jihad fi sabilillah, karenanya Allah tegakkan neraca keadilan pada hari kiamat kelak, dan karenanya pula Allah sediakan al-Jannah (surga) dan an-Nar (neraka). Maka seorang muslim dituntut untuk memahami makna kalimat tauhid ini. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘alaihis salaam dalam firman-Nya, “Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi melainkan Allah.” (Muhammad: 19) Al-Imam al-Biqa’i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang (kalimat) Laa ilaaha illallah (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله) ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari kiamat. Makna Laa ilaaha illallah Setiap mukmin pasti mengikrarkan kalimat tauhid tersebut dengan lisannya. Maka kalimat tersebut tentunya tidak hanya semata-mata ucapan di lisan saja, namun harus disertai dengan ilmu dan keyakinan tentang maknanya, serta mengamalkan konsekuensinya. Makna kalimat ini adalah sebagaimana dakwah yang diserukan oleh para rasul di atas, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata. Kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله bila ditinjau secara harfiah bermakna: - لاَ (Laa) : Tidak ada, atau tiada - إله (Ilaaha) : اَلإلَهُ (Ilah) adalah sesuatu yang hati ini rela untuk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan harapan, serta penyerahan diri. Jadi ilah maknanya adalah sesuatu yang diibadahi, atau dengan kata lain ilah bermakna ma’bud (sesuatu yang diibadahi) - إلاَّ (illa) : kecuali, atau melainkan - الله (Allah) : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah, Dialah yang mempunyai hak uluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya.” Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله “Tiada yang diibadahi dengan benar (haq)melainkan Allah semata.” Di sini لاَ إِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala yang diibadahi selain Allah, kemudian إِلاَّ الله sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (ilah/sesembahan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka ibadahi selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62) Jadi, ilah/ma’bud (sesembahan) yang haq hanyalah Allah ‘azza wa jalla satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Adapun selain Allah, memang ada yang diibadahi yang disebut ilah juga, namun mereka adalah ilah yang batil. Adapun penyebutannya sebagai ilah hanya semata-mata penyebutan/penamaan saja, yang tidak ada hakekatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah/mengibadahi)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (An-Najm: 23) Oleh karena itu, dakwah para rasul – sebagaimana keterangan ayat-ayat di atas – adalah dengan satu redaksi yang sama, yaitu: “Beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) yang haq selain Dia.” Atau dengan redaksi yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku.” (Az-Zukhruf: 26) Ini semua merupakan tafsir/penjelasan dari makna kalimat tauhid Laa ilaha illallah. Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah – penulis kitab Subulus Salam, seorang ‘ulama terkenal dari negeri Yaman – mengatakan, “Prinsip Kedua: Bahwa para rasul dan para nabi utusan Allah – mulai dari nabi/rasul pertama hingga yang terakhir – mereka semua diutus untuk berdakwah (mengajak) kepada prinsip mentauhidkan Allah, yaitu dengan memurnikan peribadatan (hanya kepada-Nya). Masing-masing rasul, dakwah pertama yang mereka serukan kepada umatnya adalah, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) selain Dia.”; “Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah.”; “Beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku.” Dakwah tersebut merupakan kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah. Para rasul mengajak umatnya untuk mengucapkan kalimat tersebut dengan disertai keyakinan terhadap maknanya, tidak sekedar mengucapkannya dengan lisan. Makna kalimat tersebut adalah: Mengesakan Allah dalam ilahiyyah (hak-Nya sebagai ilah) dan ‘ubudiyyah (peribadatan), serta meniadakan (mengingkari/menolak) segala sesuatu yang diibadahi selain-Nya diiringi sikap berlepas diri dari sesuatu tersebut. Prinsip ini tidak diragukan akan kebenarannya, dan tidak diragukan pula bahwa iman seseorang tidak akan terwujud sampai ia mengetahui makna kalimat tauhid tersebut dan merealisasikannya.” (lihat Tathirul I’tiqad min Adranil Ilhad, karya Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah). Maka sangat disesalkan, apabila ada seorang muslim yang dengan lancar mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dalam do’a dan dzikir-dzikirnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak murni untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadahnya masih tercampur dengan ibadah kepada selain Allah. Misalnya, ia masih menyandarkan nasib untung dan sialnya kepada jimat, ia masih datang ke tempat-tempat keramat dengan keyakinan dapat memperlancar rizki dan hajat-hajatnya yang lain. Tentu saja perbuatannya itu bertentangan dengan kalimat Laa ilaha illallah yang sering ia lantunkan dalam do’a dan dzikirnya. Wallahu a’lam bish shawab. Penulis: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’ala

Jalan Menuju al-Jannah

Jalan Menuju al-Jannah Posted on April 8, 2012 www.mahadassalafy.net Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أبَى قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ : مَنْ أطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى “Seluruh umatku akan masuk al-Jannah (Surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan?’ Rasulullah menjawab, ‘Barang siapa yang menaatiku, dia akan masuk al-Jannah, dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang yang enggan (yakni enggan masuk al-Jannah, pen.).” (HR. al-Bukhari) Pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh indah ucapan al-Imam Muhammad at-Tamimi rahimahullah, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan dan memberikan rezeki kepada kita, dan (kemudian) Dia tidak membiarkan kita begitu saja. Namun Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul (Muhammad). Barang siapa yang menaatinya, dia akan masuk al-Jannah, dan barang siapa yang bermaksiat kepadanya, dia akan masuk an-Nar (neraka).” Walaupun ringkas, kalimat yang beliau tuangkan dalam kitabnya Tsalatsatul Ushul tersebut mengandung makna yang sangat luas dan mendalam. Allah menciptakan manusia dan jin di dunia ini tidaklah sia-sia. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan membiarkan mereka hidup tanpa aturan dan syari’at yang menuntun mereka. Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan mereka agar beribadah kepada-Nya. Sebagai Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia juga memberikan rezeki dan berbagai kenikmatan kepada mereka untuk memudahkan dalam merealisasikan ibadah tersebut. Namun untuk mewujudkan ibadah sebagaimana yang dikehendaki Allah, kita tidak bisa menunaikannya dengan baik dan benar jika tidak ada yang menuntun dan membimbing kita sesuai dengan yang dikehendaki oleh-Nya. Oleh karena itu, dengan hikmah dan kasih sayang-Nya pula, Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai rasul terakhir dan penutup para nabi untuk menjelaskan tata cara ibadah yang dikehendaki oleh-Nya. Sehingga seluruh amal ibadah yang tidak sesuai dengan ajaran beliau maka ibadah itu akan sia-sia. Inilah sesungguhnya hakekat ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu setiap ibadah kepada Allah harus dilakukan sesuai dengan ajaran dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Maka seseorang yang benar-benar merealisasikan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah yang akan mendapatkan jaminan al-Jannah. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Ketika seseorang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, tidaklah cukup hanya sebatas di lisan saja. Namun harus pula diwujudkan dalam bentuk amalan nyata. Yaitu dia harus mengikhlaskan segala bentuk ibadahnya hanya untuk Allah semata serta ibadah yang dia laksanakan harus ada contoh dan petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammerupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seorang yang menginginkan untuk senantiasa taat kepada Allah, maka di antara wujud ketaatan kepada-Nya adalah taat kepada Rasulullah. Sedangkan ketaatan kepada Rasulullah merupakan bukti akan ketaatan dia kepada Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Barang siapa yang menaati Rasul itu (Nabi Muhammad), sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (An-Nisa’: 80) Sehingga barang siapa yang bermaksiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tidak mau mendengar dan taat kepada beliau, maka berarti dia juga telah bermaksiat kepada Allah dan tidak mau taat serta tunduk kepada Penciptanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ “Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah, dan barang siapa bermaksiat (tidak taat) kepadaku, sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Bagaimana bisa seorang yang tidak taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan sebagai orang yang tidak taat kepada Allah? Ya, karena tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda atau menetapkan suatu syariat, melainkan hal itu merupakan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah lberfirman (artinya), “Dan tidaklah dia berucap menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4) Maka dari itu, banyak sekali ayat tentang perintah untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang disebutkan beriringan dengan perintah untuk menaati Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian adalah orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal: 1) Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan kepada kaum mukminin jika mereka memang benar-benar telah mengikrarkan keimanan, maka mereka harus siap untuk tunduk dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena keimanan (yang jujur) itu akan mendorong seseorang untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana orang yang tidak menaati Allah dan Rasul-Nya bukanlah orang yang beriman (dengan keimanan yang benar). Barang siapa yang kurang ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hal ini menunjukkan kurangnya kadar keimanannya. (Lihat Taisir al-Karimir Rahman) Dari sini jelaslah bahwa di antara syarat sempurnanya keimanan seseorang adalah dengan mewujudkan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buah Ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam Orang yang senantiasa istiqamah di atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya akan meraih sekian banyak kebaikan. Satu kebaikan saling berkaitan dengan kebaikan yang lainnya. Di antara kebaikan-kebaikan tersebut adalah: 1. Mendapatkan limpahan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan taatilah Allah dan Rasul, pasti kalian diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132) Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan salah satu sebab diraihnya rahmat (kasih sayang) Allah.” Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala merupakan kunci utama bagi seseorang untuk merasakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 2. Mendapatkan hidayah Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Tentu, orang yang dirahmati oleh-Nya sajalah yang akan mendapatkan anugerah besar ini. Mereka itulah yang senantiasa menjaga ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam ayat-Nya (artinya), “Dan jika kalian taat kepadanya (Nabi Muhammad), niscaya kalian mendapat hidayah (petunjuk).” (An-Nur: 54) Yaitu hidayah (petunjuk) menuju ash-Shirath al-Mustaqim (jalan yang lurus), baik (petunjuk untuk) berkata maupun beramal. Tidak ada jalan bagi kalian untuk mendapatkan hidayah kecuali dengan menaati beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mungkin bahkan mustahil untuk mendapatkan hidayah. (Lihat Taisir al-Karimir Rahman). 3. Meraih kemenangan besar Sebagaimana di dalam firman-Nya (artinya), “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 71) Kemenangan yang besar ialah dengan dimasukkan ke dalam al-Jannah yang luasnya seluas langit dan bumi. Allah subhanahu wa ta’ala sediakan al-Jannah bagi orang-orang yang menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam al-Jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.” (An-Nisa’: 13) 4. Dikumpulkan bersama para nabi, para shiddiqin, syuhada’, dan shalihin Al-Jannah itu bertingkat-tingkat. Penduduknya akan menempati tingkatan al-Jannah sesuai dengan kadar keimanan dan ketakwaannya. Semakin tinggi dan sempurna keimanan serta ketakwaan seorang hamba, semakin tinggi pula tingkatan al-Jannah yang akan dia tempati. Sudah pasti bahwa tingkatan al-Jannah yang paling tinggi ditempati oleh hamba-hamba-Nya yang paling mulia. Mereka itulah para Nabi, para shiddiqin (orang-orang yang sempurna pembenaran dan keimanan mereka terhadap syariat yang dibawa oleh Nabi n), para syuhada’, dan orang-orang shalih. Bersama merekalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan dikumpulkan di al-Jannah nanti. Hal ini sebagaimana firman-Nya (artinya), “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69) Para pembaca rahimakumullah. Ayat ini juga mengingatkan kita akan do’a yang senantiasa kita panjatkan ketika membaca surah al-Fatihah (artinya), “Tunjukilah kami ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus). (Yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah: 6-7) Jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim) adalah jalannya orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah. Siapakah mereka itu? Pembaca bisa lihat dalam surah an-Nisa’ di atas, yaitu jalannya para nabi, para shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih. Siang dan malam senantiasa kita panjatkan doa tersebut dalam shalat kita. Sehingga agar doa kita tersebut dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka hendaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk selalu menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh sisi kehidupan kita, baik dalam hal aqidah, ibadah, mu’amalah, maupun akhlak. Semoga Allah menjauhkan kita dari golongan yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang yang enggan (yakni enggan masuk al-Jannah, pen.).” Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan barang siapa bermaksiat (mendurhakai) Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam an-Nar, sedang dia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 14) Wallahu a’lamu bish shawab.. Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Kediri hafizhahullah Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/2012/04/08/jalan-menuju-al-jannah/