Minggu, 04 Maret 2012

Sikap Ahlussunnah dalam Tahdzir dan Ghibah atas ahli bid'ah (2)

Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid’ah (II)

Masalah kedua : Menggunjing ahli bid’ah atau semua bentuk tahdzir (peringatan), sejajar dengan menghujat.

Dalam menjelaskan masalah ini ada dua poin :
-Poin pertama : Sudah menjadi ketetapan ulama salaf, bahwa menggunjing sejajar dengan menghujat.
-Poin kedua : Penggunaan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat, tidak bertentangan dengan dalil haramnya ghibah.

Adapun point pertama, bahwa para ulama menggunakan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat ahli bid’ah sebagai berikut :

- Hasan al Bahsri berkata, “Tidak dianggap ghibah dalam membicarakan ahli bid’ah”.
Beliau menambahkan,”Tiga orang yang menggunjing tidak diharamkan diantara mereka, karena ahli bid’ah yang berlebihan dalam kebid’ahannya.” Dalam riwayat lain, “Tidak ada ghibah bagi ahli bid’ah dan orang fasik yang menampakkan kesesatan mereka.”
(Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah 1/140).

- Hani bin Ayyub bertanya kepada Muharib bin Datsaar tentang hukum menggunjing Rafidhah ? Beliau menjawab,”Kalau begitu apakah mereka suatu kaum yang jujur ?” Husain bin Ali salah seorang perawi atsar ini berkata, ”Beliau membolehkan menggunjing ahli bid’ah.” (As Sunnah, Al Khallal 5/49).

- Ibrahim An Nakhai berkata,”Tidak ada ghibah (tidak disebut ghibah yang terlarang, red) bagi ahli bid’ah”. (Syarh Ushul I’tiqad Ahlu Sunnah, 1/140, Sunan Ad Darimi 1/120).

- Sufyan bin ‘Uyainah berkata,”Membicarakan ahli bid’ah bukan termasuk perbuatan ghibah.” (Mukhtasar Al Hujjah, Nashr Al Maqdisi hal 538).

Beberapa atsar diatas membolehkan penggunaan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat dan mentahdzir ahli bid’ah. Oleh karena itu, pernyataan mereka bahwa tidak ada ghibah dalam membicarakan ahli bid’ah, sebagai bentuk penyamaan menggunjing dengan menghujat dan semua itu dalam rangka mentahdzir ahli bid’ah.

Diantara pernyataan Ulama yang menyamakan antara ghibah dengan menghujat ahli bid’ah dan menyebutkan aib mereka adalah :
Imam Bukhari, ketika memaparkan sebuah hadits tentang laki-laki yang datang ingin menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Beliau bersabda, ”Izinkanlah, dia adalah seburuk-buruk teman bergaul.”
Al Bukhari membuat bab (Boleh Menggunjing Ahli Maksiat dan Kesesatan). Sebab pencelaan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada orang tersebut bermaksud untuk mentahdzir, sehingga termasuk ghibah yang diperbolehkan.

Abu Hamid menjelaskan tentang alasan diperbolehkan ghibah, ”Ketahuilah bahwa alasan yang membolehkan menyebutkan keburukan orang lain hanya sebatas untuk mewujudkan tujuan syar’i yang tidak mungkin tercapai kecuali dengan jalan ghibah, sehingga bisa menggugurkan dosa ghibah, yang demikian itu ada enam perkara : Dan yang keempat adalah, memperingatkan ummat Islam dari keburukan ketika ada seorang fakih (pandai) sering mendatangi ahli bid’ah atau fasik dan anda khawatir orang tersebut terjangkiti kefasikan atau kebid’ahan. Boleh bagi anda membongkar kebid’ahan dan kefasikan mereka, selagi tujuan utama untuk menghambat penularan kebid’ahan dan kefasikan.

Dalam kitab Al Furuq karya Syihabuddin Al Qarafi terdapat bab Al Farqu Baina Qaidah Muharram dengan Qaidah Ghibah Allati la Tuharram, beliau menyebut enam perkara seperti Abu Hamid dan yang keempat,”Ahli bid’ah dan tulisan yang menyesatkan harus ditampakkan aibnya dan diekspos kesesatan mereka kepada semua orang, agar orang awam dan lemah tidak terjerat dengan kesesatan tersebut dan sebisa mungkin menjauhkan ummat dari mereka. Tapi dengan syarat, tidak dengan cara melampaui batas dan tidak mengada-ada suatu tuduhan dan kebohongan berupa kefasikan dan kekejian, tetapi hanya menyebutkan yang ada. (Al Furuq 4/205 dan 4/207-208)

Imam An-Nawawi berkata, “Ghibah diperbolehkan dengan tujuan syar’i yang tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara ghibah dan ada enam faktor. Faktor kelima yaitu seorang yang menampakkan secara terang-terangan kefasikan atau kebid’ahan seperti orang yang terang-terangan minum khamr, memusuhi orang, mengambil pajak, mengambil harta orang secara zhalim dan mengurusi perkara batil untuk mereka, boleh menyebutkan keburukan yang mereka lakukan secara terang-terangan dan diharamkan menyebutkan selain itu kecuali ada sebab syar’i lain. (Riyadh Ash Sholihin 529)

Imam An-Nawawi menyebutkan enam faktor tersebut dalam Kitab Syarh Shahih Muslim, Riyadh Ash-Shalihin dan Al-Adzkar. Sedang Imam Asy-Syaukani membahasnya dalam Kitab Raf’u Ar-Ribah Amma Yajuzu Wama la Yajuzu min Al-Ghibah, dan beliau menerima sebagian dan menolak yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/143 dan Al-Adzkar /304)

Diantara ulama menganggap ghibah ahli bid’ah sama dengan menghujat dalam rangka mentahdzir adalah, Ibnu Shalah. Beliau berkata, ”Boleh menggunjing ahli bid’ah bahkan menyebutkan kesesatan mereka, baik di hadapan atau di belakang mereka, dengan syarat maksud utama adalah untuk menjelaskan kepada khalayak kebid’ahan mereka. Itulah yang telah dilakukan ulama salaf, baik ghibah tersebut untuk menjawab pertanyaan atau tidak”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dua perkara dimana ghibah dibolehkan,
-pertama: Orang yang terang-terangan menampakkan kejahatannya seperti kezhaliman, zina
-kedua adalah kebid’ahan.
Bila mereka menampakkan kemungkaran wajib dibasmi sebatas kemampuan yang ada. Barangsiapa yang bermaksiat secara sembunyi-sembunyi berarti dia menutupi harga diri dan masih mempunyai rasa malu, sehingga wajib menasihati secara sembunyi-sembunyi atau didiamkan hingga bertaubat.” (Ad-Durar As-Sunniyah 4/501-504)

Di tempat lain beliau berkata, “Apabila seseorang menampakkan kemungkaran wajib dinasihati secara terang-terangan, dan bukan merupakan suatu ghibah, sebab orang yang melakukan kemungkaran secara terang-terangan wajib dibasmi secara terang-terangan agar berhenti darinya.” (Tanbih Ulil Abshar, 198-210)

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam menjelaskan hadits, “Dia seburuk-buruk teman bergaul”, beliau berkata, “Bisa diambil kesimpulan hukum bahwa bukan merupakan suatu ghibah membicarakan orang yang menampakkan kefasikan dan keburukan, maka para ulama menyatakan dibolehkan menggunjing untuk tujuan syar’i, yang tidak bisa dicapai kecuali dengan cara tersebut.”

Diantara ulama yang menganggap ghibah terhadap ahli bid’ah sama dengan menghujat adalah Syaikh Abdullah Babathin, Syaikh Said bin Hija dalam Kitab Ad-Durar As-Sunniyah dan Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi dalam Kitab Tanbih Ulil Abshar.

Jadi hukum menggunjing ahli bid’ah sama dengan menghujat dan menyebarkan aib mereka menurut para ulama salaf dan ulama sunnah, semua itu boleh.

Adapun poin kedua: Penjelasan bahwa ghibah terhadap ahli bid’ah tidak bertentangan dengan dalil yang mengharamkan ghibah.

Jika ghibah terhadap ahli bid’ah berfungsi sebagai bentuk tahdzir, maka ghibah berhukum mubah. Namun untuk menepis anggapan bahwa pembolehan ghibah terhadap ahli bid’ah kontradiksi dengan hadits yang mengharamkan ghibah, bisa dijelaskan dengan dua alasan :

-Pertama : Ghibah terhadap ahli bid’ah dalam rangka tahdzir hanya sebatas makna bahasa bukan makna syar’i, seperti yang dimaksud dalil-dalil yang mengharamkan ghibah.

Hal itu seperti penjelasan Ibnu Hajar tentang hadits, Sebaik-baik kampung adalah kampung ”Banu Najjar.”
Imam Al-Bukhari memasukkan hadis ini dalam penjelasan ghibah di bawah Bab (Qoulun Nabi Khairud Dar Al-Anshar),
Ibnu Hajar berkata, “Bila itu bukan termasuk ghibah. Kecuali bila kelompok yang tersisih dari keutamaan tidak terima, sehingga perlu dikecualikan.

Dan hadits Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, “Menyebut sesuatu yang dibenci saudaramu“, hal itu dilarang bila tidak ada tujuan syar’i. Namun bila ada tujuan syar’i maka tidak termasuk ghibah meskipun orang yang dibicarakan tidak senang. (Fath Al-Bari 10/471-472)

Beliau menjelaskan hadits Aisyah, “Dia seburuk-buruk teman bergaul, “ yang dibuat bab oleh Al-Bukhari (bab Ma Yajuzu min Ightiyabi Ahli Ar-Raib Wa Al-Fasad) , masih diperselisihkan sebagai bentuk ghibah. Bahkan hanya sebagai bentuk nasihat agar para pendengar berhati-hati, hanya ucapan itu tidak dilontarkan di hadapan orang tersebut karena kebaikan akhlak beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam. Jika langsung disampaikan juga baik, namun tujuan utama sudah tercapai tanpa disampaikan secara berhadapan.

Jawab : Maksud ghibah di atas hanya menurut makna bahasa. Sebab ghibah ada dua macam, ghibah menurut arti bahasa yaitu menyebut sesuatu yang dibenci oleh orang lain, baik karena faktor syar`i atau bukan, termasuk ghibah yang mubah karena ada maksud syar`i. Dan bila tidak, maka ghibah berhukum haram sehingga ulama salaf menjadikan sikap menghujat ahli bid`ah sama halnya dengan ghibah. Atau ghibah menurut pengertian syar`i yaitu membicarakan seorang muslim dengan sesuatu yang dibenci tanpa ada alasan syar`i, dan inilah ghibah yang dihaaramkan oleh nash. (Fath Al Bari 10/471)

Dengan demikian, ghibah dalam masalah ini tidak ubahnya seperti lafazh bid`ah. Bisa digunakan dalam arti bahasa, yang berkonotasi terpuji atau tercela, tergantung ada tidaknya landasan syar’i, seperti ucapan Umar bin Khattahab dalam masalah shalat tarawih, ”Ini adalah sebaik-baik bid’ah,” dan ucapan Imam Asy-Syafi’i bahwa bid’ah ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Akan tetapi bila yang dimaksud bid’ah menurut istlah syar’i, maka artinya adalah mengada-ada suatu ajaran dalam agama yang tidak ada petunjuk dari syariat, maka semuanya tercela. Begitu juga ghibah, bila yang dimaksud makna bahasa, bisa mubah dan bisa diharamkan. Dan termasuk ghibah yang mubah adalah ghibah terhadap ahli bid’ah untuk tujuan tahdzir. Namun bila yang dimaksud ghibah dalam isstilah syar’i, jelas diharamkan secara mutlak.

-Kedua : Ghibah terhadap ahli bid’ah untuk mentahdzir orang, menghujat dan menjelaskan beragai mereka bila bila dilihat dari istilah syar’i yang diharamkan. Namun keharaman itu hilang karena ada maslahat yang lebih besar, yaitu menjelaskan kesesatan ahli bid’ah dan dosa tersebut gugur karena maslahat tersebut. Oleh sebab itu, ulama tetap membolehkan, dengan tetap meletakkan istilah syar’i tersebut pada tempatnya semula. Suatu contoh, agama memberi kemudahan untuk menggunakan hal-hal yang haram, seperti khamer, bangkai, darah dan daging babi dalam keadaan darurat, sehingga boleh meminum khamer sekedar pembasah tenggorokan atau makan daging bangkai untuk mancegah lapar, namun seteguk khamer atau secuil daging bangkai tidak berubah menjadi halal karena darurat tersebut.

Begitu juga ghibah diperbolehkan untuk suatu maslahat, seperti menggunjing ahli bid’ah dalam rangka untuk tahdzir. Tidak tertutup kemungkinan istilah syar’i ghibah masih tetap ada.

Dengan demikian syubhat di atas bisa terjawab secara tuntas. Dan sudah menjadi ketetapan ulama salaf dan ulama sunnah, bahwa menggunjing bisa berfungsi sebagai pengganti menghujat dan mencela ahli ahli bid’ah dalam rangka mentahdzir mereka, agar fitnah bid’ah tidak menjalar kepada orang lain. Bila demikian, tidak kontradiksi dengan larangan ghibah.

Namun kita harus tetap waspada terhadap ungkapan “Tidak ada ghibah bagi ahli bid’ah atau semakna dengan itu, agar tidak dipahami secara keliru oleh sebagian orang awam. Untuk itu perlu dijelaskan makna sebenarnya agar orang yang mendengarkan tidak tidak mengira boleh berghibah, meskipun hanya karena hawa nafsu atau permusuhan tidak syar’i terhadap ahli bid’ah.
Terlebih zaman sekarang ini, sangat sedikit pemahaman dalam mencerna sikap ulama salaf terhadap ahli bid’ah. Sebagian orang mengira bahwa pernyataan dan atsar ulama Salaf tersebut masih bias dan terkesan kontradiksi dengan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan diantara mereka mencela ulama Salaf dan aqidah Salafiyah, karena mendengar pernyataan sebagian penceramah baik lewat mimbar jum’at, kuliah umum atau majelis ta’lim yang menukil sebagian ungkapan ulama salaf yang dipahami secara keliru, seperti ungkapan, “Allah Ta’ala tidak menerima amalan ahli bid’ah “dan ungkapan, “Allah Ta’ala menolak menerima taubat ahli bid’ah,“ dan lainnya.

Seharusnya seorang ahli ilmu menjelaskan secara shahih kepada manusia ungkapan seperti itu, dan mendudukkan pada makna dan maksud yang benar sesuai dengan kaidah agama. Jika dianggap ada ungkapan yang menimbulkan salah paham bagi pendengar, hendaknya mengganti dengan ungkapan yang lebih jelas dan tidak menimbulkan penafsiran lain. Sebab ulama Salaf menggunakan ungkapan singkat padat tersebut, untuk para penuntut ilmu yang mampu memahami secara baik. Sehingga tidak logis dan kurang bijak, bila pernyataan ulama salaf tersebut disampaikan kepada orang awam zaman sekarang dengan ungkapan apa adanya, tanpa penjelasan dan rincian yang gamblang tentang maksud ungkapan ulama salaf tersebut.

Setelah kita mengetahui bolehnya menggunjing ahli bid’ah, bahkan bisa berhukum wajib bila tidak munghkin membasmi kemungkaran kecuali dengan cara itu, namun bolehnya menggunjing ahli bid’ah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

-Pertama : Ikhlas dalam menggunjing semata-mata untuk membongkar kesesatan ahli bid’ah, dan untuk menasihati kaum muslimin agar menjauhi mereka, bukan untuk maslahat tidak syar’i seperti permusuhan pribadi, cemburu, hasad dan semisalnya. Maka dalam kondisi seperti itu, ghibah tidak boleh meskipun ahli bid’ah sangat rusak. Karena motivasi ghibah untuk kepentingan pribadi, bukan ikhlas kepada Allah Ta’ala dan menasihati kaum muslimin.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyah setelah menjelaskan hukum menggunjing ahli bid’ah Beliau berkata, “Orang yang membicarakan ahli bid‘ah hendaknya berniat ikhlas karena Allah Ta’ala, namun bila untuk popularitas atau merusak, maka hanya sekedar berjuang untuk membela diri atau riya’. Sebab bila ikhlas karena Allah Ta’ala, dia termasuk berjihad di jalan Allah Ta’ala dan penegak amanat para Nabi dan Khalifah para Rasul, serta bertentangan dengan hadits, “Ghibah adalah bila kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibenci ” (Majmu’ Fatawa, 28/35).

-Kedua: Hendaknya ahli bid’ah yang dighibah secara terang-terangan menampakkan kebid’ahan mereka. Bila mereka melakukan bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak boleh digunjing dan dicemarkan nama baiknya. Menggunjing ahli bid’ah dalam rangka membasmi kemungkaran mereka. Dan tidak mungkin hal itu diterapkan, kecuali pada ahli bid’ah yang terang-terangan menampakkan kebid’ahan.

Imam Al- Auza’i berkata, “Pendahulu kalian sangat keras terhadap lisan meraka dalam membicarakan ahli bid’ah, sangat takut hati mereka dalam rangka menjelaskan kebid’ahan mereka. Apabila mereka melakukan bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak satupun di antar ulama Salaf merobek kehormatan mereka yang telah tertutup rapi, karena Allah Ta’ala telah melindungi mereka dengan taubat. Namun jika mereka secara terang-terangan menampakkan kebid’ahan, mempropagandakan kebid’ahannya sehingga bid’ah semakin merajalela, maka menebar ilmu sebagai sumber kehidupan dan menyampaikan pesan Rasul sebagai bentuk rahmat agar menjadi pegangan bagi orang yang terus berbuat jahat dan ilhad (menyimpang) di hari kelak” (Al-Bida’, Ibnu Wadhdhah, hal. 45).

-Ketiga: hendaknya ahli bid’ah yang dibicarakan masih hidup, dan bila telah meninggal dunia tidak boleh digunjing dan tidak boleh diungkit-ungkit perbuatan bid’ah yang telah dilakukan. Juga dilarang mencelanya setelah meninggal dunia sebab Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Janganlah kamu menghujat orang yang sudah meninggal dunia, karena dia sudah menerima balasan atas yang diperbuat “(HR. Al-Bukhari).

Poin ketiga dikarenakan, hikmah diperbolehkan ghibah sudah tidak ada setelah orangnya meninggal dunia. Karena kekhawatirann penularan bid’ah sudah tidak ada lagi, kecuali bila ahli bid’ah tersebut meninggalkan karya berupa tulisan yang membela kebid’ahan atau kesesatan dan para pengikutnya sanagt fanatik menyebarkan kebid’ahan sepeninggalnya. Bila demikian, boleh membicarakan atau menggunjing ahli bid’ah tersebut dalam rangka menjauhkan manusia dari pengaruh kesesatan kitab dan pemikirannya karena faktor yang membolehkan ghibah masih ada, yaitu adanya kekhawatiran buku dan para pengikutnya mempengaruhi orang lain.

Imam Al-Qarafi berkata, ”Jika ahli bid’ah mati tidak meninggalkan pengikut yang mengkultuskan, atau karya tulis yang membahayakan, atau tidak ada faktor yang bisa merusak orang lain, sebaiknya setelah mati harus tetap dilindungi kehormatannya, dijaga aibnya serta urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala” (Al-Furuq, vol. 4, hal. 208).

-Keempat Bersikap adil dan obyektif ketika menilai dan membicarakan ihwal ahli bid’ah. Tidak menyebutkan kecuali perilaku yang hakiki dan tidak menghujat kecuali keburukan yang nyata-nyata dikhawatirkan akan menular kepada orang lain.

Sebab Allah Ta’ala berfirman,
artinya : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan. ” (Al-Maidah : 8)

Jika melempar tuduhan yang tidak berdasar dan membuat suatu kebohongan keji, maka bukan termasuk ghibah yang mubah, bahkan termasuk tuduhan palsu yang haram dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jika dia tidak sesuai dengan apa yang kamu bicarakan, maka kamu telah membuat suatu tuduhan.” (HR. Muslim)

Membuat tuduhan bohong dilarang oleh Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan para ulama salaf, karena termasuk tindak kezhaliman yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Sementara membicarakan ahli bid’ah dalam rangka mencari ridha Allah Ta’ala. Dan ridha Allah Ta’ala tidak bisa didapat dengan murka Allah Ta’ala, kebohongan, dhalim dan kepalsuan. Hendaknya pembicaraan sekadar untuk tahdzir, dan membuat orang lain jauh dari kebid’ahan dan kesesatan mereka, tidak lebih dari itu.

(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunah Tentang Menggunjing Ahli Bid’ah Agar Umat Selamat Dari Pengaruh Mereka)

Sikap Ahlussunnah dalam Tahdzir dan Ghibah atas ahli bid'ah (1)

Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid’ah (I)
Penulis: Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili

Banyak ditemukan dalam beberapa karya para ulama dan pernyataan mereka baik dahulu baik sekarang ungkapan yang berbunyi, tidak ada ghibah buat ahli bid’ah. Namun setelah dirinci, maksudnya adalah landasan dalam menghujat ahli bid’ah dan menyebarkan keburukan ahli bid’ah, agar umat tidak terpengaruhi keburukannya.

Dalam mendudukan sikap ahli sunnah terhadap ahli bid’ah, hendaknya berangkat dari dalil-dalil yang shahih dan pernyatan ulama salaf, juga sikap itu bisa dibenarkan oleh kaidah dasar syariat. Apalagi sikap di atas termasuk lanjutan dari sikap kebencian terhadap ahli bid’ah yang tampak secara lahiriyah

Masalah ini akan di bahas dalam dua bahasan di bawah ini:

* Masalah pertama : Maksud dari ungkapan di atas adalah penjelasan tentang hukum menghujat ahli bid’ah dan menyebarkan keburukan ahli bid’ah, agar umat tidak terpengaruhi keburukannya. Setelah merujuk kepada Al-Qur’an dan As-sunnah serta pernyataan para ulama, ditemukan keputusan secara jelas bahwa, ”Bahwa boleh menghujat dan menyebutkan keburukan ahli bid’ah dengan tujuan untuk menasihati umat, agar mereka tidak terpengaruhi mereka“.
(Masalah Kedua akan dijelaskan pada pembahasan ϑί bagian kedua).

Dalil-dalil yang mendukung ketetapan itu banyak sekali, namun saya batasi menjadi dua bagian :

-Pertama : Dalil secara umum tentang kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, seperti dalam firman Allah Ta’ala,
artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Al Quran Surat Ali Imran 104).

Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan, ”Allah Ta’ala menghendaki agar dari segolongan umat ada yang peduli masalah amar ma’ruf dan nahi mungkar. Meskipun demikian, setiap umat tetap memiliki tanggung jawab masalah tersebut, sesuai kadar kemampuan masing-masing, berdasarkan hadist dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya (Tafsir Ibnu Katsir 1/290).

Allah Ta’ala juga mengabarkan, bahwa baik tidaknya umat tergantung pada penegakan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut :
artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
(Al Quran Surat Ali Imran 110).
Menurut Mujahid, ”Umat Islam akan tetap bisa menyabet predikat umat terbaik asal memenuhi syarat di atas.”

Sedangkan menurut Imam Asy-Syaukani, “Ayat di atas berstatus hal yang berarti predikat umat terbaik sangat terkait dengan kemauan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar. “(Tafsir Fath Al Qadir, Asy Syaukani 1/371).

Abu Said Al-Khudri Radiyallahu ‘anhu meriwayatkan, saya mendengar Rasalullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: ”Barangsiapa yang melihat kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya, bila tidak mampu maka dengan lisannya, dan bila tidak mampu, maka dengan hatinya. Demikian itu selemah-lemah iman.”(HR Muslim).

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam menyuruh beramar ma’ruf dan nahi mungkar dengan tiga tingkatan sesuai kadar kemampuan masing-masing.

Dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu ‘anhu, nabi bersabda : “Tiada seorang nabi yang diutus Allah kepada umatnya sebelumku, melainkan ada diantara umatnya yang menjadi hawari (pembela baginya) dan sahabat yang mengambil sunnahnya, mengikuti perintahnya. Kemudian datang setelah mereka generasi yang mengucapkan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang memerangi mereka dengan tangannya, ia seorang mukmin, siapa yang memerangi mereka dengan lisannya, ia seorang mukmin dan barang siapa memerangi mereka dengan hatinya, ia seorang mukmin. Dan selain itu tidak memiliki keimanan sebiji sawipun. (HR Muslim).

Ijma’ juga menyatakan wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, seperti yang dikatakan Imam an Nawawi, “Antara Al Quran, As Sunnah dan Ijma telah selaras dalam membuat pernyataan wajibnya amar ma’ruf dan nahi munkar. Sebab hal itu, bagian dari nasihat dalam agama dan tidak ada yang menyangkal manhaj tersebut, kecuali sebagian Rafidhah.
(Syarh Shahih Muslim, 1/22)

Jika kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar telah menjadi ketetapan baku, sementara bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar adalah mengajak orang kembali kepada As-Sunnah, memperingatkan mereka dari bahaya bid’ah, membongkar keburukan ahli bid’ah menghujat mereka karena penyelewengan dari manhaj yang benar dan mengikuti hawa nafsu sehingga terjerumus dalam kerusakan, kebid’ahan, kesesatan dan penyelewengan dalam agama, agar semua manusia tahu dan menjauhi mereka.

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa tahdzir merupakan bagian amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap ahli bid’ah. Ia berkata, “Orang yang mengajak kepada bid’ah, berhak mendapat sanksi berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Sanksi tersebut bisa berupa hukuman mati seperti hukuman mati yang telah diterapkan pada Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dirham, Ghailan Al-Qadari dan yang lainnya. Andaikata (pelakunya) tidak mungkin dijatuhi sanksi, namun kebid’ahan harus tetap dijelaskan kepada umat. Sebab hal itu, bagian dari dari amar ma’ruf dan nahi mungkar yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya (Majmu’ Fatawa, 35/414).

Dengan demikian, mengungkap kebid’ahan dan menyebarkan bahaya ahli bid’ah kepada semua orang, merupakan bagian amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ketetapan dalil yang shahih.

-Kedua : Dalil secara khusus yang menganjurkan untuk membongkar dan memjelaskan bahaya ahli bid’ah kepada semua umat, antara lain:
Allah Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
(yang artinya) : “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (An Nisa’:148)

Ibnu Katsir meriwayatkan penafsiran Mujahid, “Ada salah seseorang bertamu lalu tidak mendapat hak tamu secara layak. Setelah keluar dari rumah orang tersebut, dia berkata kepada orang-orang, ‘Saya bertamu ke rumah si Fulan, tapi bsaya tidak mendapat hak tamu secara layak.’Beliau berkata, “Ini adalah ucapan buruk yang disampaikan dengan terus terang kecuali oleh orang yang teraniaya hingga yang lain memberikan hak tamu kepadanya (Tafsir Ibnu Katsir, vol.1, hal. 571)”.

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan secara tegas, bahwa peristiwa itu menjadi sebab turunnya ayat di atas (Majmu’ Fatawa, vol. 28, hal 230). Apabila terus terang mengucapkan ucapan buruk untuk membela diri diperbolehkan, maka untuk membela agama Allah Ta’ala dari perusak dan pengacau agama, lebih utama dan sangat dianjurkan, agar mereka tidak menebar fitnah bid’ah di kalangan umat.

Dalil dari Sunnah antara lain hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Ada orang yang meminta izin untuk menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan beliau bersabda, “Izinkanlah dia, sungguh dia adalah seburuk–buruk saudara atau teman bergaul. Ketika orang tersebut masuk, beliau bertutur kata manis. Lalu saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan ucapan seperti itu, kemudian tiba-tiba engkau bertutur kata manis di depannya, ‘Beliau menjawab, ‘Hai Aisyah, sejelek-jelek orang adalah orang yang dijauhi karena takut kejahatannya (HR. AL-Bukhari dalam kitab Al-Adab dan Muslim dalam kitab Al-Birr).

Imam An-Nawawi menukil pendapat Al-Qadhi, “Orang yang dimaksud adalah Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah Al-Fazari atau Abu Malik. Ketika itu, ia belum masuk Islam, walaupun telah menampakkan keislaman. Nabi ingin menjelaskan perangainya agar semua orang mengerti dan tidak terkecoh, juga sebagai bukti perangai buruk pada masa Nabi masih hidup. Setelah beliau wafat, dia murtad bersama kelompok orang-orang murtad, yang kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, sehingga pernyataan beliau di atas sebagai tanda kenabian. Adapun Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersikap bersikap lemah lembut dan bertutur kata manis, dalam rangka membujuk hatinya agar tertarik dengan Islam. Hadits di atas menjadi dalil diperbolehkan basi-basi untuk menghindar dari kejahatannya dan menggunjing orang fasik yang menampakkan kefasikannya (Syarh Shahih Muslim, vol.16 hal. 144).

Aisyah berkata bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Saya tidak menyangka kalau dua orang itu mengerti sedikit pun tentang agama itu ?” Laits salah seorang perawi hadits berkata, “Dua orang tersebut termasuk orang munafik” (HR. Al-Bukhari).

Sikap Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tersebut sebagai bentuk tahdzir. Dan hukum itu bisa berlaku kepada siapa saja yang semisal dengan orang tersebut.

Menurut Ibnu Hajar, prasangka seperti itu bukan suatu yang dilarang, karena dalam rangka memberi tahdzir kepada kedua orang tersebut dan yang semisal dengan mereka (Fath Al-Bari, vol. 10, hal. 486).

Begitu juga kisah Fatimah bin Qais ketika Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarnya, ia minta saran pada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, dengan siapa harus menikah? Rasululllah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Adapun Abu Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya dan Muawiyah bin Abu Sufyan miskin tidak punya harta” (HR. Muslim, kitab Ath-Thalaq).

Jika diperbolehkan mengungkap aib dua sahabat untuk maslahat dunia, maka membongkar aib ahli bid’ah lebih utama karena berkaitan dengan kepentingan agama umat secara umum.

Syaikhul Islam berkomentar tentang makna hadits di atas, “Demikian bagian dari nasihat buat wanita tersebut, meskipun harus menyebutkan aib pelamarnya. Hal ini bagian dari nasihat seseorang kepada temannya, wakilnya dan orang yang menerima wasiat. Bila untuk kepentingan pribadi saja boleh, maka untuk kepentingan umat secara umum lebih utama. Apabila bagi pemimpin, hakim, saksi dan pekerja, jelas lebih lebih utama untuk diperbolehkan (Majmu’ Fatawa, vol. 28, hal. 230).

Menurut hemat saya, lebih utama lagi ketika berkaitan dengan kepentingan keagamaan umat seperti memperingatkan bahaya ahli bid’ah, bahkan lebih utama darui semua perkara di atas.

Membuka aib ahli bid’ah dikuatkan ulama salaf, al-Lalika’i meriwayatkan dari Ashim Al Ahwal, “Saya duduk di sampung Qatadah. Dalam obrolan dia menyebut-nyebut Amr bin Ubaid dalam majlisnya maka saya berkata, “Wahai Abu Khaththab, saya tidak ingin melihat ulama satu sama lain saling berselisih.“ Ia berkata, “Wahai Ahwal, bukanlah kamu tidak tahu bila seseorang membuat suatu bid’ah harus disebut-sebut agar diketahui orang” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, vol.2, hal.738).

Dalam kitab As-Sunnah karya Al-Khalaal, Zaidah mengisahkan, aku berkata kepada Manshur,”Wahai Abu Ithab ketika diantara kita berpuasa, boleh tidak mencela orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar?” Beliau berkata, “Jelaskan pemikirannya kepada semua orang dan mintalah sehat wal afiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (As Sunnah, Al- Khallal, vol.1, hal.495, Al-Ibanah Ash-Shughra, hal. 163 dan Talbis Al- Iblis, hal.17).

Dalam surat Asad bin Musa yang ditujukan kepada Asad bin Furaat berbunyi,”Wahai saudaraku, yang menjadi pendorong aku menulis surat kepadamu tidak lain hanyalah karena banyaknya orang yang memujimu tentang ketegasanmu dan sikap obyektifmu dalam menghidupkan sunnah, dan menampakan aib ahli bid’ah. Engkau seringkali menyebut-nyebut dan menghujat mereka, semoga Allah Ta’ala menghancurkan mereka lantaran kamu,dan menguatkan pengikut kebenaran. Semoga Allah Ta’ala memberi kekuatan kepadamu dalam memerangi dan menghujat ahli bid’ah. Dan semoga Allah Ta’ala menghinakan mereka, sehingga tidak melakukan bid’ah kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Bergembiralah wahai saudaraku dengan balasan baik, dan semoga masuk dalam amal kebaikan paling utama dari shalat, puasa, haji dan jihad manakah yang lebih baik daripada menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul .(Al-Bida’ wa An-Nahyu Anha, Ibnu Wadhdhah,hal 6)

Imam Al-Qahthani dalam Nuniyah menghujat Asy’ari :
”Aku akan potong-potong kehormatan kalian, selagi nyawaku masih di kandung badan.
Aku akan menyerang hizbi kalian dengan syairku, hingga badanku di bungkus kain kafan.
Aku akan robek penutup aibmu, hingga sampai titik darah penghabisan.
Aku akan menulis kepada penduduk negri ini yang berisi hujatan kepada kalian, hingga kalian berjalan terseok-seok laksana onta keletihan.
Aku akan bongkar seluruh syubhat kalian dengan hujjah –hujjahku, hingga kebodohan kalian tertutupi dengan pengetahuanku “
(Nuniyah Al-Qathani, hal. 52).

Demikian itu pernyataan salaf yang terkenal taat beragam, bertaqwa zuhud dan wara. Mereka secara terang-terangan membolehkan menghujat dan menyebarkan aib ahli bid’ah. Bahkan termasuk kewajiban yang berpahala besar. Begitu juga para ulama’ setelah mereka, mengeluarkan pernyataan yang sama.

Imam al Qarafi berkata, “Aib ahli bid’ah dan kesesatan buku-buku mereka harus dijelaskan kepada semua orang, agar orang-orang yang lemah iman dan ilmu tidak terjerat oleh kesesatan mereka. Tetapi harus dipisahkan kejujuran obyektif dan tidak gampang melempar tuduhan fasik dan kekejian tanpa bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh menuduh ahli bid’ah berzina atau minum khamer tanpa bukti yang nyata. (Al Faruq 4/207-208).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar tentang bolehnya menyebutkan keburukan ahli bid’ah, beliau berkata, ”Seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah yang mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah atau ibadah yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah, memperingatkan umat dari bahaya mereka berhukum wajib menurut kesepakatan kaum muslimin, hingga pernah Imam Ahmad ditanya :
“Manakah orang yang lebih engkau cintai orang yang berpuasa, sholat dan i’tikaf ataukah orang yang berbicara tentang keburukan ahli bid’ah ?” Beliau menjawab, “Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah ?”
Beliau menjawab, ”Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah untuk seluruh kaum muslimin dan ini yang lebih utama. Berarti berbicara keburukan ahli bid’ah lebih utama dan bagian dari jihad fardlu kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin. Kalau tidak ada orang melakukan hal itu, maka agama lambat laun akan rusak. Bahkan lebih berbahaya dari penjajah, karena penjajah hanya merusak fasilitas fisik, sementara ahli bid’ah merusak hati lebih dahulu. (Majmu’ Fatawa 28/231-232).

Beliau menambahkan, ”Bila ahli bid’ah memiliki keyakinan atau cara ibadah yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah, serta dikhawatirkan mereka menyesatkan orang. Maka boleh dijelaskan kesesatan mereka dan semua itu dilakukan penuh dengan keikhlasan dan mencari ridha Allah Ta’ala, bukan karena unsur permusuhan pribadi yang berkaitan dengan dunia seperti dengki, hasad atau berebut popularitas. Atau berbicara tentang keburukan mereka seakan-akan ikhlas, ternyata di dalam hati tersimpan kebencian pribadi, jelas ini adalah perbuatan setan. (Majmu’ Fatawa 28/221)

Imam Ibnul Qoyyim dalam Zaad Al Ma’ad menyebutkan beberapa faidah perang Tabuk antara lain : Seorang muslim boleh menilai buruk kepada ahli bid’ah, bila dalam rangka membela Allah Ta’ala dan RasulNya. Seperti ahli hadits menilai buruk kepada para perawi hadits yang lemah atau ahli sunnah menilai buruk kepada ahli bid’ah, namun bukan untuk sekedar melampiaskan kepuasan pribadi. (Zaad Al Ma’ad 3/18).

Imam Asy-Syatibi menjelaskan masalah hukum membicarakan keburukan ahli bid’ah – Boleh menyebut-nyebut keburkan ahli bid’ah dan menjelaskan kebid’ahan mereka agar semua orang terhindar fitnah ucapan bid’ah dan bahayanya, sebagaimana yang dilakukan ulama salaf. (Al I’tisham 1/176).

Beliau menambahkan, ”Tidak boleh membicarakan ahli bid’ah secara khusus kecuali dalam dua keadaan, dan saya cukup menyebutkan kedua saja yaitu : Jika firqah tersebut mengajak kepada kesesatan dan membuat orang awam dan orang yang tidak berilmu menjadi tergiur dan terpedaya dengan kebid’ahan mereka. Bahaya mereka terhadap umat seperti bahayanya iblis, mereka termasuk setan dari kalangan manusia. Oleh karena itu, harus disampaikan secara tegas, bahwa mereka ahli bid’ah, penebar kesesatan. Dan boleh menisbatkan mereka kepada ahli bid’ah, penebar kesesatan. Dan boleh menisbatkan mereka kepada firqah bid’ah, asal didukung bukti kuat. Sebagaimana kisah ‘Ashim Ahwal dengan Qatadah di atas. Mereka perlu secara khusus menjelaskan bahaya mereka kepada masyarakat luas, mengingat bahaya mendiamkan mereka (tidak mencelanya) lebih besar, daripada membicarakan mereka. Kendatipun dikhawatirkan menciptakan permusuhan dan perpecahan. (Al I’tisham 2/228-229).

Dengan dalil-dalil dan pernyataan ulama salaf di atas, menjadi jelas bolehnya menghujat dan menjelaskan perangai ahli bid’ah secara khusus, agar semua orang selamat dari fitnah mereka. Bahkan suatu kewajiban yang paling wajib dan termasuk bagian dari jihad di jalan Allah yang lebih utama dari berjihad melawan musuh dengan pedang dan tombak. Ini ditinjau dari beberapa sisi :

*Pertama : Sebagaimana penuturan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa bahaya bid’ah langsung meracuni dan merusak hati umat Islam, sementara bahaya musuh perang hanya merusak perkampungan kaum muslimin. Maka berjihad melawan ahli bid’ah, lebih utama daripada berjihad melawan musuh dengan pedang dan tombak, meskipun keduanya tetap harus menjadi kewajiban setiap umat sepanjang zaman.

*Kedua : Umat memahami akan bahaya perang fisik, sehingga mereka secara serentak bergerak bersama untuk melawan musuh. Berbeda dengan ahli bid’ah, tidak semua orang bisa memahami bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan. Oleh karena itu, jihad melawan ahli bid’ah lebih utama daripada jihad melawan musuh fisik, mengingat sedikit sekali yang mau berjihad melawan ahli bid’ah. Bahkan sebagian umat secara sadar atau tidak, ikut serta membantu ahli bid’ah dalam menebar kesesatan. Orang yang berjihad dalam keadaan seperti ini bagaikan memerangi musuh, (seperti keadaan) setelah pasukan banyak melarikan diri dari medan perang. Manakah pahala orang yang berperang bersama tentara yang kuat dengan tentara yang ditinggalkan lari oleh pasukan ?

*Ketiga : Berjihad melawan musuh fisik banyak orang yang siap, berbeda dengan jihad melawan ahli bid’ah, tidak mungkin dilakukan kecuali oleh para ulama yang istiqamah di atas As Sunnah. Lebih dari itu harus ada keberanian, hujjah yang kuat serta penguasaan manhaj dan pernyataan ulama’ salaf seputar masalah bid’ah, agar mampu merontokkan syubhat ahli bid’ah. Bagi pembaca buku sejarah bisa mengetahui kisah “Fitnah Al Qur’an Makhluk” pada zaman pemerintahan Abbasiyah di masa khalifah Makmun. Bagaimana kegigihan dan ketegaran ulama Sunnah dalam menghadapi cobaan dan penyiksaan dahsyat, bahkan tidak ada yang mampu menghadapi cobaan itu melainkan Imam Ahmad, Imam Ahli Sunnah wal jama’ah dan sekelompok kecil dari ulama. Mereka secara tegas menyatakan bahwa Al Quran Kalamullah bukan makhluk, membantah propaganda dengan dalil dan alasan-alasan yang lugas di bawah tekanan penyiksaan dan kebengisan pemimpin, serta ancaman cambuk dan pembunuhan.

Tidak banyak yang mampu menghadapi cobaan sebesar itu. Bahkan tidak sedikit yang terpaksa menyatakan Al Quran adalah makhluk. Ketika Imam Ahmad menghadapi siksaan cambuk, Bisyr bin Harits ditanya,”Wajib bagi kamu untuk berbicara.” Ia menjawab, ”Kalian ingin aku meraih kedudukan para Nabi ? Itu tidak saya miliki, semoga Allah Ta’ala menjaga Ahmad bin Hambal dari arah depan dan belakangnya.” Hal senada diungkapkan Yahya bin Main, ”Manusia menginginkan aku seperti Imam Ahmad. Demi Allah Ta’ala aku tidak bisa seperti Imam Ahmad, dan tidak bisa menempuh jalan Ahmad.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah 1/140).

Dengan demikian memerangi ahli bid’ah dengan hujjah dan dalil kebenaran lebih mulia daripada perang fisik, karena sangat sedikit orang yang sanggup.

Oleh karena itu, wajib bagi orang yang mampu untuk berjihad melawan ahli bid’ah terutama ulama, agar semua orang memahami kesesatan mereka.

(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah)

Bersambung ke Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid’ah (II)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=416

Mengenal arti Muwazanah

Mengenal Apa Itu Muwazanah

Bismillah
Penulis: Syaikh Rabi’ bin Hadi Umair al Madkhali

Sebagian orang menggunakan kaidah muwazanah dalam menyikapi tahzir dan kritikan terhadap orang yang mereka bela. Pengertian muwazanah sendiri adalah menimbang antara kebaikan dan keburukan ketika mengeritik dan men-tahdzir (memperingatkan) penyimpangan dan kesalahan seseorang.
Untuk itu, ada baiknya kita mengetahui perkataan para ulama salaf ahlussunnah wal jama’ah mengenai kaidah muwazanah ini, semoga bermanfaat, Barokallohu fiik

Manhaj Ahlusunnah dalam mentahdzir – Muqoddimah 2
Penulis: Syaikh Rabi’ bin Hadi Umair al Madkhali

Saya sajikan kepada para pembaca pendapat dari Syaikh kami yang lain, pendapat Syaikh Abdul Aziz Al Muhammad As Salman, perkataan Dr. Shalih Al Fauzan (salah seorang anggota dewan ulama besar). Keduanya menguatkan tema buku tersebut dan menyepakatinya.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ketika ditanya sebagai berikut :

Berhubungan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam mengkritik Ahlul Bidah dan kitab-kitab mereka, apakah wajib (orang yang mengkritik tersebut) menyebutkan semua kebaikan dan kejelekan mereka atau hanya menyebutkan kejelekannya saja?

Maka beliau menjawab:
“Tujuan dari pendapat para ulama mengenai kritikan terhadap orang yang berbuat jelek adalah sebagai tahdzir (peringatan agar waspada), menjelaskan kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan agar mereka tidak melakukannya lagi. Adapun perbuatan yang baik adalah hal yang ma’ruf dan diterima. Akan tetapi tujuannya adalah sebagai tahdzir terhadap kesalahan-kesalahan mereka seperti jahmiyah, mu’tazilah, rafidhah, dan sebagainya.

Jika dibutuhkan penjelasan mengenai kebenaran yang ada pada mereka maka hendaknya dijelaskan. Jika ada yang bertanya, apa saja kebenaran yang ada pada mereka (yang sesuai dengan Ahlus Sunnah)? Pertanyaan tersebut harus dijawab. Akan tetapi maksud yang paling penting adalah penjelasan mengenai kebatilan mereka, memperingatkan kepada si penanya agar tidak memihak kepada mereka.”

Beliau ditanya lagi :
Benarkah pendapat sebagian orang ada yang mewajibkan muwazanah (penilaian seimbang) dalam mengkritik yakni jika Anda mengkritik seorang ahli bid’ah karena bid’ah yang dilakukannya agar manusia waspada terhadapnya maka wajib bagi Anda untuk menyebutkan pula kebaikannya sehingga Anda tidak menzhaliminya?

Beliau menjawab :
“Tidak, hal itu bukanlah suatu keharusan. Mengenai hal ini jika Anda membaca kitab-kitab Ahlus Sunnah maka Anda menemukan tujuan tahdzir tersebut.

Silahkan Anda baca kitab-kitab karya Bukhari Khuluq Af’alil ‘Ibad dalam kitab adab yang terdapat dalam Shahih, Kitab As Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, Kitab At Tauhid karya Ibnu Khuzaimah, Kitab Rad Utsman bin Said Ad Darimi ‘Ala Ahlil Bid’ah … dan lain-lain.

Mereka mengkritik yang tujuannya memperingatkan manusia agar waspada terhadap perbuatan batil yang mereka lakukan dan tujuan menyebutkan kebaikan mereka adalah memperingatkan manusia agar waspada terhadap kebatilan mereka sedangkan kebaikan mereka tidak ada artinya bagi mereka yang kafir. Jika bid’ah yang ia lakukan menjadikannya sebagai orang kafir maka kebaikannya gugur semua dan jika bid’ahnya tidak membuat pelakunya menjadi kafir maka ia dalam bahaya. Jadi tujuan tahdzir adalah menjelaskan segala kesalahan dan penyimpangan yang wajib diwaspadai.”

Dari sebuah kaset yang direkam pada salah satu pidato Syaikh Ibnu Baz yang beliau sampaikan pada musim panas tahun 1413 H di Tha’if setelah shalat Fajar (Subuh).
Kaset 855 dari Silsilah Al Huda wan Nuur karya Syaikh Ahli Hadits Nashiruddin Al Albani mengenai manhaj muwazanah (penilaian yang seimbang), berikut adalah teks pertanyaan dan jawabannya :

Pertanyaan :
Wahai Syaikh, sebenarnya saudara-saudara kami yaitu para pemuda telah mengumpulkan berbagai macam (pendapat). Di antaranya mereka mengatakan suatu keharusan bagi yang ingin mengkritik seorang ahli bid’ah yang telah jelas kebid’ahannya dan permusuhannya terhadap Sunnah atau bukan seorang ahli bid’ah namun ia telah melakukan kesalahan yang berhubungan dengan manhaj yang tidak sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka yang mereka namakan dengan nama kaidah (prinsip) muwazanah antara sisi positif dan sisi negatif. Banyak buku mengenai hal tersebut serta berbagai tulisan dari para penulis yang berpendapat demikian yakni hal tersebut (muwazanah) adalah suatu keharusan? Manhaj para pengkritik pertama harus menyebutkan kebaikan dan kejelekannya. Apakah kaidah ini benar-benar mutlak atau ada suatu hal dimana manhaj ini tidak bisa dinilai mutlak? Kami berharap Anda menjelaskan kepada kami secara terperinci, semoga Allah memberkati Anda.

Jawaban :
“Ini merupakan manhaj yang biasa dilakukan oleh ahli bid’ah ketika seorang alim mengkritik hadits dari seorang perawi yang shalih, alim dan fakih (ahli fikih). Seorang yang mengkritik tersebut berkata, orang itu hafalannya jelek, apakah ia mengatakan bahwa ia adalah Muslim? Padahal yang dikritik adalah seorang yang shalih dan fakih serta ia berfatwa mengenai hukum syariat.

Allahu Akbar, sebenarnya manhaj tersebut sangat penting dan mencakup banyak permasalahan parsial terutama pada saat ini.
Dari mana mereka mendapatkan bahwa jika seseorang ingin menjelaskan kesalahan seorang Muslim dilihat dulu apakah ia seorang da’i atau bukan seorang da’i? Ia seharusnya mengadakan muhadharah (ceramah) yang di dalamnya menyebutkan kebaikannya dari awal sampai akhir. Ini adalah hal yang aneh, demi Allah ini adalah hal yang aneh lalu Syaikh tertawa keheranan.”

Pertanyaan :
Pada sebagian poin yang mereka jadikan dalil misalnya perkataan Adz Dzahabi dalam Kitab Siyar min A’lam An Nubala’ atau di kitab yang lain. Syaikh kami berpendapat sebagaimana pendapat orang lain yaitu pendapat yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin misalnya hadits?

Jawaban :
Ini adalah adab (etika) bukan perkara mengingkari kemungkaran atau amar ma’ruf. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia mencegahnya ….”
Apakah kamu termasuk mengingkari kemungkaran ini sementara kamu menceritakan segala kebaikannya?

Pertanyaan :
Pada saat beliau berkata :
“Sejelek-jelek khatib adalah kamu tetapi kamu telah berbuat (baik).”
Akan tetapi hadits ini dijawab oleh mereka, ketika Allah melarang kita meminum khamer, Dia menyebutkan beberapa manfaatnya?

Jawaban :
Allahu Akbar, mereka itu mengikuti sesuatu yang syubhat (hal yang samar) dengan tujuan untuk menimbulkan fitnah dan menyimpangkan makna dari ayat tersebut. Saya memandang banyak hal yang terdapat pada mereka apa yang tidak terdapat pada kami.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan ketika ditanya sebagai berikut setelah beliau ditanya mengenai berbagai macam seputar jamaah-jamaah :
Baiklah Syaikh! Apakah Anda akan mentahdzir (mengultimatum) mereka tanpa menyebutkan kebaikan yang ada pada mereka? Atau Anda menyebutkan kebaikan dan kejelekan mereka?

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab :
“Jika Anda sebutkan kebaikan mereka maka artinya Anda mendukung mereka. Tidak, jangan Anda hanya sebutkan kebaikan mereka. Hendaknya Anda menyebutkan kesalahan yang mereka lakukan saja sebab hal itu bukan tugas Anda yaitu Anda mempelajari posisi mereka lalu Anda yang akan melaksanakan …. tugas Anda adalah memberikan keterangan tentang kesalahan mereka agar mereka memperhatikan hal tersebut dan agar orang lain waspada terhadap mereka. Karena jika Anda menyebutkan kebaikan mereka, mereka akan berkata, semoga Allah memberimu kebaikan. Dan inilah yang kami inginkan ….”
Kemudian dalam sebuah kaset yang direkam pada pertemuan ketiga dan pelajaran-pelajaran Kitab At Tauhid yang dipandu oleh beliau pada musim panas tahun 1413 H di Tha’if.

Syaikh Abdul Aziz Al Muhammad As Salman ditanya sebagai berikut:
Apakah dalam mengkritik ahli bid’ah disyaratkan bersikap muwazanah dengan menyebutkan kebaikan dan kejelekannya menurut manhaj Salaf?

Syaikh Abdul Aziz Al Muhammad As Salman menjawab :
“Ketahuilah, semoga Allah memberikan taufik kepada kami dan Anda serta seluruh kaum Muslimin bahwasanya tidak ada atsar (ucapan shahabat) dari para Salafush Shalih, shahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan baik menghormati salah sorang ahli bid’ah atau mendukung mereka serta berdiskusi bersama para pendukung mereka. Sebab ahli bid’ah itu hatinya terkena penyakit, dikhawatirkan siapa yang berdiskusi bersama mereka atau berhubungan dengan mereka akan tertular penyakit yang berbahaya ini? Sebab bukankah orang sakit itu akan menulari orang yang sehat dan bukan sebaliknya?

Maka waspadalah terhadap semua ahli bid’ah dan ahli bid’ah yang wajib dijauhi dan dikucilkan seperti jahmiyah, rafidhah, mu’tazilah, mathuridiyah, khawarij, tasawwuf serta siapa saja yang mengikuti manhaj mereka dari golongan-golongan yang menyimpang dari manhaj Salaf.

Hendaknya seorang Muslim berhati-hati dan waspada terhadap mereka. Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Muhammad, keluarga dan para shahabatnya.”

(Dikutip dari terjemahan buku Manhaj Ahlusunnah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath thwaif, karya Syaikh Rabi’ Bin Hadi Umair Al Madkhali, edisi Indonesia “Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik Tokoh, Kitab dan Aliran”. Judul Bab Mukaddimah Cetakan Kedua. Sumber Maktabah As Sunnah http://www.sunnah.or.id)

sumber: http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=741

Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mentahdzir

Manhaj Ahlusunnah dalam mentahdzir – Muqoddimah 1
Penulis: Syaikh Rabi’ bin Hadi Umair al Madkhali

Allah Maha Mengetahui, tujuan saya dalam penulisan buku ini, Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdi Ar Rijal wal Kutub wath Thawa’if yang tidak lain untuk memberikan penjelasan akan kebenaran, keadilan dan sikap tidak memihak yang terdapat dalam manhaj yang agung ini. Sungguh saya telah berusaha sekuat tenaga untuk menampakkan kebenaran serta menghilangkan hal-hal yang menyelisihi dan bertentangan dengan kebenaran tersebut.

Saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia agar Dia menjadikan usaha ini sebagai amalan yang ikhlas hanya mengharap wajah-Nya, kemenangan agama-Nya serta menjadikannya sebagai amal kebaikan yang memberatkan timbangan amal baik saya.
Alhamdulillah buku ini mendapat sambutan hangat dari para pecinta kebenaran, keadilan dan manhaj Salaf. Banyak sekali jumlah mereka di dalam maupun di luar negeri.

Saya juga memohon kepada Allah agar memberikan taufik-Nya kepada saudara-saudara kita yang terpedaya oleh manhaj yang menipu dan tidak benar yang seakan-akan berupa manhaj yang penuh dengan keadilan dan sikap yang tidak memihak.

Padahal manhaj tersebut (muwazanah) menghancurkan manhaj Salaf dan tidak didapatkan keadilan yang hakiki kecuali pada manhaj (Salaf) ini. Semoga Allah memberikan taufik kepada mereka agar kembali kepada kebenaran serta menjauh dari jalan ahli bathil, pembelot dan sombong.

Dan semoga Allah melindungi kita dari makar-makar syetan –baik yang berupa manusia maupun jin– lalu mengeluarkan kita dari cengkeraman hawa nafsu dan kebingungan yang menghancurkan hati, akidah dan akhlak.

Tidak lupa saya sampaikan kepada para pembaca yang budiman bahwa setelah selesai menyusun buku Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fin Naqd tersebut saya telah mengirimkan sebuah naskah untuk Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (ketua lembaga kajian hukum Islam dan fatwa) dan beliau mempersilahkan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Ar Raajihi agar menyempurnakan naskah tersebut dalam surat nomor 488 tanggal 13/3/1412 H. Maka beliau pun memenuhi permintaan gurunya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz. Kemudian beliau mempelajari buku tersebut dan meringkasnya dengan ringkasan yang sangat bagus.

Hasilnya beliau sertakan dengan surat yang ditujukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, berikut isi (terjemahan bebas) surat tersebut :

“Bismillahirrahmanirrahim
Dari Abdul Aziz bin Abdullah Ar Rajihi kepada Syaikh dan orang tua kami Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –semoga Allah menjaga, memberikan taufik serta memberi kepadanya kesenangan yang baik, amin–.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Amma ba’du :
Telah sampai kepada saya surat Anda dengan no. 488 pada tanggal 13 Rabi’ul Awwal 1412 H yang disertai dengan naskah yang disusun oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Umair Al Madkhali –Staf Dosen Universitas Islam di kota Madinah, Saudi Arabia — dengan judul Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdi Ar Rijal wal Kutub wath Thawaif untuk direvisi dan diambil manfaatnya.

Dengan surat ini Anda mengetahui hasil revisi (muraja’ah) kami dan manfaat darinya.
Semoga Allah menjaga dan memelihara Anda, Allah Pemberi Taufik, semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Muhammad, keluarga dan para shahabatnya.
Anakmu: Abdul Aziz bin Abdullah Ar Raajihi.”

Setelah Syaikh Ibnu Baz membaca komentar yang dikirimkan oleh Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi, ia menulis surat kepada saya sebagai berikut –untuk memberi kabar gembira kepada saya bahwa beliau senang dengan jawaban yang ditulis oleh Syaikh Ar Raajihi serta mendoakan saya agar diterima oleh Allah sebagaimana yang saya harapkan– :

“(No. 1673 tanggal 8/9/1412 H. Lampiran VII)
Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz kepada yang saya hormati saudara Dr. Rabi’ bin Hadi bin Umair Al Madkhali, semoga Allah memberikan taufik dan ridha-Nya kepadanya serta menambah ilmu dan imannya, Amin.

Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Amma ba’du :
Saya memberikan rekomendasi kepada Anda berupa risalah jawaban dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Ar Rajihi mengenai Kitab Anda, Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif. Saya telah mempersilahkan beliau untuk mengoreksinya karena saya tidak memiliki waktu untuk mengoreksinya sendiri dan beliau telah memberi jawaban mengenai kitab tersebut.

Jawabannya membuat saya senang –Alhamdulillah– dan saya senang dengan apa yang Anda tulis di dalamnya.

Saya memohon kepada Allah agar menjadikan kami, Anda dan semua saudara kita termasuk para penyeru kepada hidayah dan para penolong kebenaran, sungguh Allah Maha Pemberi lagi Maha Mulia.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
(Ketua Lembaga Kajian Ilmiah dan Fatwa)”

Semoga Allah memberi berkah kepada Syaikh kami (Ibnu Baz), saya bersyukur kepada Allah atas dorongan serta jawaban yang baik ini. Semoga Allah menjadikan kami beliau dan semua kaum Muslimin termasuk dai-dai kepada yang haq, Sunnah dan memperjuangkannya, sungguh Rabb-ku Maha Mendengar Doa.

(Dikutip dari terjemahan buku Manhaj Ahlusunnah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath thwaif, karya Syaikh Rabi’ Bin Hadi Umair Al Madkhali, edisi Indonesia “Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik Tokoh, Kitab dan Aliran”. Judul Bab Mukaddimah Cetakan Kedua. Sumber Maktabah As Sunnah http://www.sunnah.or.id)